Langsung ke konten utama

PEMBATALAN AKTA IKRAR WAKAF

Pembatalan Akta Ikrar Wakaf
Studi Kasus Putusan Nomor 3862/ Pdt. G/ 2010/ PA. Sby Pendekatan Usuliyah

Oleh: Yusdani
Staf Hukum Islam FIAI UII, Sekretaris PPS FIAI UII dan Peneliti PSI UII


Abstract

The following article denotes an annotation and analysis of Islamic law against the Court's decision on the dispute Religion Surabaya regarding endowment that has implications for the cancellation of the Deed of Pledge Wakaf Number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 and the Pledge of Wakaf dated March 17, 2009 and the Letter of Endorsement of Nadir number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 created the Office of Religious Affairs Tambaksari District. The decision can be justified in the perspective of Islamic law even in its legal considerations, the judges less attention to general procedural law applicable and applied over the years. However, although such a decision on waqf land dispute with the cancellation of the Deed of Pledge Waqf Religious Courts is not implications for the cancellation of waqf land above-mentioned.

Keywords: endowments, religious court decision, Surabaya, pledges and cancellation.

Abstrak
Artikel berikut ini merupakan anotasi dan analisis hukum Islam terhadap Keputusan Pengadilan Agama Surabaya tentang sengketa wakaf yang berimplikasi pada dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal 17 Maret 2009 dan Surat Pengesahan Nadir Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari. Keputusan tersebut dapat dibenarkan dalam perspektif Hukum Islam sekalipun dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim kurang memperhatikan ketentuan hukum acara umum yang berlaku dan diterapkan selama ini. Akan tetapi, walaupun demikian putusan tentang sengketa tanah wakaf dengan dengan dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf oleh Pengadilan Agama tersebut tidak berimplikasi terhadap pembatalan tanah wakaf di atas.

Kata kunci: wakaf, putusan pengadilan agama, Surabaya, ikrar dan pembatalan.

Pendahuluan
Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, di samping berfungsi ubudiyah juga berfungsi sosial. Ia adalah sebagai suatu pernyataan dari perasaan iman yang kokoh dan rasa solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya, wakaf merupakan salah satu usaha mewujudkan dan memelihara habul min Allah dan hablum min an-nas. Dalam fungsinya sebagai ibadah, ia diharapkan akan menjadi kekal bagi kehidupan si wakif di hari kemudian. Dengan begitu, wakaf adalah suatu bentuk amal yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang amat bernilai dalam pembangunan. Wakaf, di samping merupakan usaha pembentukan watak dan kepribadian seorang muslim untuk rela melepaskan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai tinggi, tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi yang mewakafkan ( Zein, 2004: 409-410).
 Salah satu bentuk atau jenis wakaf di atas adalah wakaf hak milik tanah. Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan  mulia dan terpuji baik yang dilakukan oleh umat Islam maupun badan hukum. Dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang dimiliki, berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya, menjadi tanah “wakaf-sosial”, yaitu diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau kepentingan umum ( Ali, 1988: 23-28) lainnya, sesuai dengan ajaran Islam (Mubarok, 2008: 41). Untuk menjamin kepastian wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum tersebut dibutuhkan adanya jaminan dan kepastian hukum, yaitu bukti tertulis.
Kepastian hukum dari suatu transaksi perwakafan merupakan suatu keniscayaan sebagai jaminan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum perwakafan. Diantara wujud kepastian hukum itu adalah adanya sebuah akta otentik yang bersifat  tertulis (Q.S. al-Baqarah: 282). Secara umum ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum suatu transaksi muamalah (dalam hal ini wakaf ) perlu dilakukan pencatatan. Posisi pencatatan ini lebih urgen dan bahkan lebih diprioritaskan  daripada kesaksian. Sementara itu, menurut UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 3 dijelaskan bahwa Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Berbagai kasus sering terjadi terkait dengan wakaf, terutama yang diajukan ke Pangadilan Agama.
Salah satu kasus wakaf yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Surabaya adalah keputusan pembatalan ikrar wakaf putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby. Putusan pembatalan ikrar wakaf ini perlu mendapatkan perhatian karena selain untuk menjamin keabadian manfaat harta wakaf, juga sebagai bahan pembelajaran bagi para pihak baik wakif, nazir dan lembaga terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan harta wakaf. Atas dasar itu tulisan berikut ini berupaya membahas dan menyoroti tentang Keputusan Pembatalan Ikrar Wakaf Putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby menurut pandangan Hukum Islam dengan menggunakan metode dan pendekatan usul fiqh (usuliyah).

