Pembatalan
Akta Ikrar Wakaf
Studi
Kasus Putusan Nomor 3862/ Pdt. G/ 2010/ PA.
Sby Pendekatan Usuliyah
Oleh:
Yusdani
Staf
Hukum Islam FIAI UII, Sekretaris PPS FIAI UII dan Peneliti PSI UII
Abstract
The
following article denotes an annotation and analysis of Islamic law against the
Court's decision on the dispute Religion Surabaya regarding endowment that has
implications for the cancellation of the Deed of Pledge Wakaf Number: BA.03.1 /
99 / III / 2009 dated March 17, 2009 and the Pledge of Wakaf dated March 17,
2009 and the Letter of Endorsement of Nadir number: BA.03.1 / 99 / III / 2009
dated March 17, 2009 created the Office of Religious Affairs Tambaksari
District. The decision can be justified in the perspective of Islamic law even
in its legal considerations, the judges less attention to general procedural
law applicable and applied over the years. However, although such a decision on
waqf land dispute with the cancellation of the Deed of Pledge Waqf Religious
Courts is not implications for the cancellation of waqf land above-mentioned.
Keywords: endowments,
religious court decision, Surabaya, pledges and cancellation.
Abstrak
Artikel berikut ini merupakan anotasi dan
analisis hukum Islam terhadap Keputusan Pengadilan Agama Surabaya tentang
sengketa wakaf yang berimplikasi pada dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf Nomor:
BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal 17 Maret 2009
dan Surat Pengesahan Nadir Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009
yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari. Keputusan tersebut dapat
dibenarkan dalam perspektif Hukum Islam sekalipun dalam pertimbangan hukumnya,
majelis hakim kurang memperhatikan ketentuan hukum acara umum yang berlaku dan
diterapkan selama ini. Akan tetapi, walaupun demikian putusan tentang sengketa
tanah wakaf dengan dengan dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf oleh Pengadilan Agama
tersebut tidak berimplikasi terhadap pembatalan tanah wakaf di atas.
Kata
kunci:
wakaf, putusan pengadilan agama, Surabaya, ikrar dan pembatalan.
Pendahuluan
Wakaf
sebagai suatu institusi keagamaan, di samping berfungsi ubudiyah juga berfungsi
sosial. Ia adalah sebagai suatu pernyataan dari perasaan iman yang kokoh dan
rasa solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya, wakaf merupakan
salah satu usaha mewujudkan dan memelihara habul min Allah dan hablum
min an-nas. Dalam fungsinya sebagai ibadah, ia diharapkan akan menjadi
kekal bagi kehidupan si wakif di hari kemudian. Dengan begitu, wakaf adalah
suatu bentuk amal yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu
dimanfaatkan. Dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang amat bernilai
dalam pembangunan. Wakaf, di samping merupakan usaha pembentukan watak dan
kepribadian seorang muslim untuk rela melepaskan sebagian hartanya untuk
kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai
tinggi, tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi yang
mewakafkan ( Zein, 2004: 409-410).
Salah satu bentuk atau jenis wakaf di atas
adalah wakaf hak milik tanah. Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan mulia dan terpuji baik yang dilakukan oleh
umat Islam maupun badan hukum. Dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaan
yang dimiliki, berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya,
menjadi tanah “wakaf-sosial”, yaitu diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan
atau kepentingan umum ( Ali, 1988: 23-28) lainnya, sesuai dengan ajaran Islam
(Mubarok, 2008: 41). Untuk menjamin kepastian wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum tersebut dibutuhkan adanya jaminan dan kepastian hukum, yaitu
bukti tertulis.
Kepastian hukum dari suatu transaksi
perwakafan merupakan suatu keniscayaan sebagai jaminan bahwa telah terjadi
suatu peristiwa hukum perwakafan. Diantara wujud kepastian hukum itu adalah
adanya sebuah akta otentik yang bersifat tertulis (Q.S. al-Baqarah: 282). Secara umum
ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum suatu transaksi muamalah (dalam
hal ini wakaf ) perlu dilakukan pencatatan. Posisi pencatatan ini lebih urgen
dan bahkan lebih diprioritaskan daripada
kesaksian. Sementara itu, menurut UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 3
dijelaskan bahwa Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Berbagai
kasus sering terjadi terkait dengan wakaf, terutama yang diajukan ke Pangadilan
Agama.
