FORMALISASI SYARIAT
ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh : Yusdani
Pendahuluan
Beberapa tahun
belakangan ini, kajian ilmu sosial mengenal apa yang disebut dengan masa
post-modernisme. Periode ini antara lain ditandai oleh kecenderungan semakin
kuatnya aktivitas yang lebih bernuansa mendekatkan diri kepada Tuhan dan
sekaligus mengamalkan ajaran-ajaran agama yang selama masa moderen cenderung
ditinggalkan dan posisinya diganti oleh ilmu pengetahuan yang secara salah
kaprah dipandang bersifat universal. Sejalan dengan ini, menjadikan hukum yang
berasal dari dan didasarkan atas ajaran agama sebagai landasan hidup dan
kehidupan umat menjadi ciri penting bagi masyarakat pada masa post-modernisme.[1]
Dalam konteks post-modernisme di atas munculnya
sejumlah wacana di Indonesia tentang perlunya formalisasi Syari'at Islam
semakin hari semakin mengemuka, dan apa yang terjadi di Nangro Aceh Darussalam,
Kongres Umat Islam, dan tuntutan amandemen UUD yang berlandaskan syari'ah
hanyalah sebagian dari wacana dan gerakan dimaksud.[2]
Semangat untuk menegakkan syariat Islam
di Indonesia tampaknya tidak pernah padam. Hal ini tampak dari sejarah
pergulatan politik nasional. Memang syariat Islam telah menjadi sejarah bangsa
Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam
senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat di daerahnya. Setelah penjajahan
Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha
menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat ataupun adat
diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan
syariat Islam sebagai cita-cita.[3]
Setelah Indonesia merdeka, usaha
pemberlakuan syariat Islam tidak juga berhenti. Ada yang dengan
berangsur-angsur menegakkannya dalam kehidupan politik, seperti misalnya
perjuangan diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante. Dan,
terus-menerus diperjuangkan umat Islam secara politik dan kultural meski belum
berhasil memberlakukan syariat Islam secara total. Kendati demikian, di
pertengahan terakhir masa Orde Baru berkuasa, beberapa ketentuan syariat Islam
sudah bisa diakomodir oleh negara.[4]
Wacana tentang formalisasi syariat
Islam dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan topik kontekstual bagi dunia
politik Indonesia. Setidaknya ada tiga kondisi yang membuat wacana seputar
formalisasi syariah kini menjadi sangat kontekstual. Pertama, adanya
upaya sebagian partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untuk
mengamandemen pasal 29 UUD 1945 dengan memasukkan "tujuh kata"
("dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya") dalam Piagam Jakarta agar formalisasi syariah
mempunyai landasan konstitusional yang jelas di Indonesia.Kedua, adanya
formalisasi beberapa elemen syraiah Islam oleh birokrat pada sebagian daerah di
Indonesia, seperti propinsi Nanggroe Aceh Darus Salam (NAD), juga di Kabupaten
Cianjur dan Tasikmalaya di Jawa Barat. Patut dicatat pula adanya upaya-upaya
untuk memformalisasikan syariah Islam di tempat lain seperti di Sulawesi
Selatan. Ketiga, adanya seruan dan kampanye untuk mengajak masyarakat
untuk memformalisasikan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, seperti
yang dilakukan beberapa kelompok dan gerakan Islam, misalnya Hizbut Tahrir,
Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia.[5]
Pro dan Kontra Formalisasi Syariat Islam
Diskursus
formalisasi syariat Islam yang cukup gencar tersebut telah menimbulkan pro dan kontra. Salah satu
pandangan berusaha mementahkan ajakan formalisasi syariat Islam. Penolakan
formalisasi syariah ini diungkapkan dengan berbagai argumentasi dan dalil.