Duduk Perkara
Nazir dalam pembuatan dan memproses Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Wakaf (PPAIW) dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambasari Surabaya, dengan wakif yang baru bernama Nurul Afifah, selaku Cicit/buyut wakif (Alm. KH. Ardjo Usman), sehingga dianggap telah menyalahi hukum perwakafan, karena wakif bukan pemilik sah harta benda wakaf, sebagaimana pasal 8 (d) UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Selain itu, juga nazir telah mengalihkan peruntukan manfaat wakaf dari sekolah Nahdlatul Ulama‛ menjadi sekolah Diponegoro‛, menurut pasal 40 (b) Undang-undang Nomor 41 Tentang Wakaf, dinyatakan bahwa Harta benda Wakaf yang sudah diwakafkan dilarang, dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kemudian Pengadilan Agama Surabaya memutuskan pembatalan ikrar wakaf tersebut dengan putusan Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby.

Pembahasan
Menurut pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah (baca Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006). Dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim selain harus memperhatikan alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat ketentuan-ketentuan dari peraturan yang terkait sebagai sumber hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Adapun pertimbangan dari keputusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 3862 Pdt G 2010 PA Sby, adalah sebagai berikut:
1.     Nazir dalam pembuatan dan memproses Akta Ikrar Wakaf menggunakan wakif baru dari salah satu ahli warisnya;
2.      Nazir dalam mengelola benda wakaf telah mengalihkan peruntukan atau manfaatannya;
3.  Nazir dalam memproses akta ikrar wakaf tersebut, tidak melakukan Isbat Wakaf di Pengadilan Agama.
Keputusan Pengadilan Agama Surabaya dalam memutus sengketa wakaf yang berimplikasi pada dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf Nomor BA 03 1 99 III 2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal 17 Maret 2009 dan Surat Pengesahan Nadir Nomor BA 03 1 99 III 2009 tanggal 17 Maret 2009 yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari. Keputusan ini pada dasarnya dapat dibenarkan berdasarkan Hukum Islam. Akan tetapi dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim kurang begitu memperhatikan ketentuan hukum acara umum yang berlaku selama ini. Pertimbangan hakim yang berupa permohonan (volunteir) Isbat wakaf, belum memiliki dasar yuridis yang jelas, kuat dan pasti, kecuali berbentuk sebagai penafsiran. Hal ini tidak sesuai dengan hukum acara, karena kewenangan absolute pengadilan agama tentang sengketa wakaf hanya ada gugatan (contentiuse).
Namun demikian, hasil keputusan di atas dapat dikatakan sebagai langkah kreatif dan progresif unutk menjamin adanya kepastian hukum untuk wakaf yang belum memiliki akta otentik. Di samping itu, juga untuk menjamin agar tidak dilakukan penyelewengan atau penyerobotan tanpa hak yantg benar.
Berdasarkan penjelasan kasus perkara wakaf tersebut di atas yang berlaku adalah hukum wakaf yang telah dinyatakan oleh KH. Ardjo Usman, belum pernah dicabut atau dibatalkan, Majelis Hakim PA Surabaya berpendapat bahwa pernyataan wakaf yang dilakukan KH. Ardjo Usman masih melekat dan berlaku, seharusnya dalam hal ini melakukan Isbat Wakaf terlebih dahulu. Menurut hukum Islam, praktek perwakafan yang berupa tanah milik dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perwakafan yang telah ditentukan.
Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya perwakafan adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya adalah wakaf dilakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan siapapun, kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik dan buruk perbuatannya serta benar-benar pemilik harta yang diwakafkan.  Dalam hal ini wakifnya adalah Almarhum K.H. Ardjo Usman.
  2. Benda yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban, barang atau benda tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya, dan benda atau barang tersebut tidak berupa benda yang dilarang oleh Allah atau barang najis. Tanah milik tersebut benar-benar hak milik atau kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban, barang atau benda tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya, dan benda atau barang tersebut tidak berupa benda yang dilarang oleh Allah atau barang najis. Tanah wakaf tersebut terletak di Jln. Kedungsroko Gg. V No. 15; 17; dan 19, Kelurahan Pacarkembang, Kecamatan Tambaksari, Surabaya seluas 800 M2 (delapan ratus meter persegi), dengan batas-batas sebagai berikut: a. Sebelah Timur : Jalan Kedungsroko gg. IV b. Sebelah Barat : Rumah Bapak Mat Jaheng c. Sebelah Utara : Rumah bapak Ghufron d. Sebelah Selatan : Jalan kedungsroko Gg.V.