Salah satu kasus wakaf yang telah
diputus oleh Pengadilan Agama Surabaya adalah keputusan pembatalan ikrar wakaf
putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby. Putusan pembatalan ikrar wakaf ini perlu
mendapatkan perhatian karena selain untuk menjamin keabadian manfaat harta
wakaf, juga sebagai bahan pembelajaran bagi para pihak baik wakif, nazir dan
lembaga terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan harta
wakaf. Atas dasar itu tulisan berikut ini berupaya membahas dan menyoroti
tentang Keputusan Pembatalan Ikrar Wakaf Putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby menurut
pandangan Hukum Islam dengan menggunakan metode dan pendekatan usul fiqh (usuliyah).
Duduk Perkara
Nazir dalam pembuatan dan
memproses Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Wakaf
(PPAIW) dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambasari Surabaya, dengan wakif
yang baru bernama Nurul Afifah, selaku Cicit/buyut wakif (Alm. KH. Ardjo
Usman), sehingga dianggap telah menyalahi hukum perwakafan, karena wakif bukan
pemilik sah harta benda wakaf, sebagaimana pasal 8 (d) UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf.
Selain itu, juga nazir
telah mengalihkan peruntukan manfaat wakaf dari sekolah Nahdlatul Ulama‛
menjadi sekolah Diponegoro‛, menurut pasal 40 (b) Undang-undang Nomor 41
Tentang Wakaf, dinyatakan bahwa Harta benda Wakaf yang sudah diwakafkan
dilarang, dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kemudian Pengadilan Agama Surabaya memutuskan
pembatalan ikrar wakaf tersebut dengan putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby.
Pembahasan
Menurut pasal 49
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah (baca Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006). Dalam
memutuskan suatu perkara, seorang hakim selain harus memperhatikan
alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat ketentuan-ketentuan dari
peraturan yang terkait sebagai sumber hukum yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Adapun pertimbangan dari keputusan
Pengadilan Agama Surabaya Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby, adalah sebagai berikut:
1. Nazir dalam pembuatan dan memproses
Akta Ikrar Wakaf menggunakan wakif baru dari salah satu ahli warisnya;
2. Nazir dalam mengelola benda wakaf
telah mengalihkan peruntukan atau manfaatannya;
3. Nazir dalam memproses akta ikrar wakaf
tersebut, tidak melakukan Isbat Wakaf di Pengadilan Agama.
Keputusan Pengadilan Agama Surabaya
dalam memutus sengketa wakaf yang berimplikasi pada dibatalkannya Akta Ikrar
Wakaf Nomor BA 03 1 99 III 2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal
17 Maret 2009 dan Surat Pengesahan Nadir Nomor BA 03 1 99 III 2009 tanggal 17
Maret 2009 yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari. Keputusan ini pada
dasarnya dapat dibenarkan berdasarkan Hukum Islam. Akan tetapi dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim kurang begitu memperhatikan ketentuan
hukum acara umum yang berlaku selama ini. Pertimbangan hakim yang berupa
permohonan (volunteir) Isbat wakaf, belum memiliki dasar yuridis yang jelas,
kuat dan pasti, kecuali berbentuk sebagai penafsiran. Hal ini tidak sesuai
dengan hukum acara, karena kewenangan absolute pengadilan agama tentang
sengketa wakaf hanya ada gugatan (contentiuse).
Namun demikian, hasil keputusan di
atas dapat dikatakan sebagai langkah kreatif dan progresif unutk menjamin
adanya kepastian hukum untuk wakaf yang belum memiliki akta otentik. Di samping
itu, juga untuk menjamin agar tidak dilakukan penyelewengan atau penyerobotan
tanpa hak yantg benar.
Berdasarkan penjelasan kasus
perkara wakaf tersebut di atas yang berlaku adalah hukum wakaf yang telah
dinyatakan oleh KH. Ardjo Usman, belum pernah dicabut atau dibatalkan, Majelis Hakim
PA Surabaya berpendapat bahwa pernyataan wakaf yang dilakukan KH. Ardjo Usman
masih melekat dan berlaku, seharusnya dalam hal ini melakukan Isbat Wakaf
terlebih dahulu. Menurut hukum Islam, praktek perwakafan yang berupa tanah
milik dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun
perwakafan yang telah ditentukan.
Adapun rukun-rukun dan
syarat-syarat sahnya perwakafan adalah sebagai berikut:
- Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya adalah wakaf dilakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan siapapun, kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik dan buruk perbuatannya serta benar-benar pemilik harta yang diwakafkan. Dalam hal ini wakifnya adalah Almarhum K.H. Ardjo Usman.
- Benda yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban, barang atau benda tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya, dan benda atau barang tersebut tidak berupa benda yang dilarang oleh Allah atau barang najis. Tanah milik tersebut benar-benar hak milik atau kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban, barang atau benda tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya, dan benda atau barang tersebut tidak berupa benda yang dilarang oleh Allah atau barang najis. Tanah wakaf tersebut terletak di Jln. Kedungsroko Gg. V No. 15; 17; dan 19, Kelurahan Pacarkembang, Kecamatan Tambaksari, Surabaya seluas 800 M2 (delapan ratus meter persegi), dengan batas-batas sebagai berikut: a. Sebelah Timur : Jalan Kedungsroko gg. IV b. Sebelah Barat : Rumah Bapak Mat Jaheng c. Sebelah Utara : Rumah bapak Ghufron d. Sebelah Selatan : Jalan kedungsroko Gg.V.
- Tujuan atau orang yang berhak menerima hasil wakaf. Tujuan hasil wakaf, yaitu unutk keperluan ibadah dan kepentingan umum, baik untuk keperluan masyarakat umum maupun untuk keperluan keluarga. Adapun syarat-syarat bagi orang menerima wakaf, yaitu hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf terjadi, orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan untuk memiliki, tidak merupakan maksiat kepada Allah, dan orangnya jelas dan bukan tidak diketahui. Dalam hal ini praktek perwakafan tanah milik tersebut diperuntukkan untuk Madrasah Nahdlatul Ulama‛ dan diubah menjadi ‚Sekolah Diponegoro‛. Tujuan perwakafan tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat banyak, khususnya dalam pengembangan ilmu dalam aspek pendidikan.
- Lafaz atau peryataan penyerahan wakaf (sigat atau ikrar). Lafaz atau sigat ialah pernyataan kehendak dari wakif yang dilahirkan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Kalau penerima wakaf adalah pihak tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu ada qabul (jawaban penerimaan). Akan tetapi kalau wakaf itu diperuntukkan untuk kepentingan umum, tidak harus ada qabul (Mubarok, 2008:47). Dalam hal ini, semasa hidup wakif memperuntukkan untuk sekolah Nahdlatul Ulama.
- Nazir, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif, baik berupa kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk mengelola dan mengembangkan wakaf sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini yang menjadi nazir adalah Nahdlatul Ulama dan yang mengelola tanah wakaf tersebut adalah Yayasan Taman Pendidikan Mahfudz Samsulhadi, kemudian dirubah menjadi ‚Yayasan Pendidikan Diponegoro oleh pendahulunya.
Dalam perkembangannya
dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa, unsur-unsur wakaf
adalah wakif, nazir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda
wakaf dan jangka waktu wakaf. Dari berbagai komponen ini berjalin kelindan dan tidak
dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena antara satu dengan yang lain
saling berkaitan yang membuat sah tidaknya wakaf tersebut. Setelah praktek
perwakafan ini memenuhi rukun-rukun syarat-syarat sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka wakaf tersebut sudah sah menurut hukum Islam.