  3. Tujuan atau orang yang berhak menerima hasil wakaf. Tujuan hasil wakaf, yaitu unutk keperluan ibadah dan kepentingan umum, baik untuk keperluan masyarakat umum maupun untuk keperluan keluarga. Adapun syarat-syarat bagi orang menerima wakaf, yaitu hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf terjadi, orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan untuk memiliki, tidak merupakan maksiat kepada Allah, dan orangnya jelas dan bukan tidak diketahui. Dalam hal ini praktek perwakafan tanah milik tersebut diperuntukkan untuk Madrasah Nahdlatul Ulama‛ dan diubah menjadi ‚Sekolah Diponegoro‛. Tujuan perwakafan tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat banyak, khususnya dalam pengembangan ilmu dalam aspek pendidikan.
  4. Lafaz atau peryataan penyerahan wakaf (sigat atau ikrar). Lafaz atau sigat ialah pernyataan kehendak dari wakif yang dilahirkan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Kalau penerima wakaf adalah pihak tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu ada qabul (jawaban penerimaan). Akan tetapi kalau wakaf itu diperuntukkan untuk kepentingan umum, tidak harus ada qabul (Mubarok, 2008:47).  Dalam hal ini, semasa hidup wakif memperuntukkan untuk sekolah Nahdlatul Ulama.
  5. Nazir, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif, baik berupa kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk mengelola dan mengembangkan wakaf sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini yang menjadi nazir adalah Nahdlatul Ulama dan yang mengelola tanah wakaf tersebut adalah Yayasan Taman Pendidikan Mahfudz Samsulhadi, kemudian dirubah menjadi ‚Yayasan Pendidikan Diponegoro oleh pendahulunya.
Dalam perkembangannya dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa, unsur-unsur wakaf adalah wakif, nazir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Dari berbagai komponen ini berjalin kelindan dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena antara satu dengan yang lain saling berkaitan yang membuat sah tidaknya wakaf tersebut. Setelah praktek perwakafan ini memenuhi rukun-rukun syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka wakaf tersebut sudah sah menurut hukum Islam.
Setelah melihat kronologi penyelesaian perkara sengketa wakaf dengan dibatalkannya Akta Ikrar wakaf tersebut dan juga melihat dasar pertimbangan hakim dalam memutus, dapat dikemukakan penjelasan bahwa: Terhadap peralihan atau perubahan status tanah wakaf adalah tidak dapat dilakukan perubahan, baik perubahan status, peruntukan ataupun penggunaan selain dari pada apa yang sudah ditentukan di dalam ikrar wakaf. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, seperti ketika  tanah wakaf yang sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sebagaimana yang telah diikrarkan oleh wakif, atau kepentingan umum yang menghendakinya. Untuk menjaga agar tanah wakaf tetap berfungsi sebagaimana mestinya, maka peralihan tanah wakaf seharusnya bukan merupakan halangan. Sebab dengan adanya larangan terhadap peralihan hak pada tanah wakaf pada akhirnya justru akan mengakibatkan hilangnya fungsi wakaf (Zuhaili, 1997, X: 7599-7600).
Lebih jauh lagi dapat dinyatakan bahwa peralihan tanah wakaf tersebut, diperbolehkan mengalihkan pemanfaatan agar tanah yang kurang produktif tersebut tetap memberi manfaat, sehingga fungsinya tetap berlangsung seperti pendapat para ulama’ madzhab bahwa penukaran dan penjualan tanah wakaf yang kurang produktif, berpijak pada asas kemaslahatan (Atiyah, 2001: 131-132) yaitu menghindari hilangnya manfaat tanah wakaf tersebut. Atas dasar itu, ada pendapat bahwa bolehnya  peralihan hak atas tanah wakaf bukanlah merupakan perbuatan melanggar hokum dalam Hukum Islam karena peralihan tersebut dilakukan agar maksud dan tujuan wakaf tetap terpelihara. Sementara itu sebagaimana diketahui bahwa hakekat wakaf adalah manfaat dari wakaf tersebut.