Setelah melihat kronologi
penyelesaian perkara sengketa wakaf dengan dibatalkannya Akta Ikrar wakaf
tersebut dan juga melihat dasar pertimbangan hakim dalam memutus, dapat
dikemukakan penjelasan bahwa: Terhadap peralihan atau perubahan status tanah
wakaf adalah tidak dapat dilakukan perubahan, baik perubahan status, peruntukan
ataupun penggunaan selain dari pada apa yang sudah ditentukan di dalam ikrar
wakaf. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, seperti ketika tanah wakaf yang sudah tidak sesuai lagi
dengan tujuan wakaf sebagaimana yang telah diikrarkan oleh wakif, atau
kepentingan umum yang menghendakinya. Untuk menjaga agar tanah wakaf tetap
berfungsi sebagaimana mestinya, maka peralihan tanah wakaf seharusnya bukan
merupakan halangan. Sebab dengan adanya larangan terhadap peralihan hak pada
tanah wakaf pada akhirnya justru akan mengakibatkan hilangnya fungsi wakaf (Zuhaili,
1997, X: 7599-7600).
Lebih jauh lagi dapat
dinyatakan bahwa peralihan tanah wakaf tersebut, diperbolehkan mengalihkan pemanfaatan
agar tanah yang kurang produktif tersebut tetap memberi manfaat, sehingga
fungsinya tetap berlangsung seperti pendapat para ulama’ madzhab bahwa
penukaran dan penjualan tanah wakaf yang kurang produktif, berpijak pada asas
kemaslahatan (Atiyah, 2001: 131-132) yaitu menghindari hilangnya manfaat tanah
wakaf tersebut. Atas dasar itu, ada pendapat bahwa bolehnya peralihan hak atas tanah wakaf bukanlah merupakan
perbuatan melanggar hokum dalam Hukum Islam karena peralihan tersebut dilakukan
agar maksud dan tujuan wakaf tetap terpelihara. Sementara itu sebagaimana
diketahui bahwa hakekat wakaf adalah manfaat dari wakaf tersebut.
Oleh karena itu, perubahan pemanfaatan wakaf
dari yang semula untuk Madrasah Nahdlatul Ulama, kemudian digunakan juga untuk
madrasah Diponegoro sebenarnya dapat dibenarkan baik berdasarkan hukum Islam maupun
peraturan hokum positif yang berlaku.
Karena penggunaan tanah wakaf untuk Madrasah Diponegoro juga tidak merubah
peruntukan wakaf secara signifikan sebagaimana dimaksud oleh wakif, bahkan
justru lebih bernilai produktif dan masih dalam lingkup kesejahteraan umum. Dalam
kaitan ini yang terjadi sebenarnya adalah peralihan yang tidak murni atau
sekedar pergeseran dari rencana semula dan pengembangan. Hanya perbedaan
penafsiran, karena yang dimaksud sekolah Nahdlatul Ulama adalah sekolah yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama, sedangkan sekolah Diponegoro juga mengajarkan
pelajaran agama, jadi sebenarnya hanya menyangkut istilah atau nama sekolah,
tidak ada peralihan secara substansial, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “ al-‘ibratu fi al-uquud li ma’aaniiha laa
lisuari al-faaz ( al-Syatiri, tanpa tahun: 894), atau kaidah lain “ al-‘ibratu fi al-uquud lil maqaasid laa li
al-faaz wa al-mabaani (az-Zarqa, 2005, I: 7).
Selain ilmu-ilmu agama,
ilmu-ilmu umum yang diajarkan Sekolah Diponegoro juga termasuk ilmu yang
bermanfaat yang dianjurkan oleh agama untuk menuntutnya. Dengan begitu, nazir
dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf tersebut sudah sesuai Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah Milik, yaitu diucapkan oleh wakif
sendiri atau ahli warisnya di depan PPAIW dengan disaksikan sekurang-kurangnya
dua orang saksi. Dalam hal ini, PPAIW dalam memproses sampai terjadinya wakaf
tersebut, hanya mengoreksi begitu saja, karena berkas sudah lengkap, maka
diikrarkan wakaf. Akan tetapi nazir dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf tersebut
tanpa ada persetujuan semua ahli waris yang ada, dan seharusnya PPAIW
mengeluarkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf bukan Akta Ikrar Wakaf. Oleh karena itu,
apa yang telah dilakukan nazir dalam mendaftarkan tanah wakaf tersebut hanya melanggar
asas ketelitian.
Untuk melengkapi sarana hukum tersebut di atas,
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Obyek Milik. Salah satu pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977, yaitu pasal 9 mengharuskan perwakafan dilakukan secara tertulis,
tidak cukup dengan pernyataan lisan. Munculnya peraturan ini bertujuan untuk
memperoleh bukti otentik, misalnya sebagai kelengkapan dokumen pendaftaran
obyek wakaf pada Kantor Agraria, maupun sebagai bukti hukum apabila timbul
sengketa di kemudian hari mengenai harta telah diwakafkan. Oleh karena itu,
seseorang yang hendak mewakafkan obyek harus melengkapi dan membawa tanda-tanda
bukti kepemilikan dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan
untuk melakukan pelepasan haknya atas obyek tersebut.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat pula dipahami bahwa fungsi pendaftaran tanah wakaf dimaksud
pada dasarnya untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum ( Riswandi, 2016:
86) mengenai tanah yang diwakafkan. Apabila sertipikat tanah telah dibalik nama
atas nama nazir dengan dibuatkan sertipikat wakaf, nazir akan memperoleh
jaminan dan kepastian hukum mengenai tanah yang telah diwakafkan kepadanya.
Untuk menjamin adanya kepastian
hukum hak atas tanah wakaf, UUPA sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1
UUPA No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi : “untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur
oleh Peraturan Pemerintah. Sedangkan cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dilakukan sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yakni setelah tanah wakaf tersebut diterbitkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf‛ oleh PPAIW yang bersangkutan.
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur
oleh Peraturan Pemerintah. Sedangkan cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dilakukan sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yakni setelah tanah wakaf tersebut diterbitkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf‛ oleh PPAIW yang bersangkutan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal
3 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan bahwa Wakaf yang telah
diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Jadi pada dasarnya Akta Ikrar Wakaf tidak
dapat dibatalkan kecuali ada sesuatu hal yang dapat membatalkannya, seperti
mewakafkan tanah yang bukan tanah miliknya, seperti tersebut dalam sebuah
kaidah fiqh “ الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ atau kaidah fiqh
yang lain “ لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ
يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ .
Sementara itu sebagaimana
diketahui bahwa perwakafan tanah dalam kasus tersebut di atas telah terjadi
pada tahun 1926, yang menjadi persoalan bagaimana jika pewakif sudah meninggal,
sedangkan obyek wakaf tidak ada AIW-nya? Dalam hubungan ini dapat ditegaskan bahwa
ketentuan hukum acara yang berlaku perkara permohonan (voluntair) hanya
menjadi kewenangan Pengadilan Agama, apabila diatur secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan, sementara itu perkara isbat wakaf belum memiliki
dasar yuridis kuat kecuali berbentuk penafsiran. Berdasarkan konvensi umum telah
disepakati bahwa terhadap hukum formil tidak berlaku penafsiran. Dalam konteks
inilah, dibutuhkan secara urgen suatu pemahaman hukum yang responsif dan
progresif untuk memformulasikan dasar pijak yuridis formil perkara isbat wakaf.
Hal bertujuan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memunculkan kesepahaman
atau persepsi, baik dalam teori maupun aplikasinya, terutama bagi para praktisi
hukum di pengadilan agama.