 Oleh karena itu, perubahan pemanfaatan wakaf dari yang semula untuk Madrasah Nahdlatul Ulama, kemudian digunakan juga untuk madrasah Diponegoro sebenarnya dapat dibenarkan baik berdasarkan hukum Islam maupun peraturan  hokum positif yang berlaku. Karena penggunaan tanah wakaf untuk Madrasah Diponegoro juga tidak merubah peruntukan wakaf secara signifikan sebagaimana dimaksud oleh wakif, bahkan justru lebih bernilai produktif dan masih dalam lingkup kesejahteraan umum. Dalam kaitan ini yang terjadi sebenarnya adalah peralihan yang tidak murni atau sekedar pergeseran dari rencana semula dan pengembangan. Hanya perbedaan penafsiran, karena yang dimaksud sekolah Nahdlatul Ulama adalah sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, sedangkan sekolah Diponegoro juga mengajarkan pelajaran agama, jadi sebenarnya hanya menyangkut istilah atau nama sekolah, tidak ada peralihan secara substansial, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “ al-‘ibratu fi al-uquud li ma’aaniiha laa lisuari al-faaz ( al-Syatiri, tanpa tahun: 894), atau kaidah lain “ al-‘ibratu fi al-uquud lil maqaasid laa li al-faaz wa al-mabaani (az-Zarqa, 2005, I: 7).
Selain ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum yang diajarkan Sekolah Diponegoro juga termasuk ilmu yang bermanfaat yang dianjurkan oleh agama untuk menuntutnya. Dengan begitu, nazir dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf tersebut sudah sesuai Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah Milik, yaitu diucapkan oleh wakif sendiri atau ahli warisnya di depan PPAIW dengan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi. Dalam hal ini, PPAIW dalam memproses sampai terjadinya wakaf tersebut, hanya mengoreksi begitu saja, karena berkas sudah lengkap, maka diikrarkan wakaf. Akan tetapi nazir dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf tersebut tanpa ada persetujuan semua ahli waris yang ada, dan seharusnya PPAIW mengeluarkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf bukan Akta Ikrar Wakaf. Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan nazir dalam mendaftarkan tanah wakaf tersebut hanya melanggar asas ketelitian.
 Untuk melengkapi sarana hukum tersebut di atas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Obyek Milik. Salah satu pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu pasal 9 mengharuskan perwakafan dilakukan secara tertulis, tidak cukup dengan pernyataan lisan. Munculnya peraturan ini bertujuan untuk memperoleh bukti otentik, misalnya sebagai kelengkapan dokumen pendaftaran obyek wakaf pada Kantor Agraria, maupun sebagai bukti hukum apabila timbul sengketa di kemudian hari mengenai harta telah diwakafkan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak mewakafkan obyek harus melengkapi dan membawa tanda-tanda bukti kepemilikan dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan pelepasan haknya atas obyek tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat pula dipahami bahwa fungsi pendaftaran tanah wakaf dimaksud pada dasarnya untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum ( Riswandi, 2016: 86) mengenai tanah yang diwakafkan. Apabila sertipikat tanah telah dibalik nama atas nama nazir dengan dibuatkan sertipikat wakaf, nazir akan memperoleh jaminan dan kepastian hukum mengenai tanah yang telah diwakafkan kepadanya.
Untuk menjamin adanya kepastian hukum hak atas tanah wakaf, UUPA sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi : “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur
oleh Peraturan Pemerintah. Sedangkan cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dilakukan sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yakni setelah tanah wakaf tersebut diterbitkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf‛ oleh PPAIW yang bersangkutan.
                    Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan bahwa Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Jadi pada dasarnya Akta Ikrar Wakaf tidak dapat dibatalkan kecuali ada sesuatu hal yang dapat membatalkannya, seperti mewakafkan tanah yang bukan tanah miliknya, seperti tersebut dalam sebuah kaidah fiqh “  الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ  atau kaidah fiqh yang lain “  لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ .
         