Atas dasar itu, untuk memelihara
harta benda wakaf dan menjaganya keabadiannya, berdasarkan tujuan umum dan
muktabar hukum Islam, bahwa pemeliharaan
harta benda wakaf sebagai bagian dari pemeliharaan harta benda, hifz al-mâl (
Auda, 2007: 21-23), maka benda-benda
wakaf yang belum ada AIW-nya, dan pewakifnya sudah meninggal seharusnya dapat
diajukan permohonan Isbat Wakaf kepada
Pengadilan Agama, dan produknya hukumnya adalah berwujud
penetapan. Atas dasar itu pula apabila Pasal 7 ayat (2) KHI dapat dianalogikan kepada Isbat Wakaf, maka obyek wakaf bila tidak ada AIW-nya, seharusnya dapat juga mengajukan Isbat Wakaf ke Pengadilan Agama setempat. Untuk menyempurnakan kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perselisihan tentang benda wakaf dan nazir, perlu diterbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan kewenangan voluntair (Isbat Wakaf) kepada lembaga Pengadilan Agama.
penetapan. Atas dasar itu pula apabila Pasal 7 ayat (2) KHI dapat dianalogikan kepada Isbat Wakaf, maka obyek wakaf bila tidak ada AIW-nya, seharusnya dapat juga mengajukan Isbat Wakaf ke Pengadilan Agama setempat. Untuk menyempurnakan kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perselisihan tentang benda wakaf dan nazir, perlu diterbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan kewenangan voluntair (Isbat Wakaf) kepada lembaga Pengadilan Agama.
Berdasarkan penjelasan di
atas agar Isbat Wakaf dapat dilegalisasikan dalam bentuk perundang-undangan.
Dengan terbitnya aturan dimaksud dapat memberikan legalitas terhadap istilah
Isbat wakaf terhadap benda-benda wakaf yang belum ada AIW-nya sementara pewaqifnya
sudah wafat. Atasa dasar itulah, Isbat wakaf dapat segera mendapatkan formal dalam sebuah
pengajuan perkara dalam Pengadilan Agama. Akan tetapi yang perlu dicermati
dalam upaya isbat wakaf sebagaimana tersebut di atas adalah bahwa majelis hakim
harus dapat menilai dan menemukan berbagai alat bukti yang akurat terkait
dengan status obyek wakaf tersebut. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa penilaian
dan keyakinan hakim sebagai salah satu alat bukti sangat urgen dalam kasus ini.
Begitu pula posisi saksi
yang benar-benar mengetahui kedudukan dan seluk-beluk obyek wakaf di atas juga
sangat menentukan dalam menemukan bukti yang akurat. Selain itu, kedudukan KUA
selaku PPAIW sebagai pejabat yang berwenang membuat Akta Ikrar Wakaf dan melaksanakan
pendaftaran sertifikat tanah wakaf seharusnya bersifat telaten dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya yang berpijak pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku tentang perwakafan tanah. Dengan demikian, pemahaman
pendafataran tanah wakaf khususnya perlu peningkatan kualitas sumber daya
manusia PPAIW nya agar dapat meminimalisir kelalaian pendaftaran tanah wakaf.
Hakim dalam konteks kasus
tersebut di atas merupakan penentu dari para pencari keadilan sehingga dapat memberikan
suatu putusan perkara sesuai dengan fakta dan undang-undang yang berlaku dengan
merujuk pada kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor:
3862/Pdt.G/2010/PA.Sby sudah sesuai dengan hukum formil yang telah diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan, No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dalam
segi pembuatan Akta Ikrar Wakaf, nazir di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Tambasari Surabaya, menggunakan (waqif yang baru) bernama Nurul Afifah tanpa
persetujuan semua ahli waris yang ada dan nazir telah merubah pemanfaatan yang
dilakukan oleh pendahulunya, seharusnya PPAIW mengeluarkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf bukan Akta Ikrar Wakaf karena tanah wakaf yang sudah diwakafkan
tidak boleh diwakafkan lagi. Ketetapan atau keputusan tersebut bertentangan
dengan asas kehati-hatian dan kecermatan.
Selanjutnya terkait
dengan pertimbangan hakim tersebut, adanya
Isbat Wakaf yang harus dilakukan antara nazir dan ahli warisnya. Karena Isbat wakaf dimaksud dapat menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan karena adanya perbedaan pendapat antara para hakim. Bahkan dengan tidak adanya aturan yang mengatur terminologi isbat wakaf dapat memunculkan silang pendapat di antara para hakim. Karena kewenangan Pengadilan Agama mengadili sengketa wakaf hanya ada gugatan (contentiuse). Dalam kaitan inilah dibutuhkan aturan baru untuk memperkuat kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama mengadili perkara wakaf, yang berupa permohonan (volunteir) tentang tata cara Isbat Wakaf di Pengadilan Agama. Dengan begitu, interpretasi Isbat Wakaf dapat dilakukan sehingga perdebatan atau perselisihan dalam penafsiran Isbat wakaf dapat diakhiri dan dapat dibuktikan berdasarkan fakta hukum acara.
Isbat Wakaf yang harus dilakukan antara nazir dan ahli warisnya. Karena Isbat wakaf dimaksud dapat menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan karena adanya perbedaan pendapat antara para hakim. Bahkan dengan tidak adanya aturan yang mengatur terminologi isbat wakaf dapat memunculkan silang pendapat di antara para hakim. Karena kewenangan Pengadilan Agama mengadili sengketa wakaf hanya ada gugatan (contentiuse). Dalam kaitan inilah dibutuhkan aturan baru untuk memperkuat kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama mengadili perkara wakaf, yang berupa permohonan (volunteir) tentang tata cara Isbat Wakaf di Pengadilan Agama. Dengan begitu, interpretasi Isbat Wakaf dapat dilakukan sehingga perdebatan atau perselisihan dalam penafsiran Isbat wakaf dapat diakhiri dan dapat dibuktikan berdasarkan fakta hukum acara.
Penutup
Berdasarkan uraian hasil
analisis yang dikemukakan dalam uraian terdahulu, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa ditinjau
dari perspektif Hukum Islam Keputusan Pengadilan Agama Surabaya dalam memutus
sengketa wakaf yang berakibat dibatalkan Akta Ikrar Wakaf Nomor:
BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal 17 Maret 2009
dan Surat Pengesahan Nadir Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009
yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari, dapat dibenarkan.
Meskipun pada dasarnya dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim kurang
memperhatikan ketentuan hukum acara umum yang berlaku dan diterapkan selama
ini. Akan tetapi, walaupun demikian putusan tentang sengketa tanah wakaf dengan
dengan dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf oleh Pengadilan Agama tersebut tidak
berimplikasi terhadap pembatalan tanah wakaf tersebut. Oleh karena itu, untuk
antispasi ke depan perlu ditetapkan aturan perundang-undangan yang baru untuk mengatur kewenangan kompetensi
absolut Pengadilan Agama mengenai Isbat Wakaf.
PUSTAKA ACUAN
Ali,
Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta:
UI-Press.
Atiyah,
Jamaluddin. 2001. Taf’il Maqasid al-Syari’ah. Amman: al-Ma’had al-Alami
li al-Fikr al-Islami.
Auda, Jasser. 2007. Maqasid
al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London: The
International Institute of Islamic Thought.
Hanafi,
Al-Sarkhasi al-.2001. Kitab al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Mubarok, Jaih.2008. Wakaf
Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Riswandi, Budi Agus (editor). 2016. Wakaf
Hak Kekayaan Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: Pusat HKI FH UII.
Syatiri, Muhammad bin Ahmad bin Umar
al-. Tanpa Tahun. Syarhul Yaqut al-Nafis.
Beirut: Muasasah ar-Risalah.
Taimiyah, Ibn. 1977. Majmu’at
al-Fatawa. Saudi Arabiyah: Dar al-Ifta wal- Irsyad.
Zarqa, Mustafa Ahmad az-. 2005. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, Digital
Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani.
Zein, Satria Effendi M..2004. Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyah. Jakarta: Diterbitkan atas Kerja Sama dengan Fakultas Syariah
& Hukum UIN Jakarta dan Balitbang DEPAG RI.
Zuhaili,
Wahbah al-. 1997. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Darl al-Fikr
al-Mu’asir.
Tulisan
ini dimuat dalam Majalah Peradilan Agama Edisi 11 April 2017 hlm. 67-71.
Komentar
Posting Komentar