Sementara itu sebagaimana diketahui bahwa perwakafan tanah dalam kasus tersebut di atas telah terjadi pada tahun 1926, yang menjadi persoalan bagaimana jika pewakif sudah meninggal, sedangkan obyek wakaf tidak ada AIW-nya? Dalam hubungan ini dapat ditegaskan bahwa ketentuan hukum acara yang berlaku perkara permohonan (voluntair) hanya menjadi kewenangan Pengadilan Agama, apabila diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, sementara itu perkara isbat wakaf belum memiliki dasar yuridis kuat kecuali berbentuk penafsiran. Berdasarkan konvensi umum telah disepakati bahwa terhadap hukum formil tidak berlaku penafsiran. Dalam konteks inilah, dibutuhkan secara urgen suatu pemahaman hukum yang responsif dan progresif untuk memformulasikan dasar pijak yuridis formil perkara isbat wakaf. Hal bertujuan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memunculkan kesepahaman atau persepsi, baik dalam teori maupun aplikasinya, terutama bagi para praktisi hukum di pengadilan agama.
Atas dasar itu, untuk memelihara harta benda wakaf dan menjaganya keabadiannya, berdasarkan tujuan umum dan muktabar hukum Islam, bahwa  pemeliharaan harta benda wakaf sebagai bagian dari pemeliharaan harta benda, hifz al-mâl ( Auda, 2007: 21-23), maka benda-benda wakaf yang belum ada AIW-nya, dan pewakifnya sudah meninggal seharusnya dapat diajukan permohonan Isbat Wakaf  kepada Pengadilan Agama, dan produknya hukumnya adalah berwujud
penetapan. Atas dasar itu pula apabila Pasal 7 ayat (2) KHI dapat dianalogikan kepada Isbat Wakaf, maka obyek wakaf bila tidak ada AIW-nya, seharusnya dapat juga mengajukan Isbat Wakaf ke Pengadilan Agama setempat. Untuk menyempurnakan kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perselisihan tentang benda wakaf dan nazir, perlu diterbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan kewenangan voluntair (Isbat Wakaf) kepada lembaga Pengadilan Agama.
Berdasarkan penjelasan di atas agar Isbat Wakaf dapat dilegalisasikan dalam bentuk perundang-undangan. Dengan terbitnya aturan dimaksud dapat memberikan legalitas terhadap istilah Isbat wakaf terhadap benda-benda wakaf yang belum ada AIW-nya sementara pewaqifnya sudah wafat. Atasa dasar itulah, Isbat wakaf dapat  segera mendapatkan formal dalam sebuah pengajuan perkara dalam Pengadilan Agama. Akan tetapi yang perlu dicermati dalam upaya isbat wakaf sebagaimana tersebut di atas adalah bahwa majelis hakim harus dapat menilai dan menemukan berbagai alat bukti yang akurat terkait dengan status obyek wakaf tersebut. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa penilaian dan keyakinan hakim sebagai salah satu alat bukti sangat urgen dalam kasus ini.
Begitu pula posisi saksi yang benar-benar mengetahui kedudukan dan seluk-beluk obyek wakaf di atas juga sangat menentukan dalam menemukan bukti yang akurat. Selain itu, kedudukan KUA selaku PPAIW sebagai pejabat yang berwenang membuat Akta Ikrar Wakaf dan melaksanakan pendaftaran sertifikat tanah wakaf seharusnya bersifat telaten dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang perwakafan tanah. Dengan demikian, pemahaman pendafataran tanah wakaf khususnya perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia PPAIW nya agar dapat meminimalisir kelalaian pendaftaran tanah wakaf.
Hakim dalam konteks kasus tersebut di atas merupakan penentu dari para pencari keadilan sehingga dapat memberikan suatu putusan perkara sesuai dengan fakta dan undang-undang yang berlaku dengan merujuk pada kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor: 3862/Pdt.G/2010/PA.Sby sudah sesuai dengan hukum formil yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dalam segi pembuatan Akta Ikrar Wakaf, nazir di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambasari Surabaya, menggunakan (waqif yang baru) bernama Nurul Afifah tanpa persetujuan semua ahli waris yang ada dan nazir telah merubah pemanfaatan yang dilakukan oleh pendahulunya, seharusnya PPAIW mengeluarkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf bukan Akta Ikrar Wakaf karena tanah wakaf yang sudah diwakafkan tidak boleh diwakafkan lagi. Ketetapan atau keputusan tersebut bertentangan dengan asas kehati-hatian dan kecermatan.
Selanjutnya terkait dengan pertimbangan hakim tersebut, adanya
Isbat Wakaf yang harus dilakukan antara nazir dan ahli warisnya. Karena Isbat wakaf dimaksud dapat menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan karena adanya perbedaan pendapat antara para hakim. Bahkan dengan tidak adanya aturan yang mengatur terminologi isbat wakaf dapat memunculkan silang pendapat  di antara  para hakim. Karena kewenangan Pengadilan Agama mengadili sengketa wakaf hanya ada gugatan (contentiuse). Dalam kaitan inilah dibutuhkan aturan baru untuk memperkuat kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama mengadili perkara wakaf, yang berupa permohonan (volunteir) tentang tata cara Isbat Wakaf di Pengadilan Agama. Dengan begitu, interpretasi Isbat Wakaf dapat dilakukan sehingga perdebatan atau perselisihan  dalam penafsiran Isbat wakaf dapat diakhiri dan dapat dibuktikan berdasarkan fakta hukum acara.

Penutup
Berdasarkan uraian hasil analisis yang dikemukakan dalam uraian terdahulu,  dapat dikemukakan kesimpulan bahwa ditinjau dari perspektif Hukum Islam Keputusan Pengadilan Agama Surabaya dalam memutus sengketa wakaf yang berakibat dibatalkan Akta Ikrar Wakaf Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 dan Ikrar Wakaf tanggal 17 Maret 2009 dan Surat Pengesahan Nadir Nomor: BA.03.1/99/III/2009 tanggal 17 Maret 2009 yang dibuat Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambaksari, dapat dibenarkan. Meskipun pada dasarnya dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim kurang memperhatikan ketentuan hukum acara umum yang berlaku dan diterapkan selama ini. Akan tetapi, walaupun demikian putusan tentang sengketa tanah wakaf dengan dengan dibatalkannya Akta Ikrar Wakaf oleh Pengadilan Agama tersebut tidak berimplikasi terhadap pembatalan tanah wakaf tersebut. Oleh karena itu, untuk antispasi ke depan perlu ditetapkan aturan perundang-undangan yang baru untuk mengatur kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama mengenai Isbat Wakaf.


PUSTAKA ACUAN

Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Atiyah, Jamaluddin. 2001. Taf’il Maqasid al-Syari’ah. Amman: al-Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami.
Auda, Jasser. 2007. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London: The International Institute of Islamic Thought.
Hanafi, Al-Sarkhasi al-.2001. Kitab al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Mubarok, Jaih.2008. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Riswandi, Budi Agus (editor). 2016. Wakaf Hak Kekayaan Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: Pusat HKI FH UII.
Syatiri, Muhammad bin Ahmad bin Umar al-. Tanpa Tahun. Syarhul Yaqut al-Nafis. Beirut: Muasasah ar-Risalah.
Taimiyah, Ibn. 1977. Majmu’at al-Fatawa. Saudi Arabiyah: Dar al-Ifta wal- Irsyad.
Zarqa, Mustafa Ahmad az-. 2005. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani.
Zein, Satria Effendi M..2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Diterbitkan atas Kerja Sama dengan Fakultas Syariah & Hukum UIN Jakarta dan Balitbang DEPAG RI.
Zuhaili, Wahbah al-. 1997. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Darl al-Fikr al-Mu’asir.


Tulisan ini dimuat dalam Majalah Peradilan Agama Edisi 11 April 2017  hlm. 67-71.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

USUL FIQH SEBAGAI METODE

          Usul  Fiqh Sebagai  Metode                                                    Yusdani Pengantar Secara umum usul al-fiqh merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang. Namun dalam pengertian khusus usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum, usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum syariah. Sebagai metode penemuan hukum, usul fiqh merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu studi hukum Islam deskriptif dan studi  hukum Islam preskriptif ( Anwar, 2005: 2). Studi Hukum Islam Deskriptif Studi hukum Islam deskriptif meneropong hukum Islam sebagai fenomena sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dalam kaitan ini hukum Islam dapat dilihat baik sebagai variabel independen (bebas) yang mempengaruhi masyarakat maupun sebagai variabel depende