Misalnya, ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat plural, tidak
hanya muslim, maka formalisasi syariat Islam yang berlaku umum tidak dapat
diterima. Bahkan ada yang mempertanyakan, kalau mau memformalisasikan syariat
Islam, syariat Islam yang mana? Bukankah varian pemahaman umat Islam Islam
tentang syariat Islam sifat beragam tidak tunggal? Ada pula yang menyatakan
bahwa formalisasi syariat Islam berarti intervensi negara terhadap kehidupan
beragama yang seharusnya bersifat privat dan individual. Ada pula yang menolak
formalisasi syariat Islam karena syariat Islam tidak sesuai dengan modernitas
dan kehidupan publik, misalnya Hukum Internasional, Hak-Hak Asasi Manusia,
Demokrasi, dan sebagainya?[6]
Perdebatan soal formalisasi syariat
Islam[7] di
Indonesia semakin marak setelah dua partai Islam, PPP dan PBB sebagaimana telah
diungkapkan di atas, mengusulkan dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam
amandemen UUD 1945. Lebih dari itu, sejumlah Ormas Islam- minus Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah-menyuarakan aksi tuntutan kembalinya Piagam Jakarta, yang
berarti pula formalisasi syariat Islam di tanah air. Tampak sekali tuntutan ini
membawa pengaruh di sejumlah daerah. Dimulai dari Aceh (Nanggroe Aceh
Darussalam)[8] yang
pertama kali secara khusus memberlakukan syariat Islam secara formal, kini
daerah lain sudah ancang-ancang mengambil keputusan serupa, seperti di Cianjur,
Tasikmalaya, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan Pamekasan. Semua ini
menunjukkan betapa seriusnya sosialisasi formalisasi syariat Islam yang
dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam.[9]
Sementara di sisi lain, ada kelompok
Islam yang menolak formalisasi syariat Islam. Biasanya mereka ini adalah
kelompok yang selama ini getol menggagas pluralisme, inklusivisme, toleransi,
dan kulturalisasi Islam. Tak berlebihan jika kelompok Islam ini secara tegas
justru menginginkan deformalisasi
syariat Islam. Syariat Islam secara formal tidaklah perlu. Karena yang menjadi
poin mendasar keber-islaman di Indonesia adalah komitmen kepada agama secara
substansialistik, bukan legalistik-formalistik, termasuk di dalamnya acuan
syariat agamanya.[10]
Pemikiran deformalisasi di atas didasarkan
pada kenyataan riil, syariat sudak terakomodasi secara formal, seperti
Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Zakat, Undang-undang Haji, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), dan sejumlah produk perundang-undangan lainnya. Syariat
Islam pun sudah dipraktekkan umat Islam, seperti salat, zakat, dan haji, tanpa
perlu diperintah oleh negara. Kenapa Islam harus mendapatkan legitimasi formal
negara? Bukankah ini wujud dari politisasi syariat agama yang cenderung tidak
produktif, dan justru menambah deretan konflik? Indonesia ini bukanlah negara
agama atau tegasnya bukan negara Islam, sehingga tidak layak memberlakukan
syariat Islam secara formal dan total. Indonesia adalah negara plural yang
menampung banyak agama, tidak hanya Islam. Sehingga produk
perundang-undangannya tidak boleh eksklusif secara keseluruhan, tetapi
menampung aspirasi agama-agama lain. Belum lagi problem mendasar dalam memahami
syariat Islam. Perbedaan mazhab fiqh akan banyak menimbulkan perbedaan hukum.
Inilah yang menyebabkan gagasan formalisasi syariat Islam tidak tepat dan
a-historis di bumi nusantara ini.[11]
Sedikitnya, ada tiga arus besar yang
mengemuka dalam menyikapi formalisasi syariat Islam. Pertama, arus
formalisasi syariat.[12] Kelompok
ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan
bernegara. Pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945 menjadi salah satu
target utamanya. Kedua, arus deformalisasi syariat.[13] Kelompok
ini memilih pemaknaan syariat secara substantif. Pemaknaan syariat tidak
serta-merta dihegemoni negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara
individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam UUD 1954 tidak mempunyai
alasan kuat dalam ranah politik. Ketiga, arus moderat.[14].
Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah: menolak sekularisasi dan
islamisasi, karena budaya masyarakat muslim Indonesia mempunyai kekhasan
tersendiri. Sekularisasi dan Islamisasi merupakan barang impor yang tidak cocok
dengan identitas masyarakat, sehingga keduanya berpotensi untuk melakukan
indoktrinsasi dan ideologisasi.[15]
Akan
tetapi terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan formalisasi syariat Islam
di atas, yang jelas kesulitan dalam merealisasikan formalisasi syariat tersebut
di atas hingga kini, belum ada satu negara pun di dunia yang dapat dipakai
sebagai acuan dalam pelaksanaan syariat Islam.[16]
Di samping itu, persoalan mendasar yang perlu dipertanyakan berkaitan dengan
formalisasi syariat ini adalah menyangkut level atau ruang lingkup kehidupan,
apakah formalisasi syariat Islam diberlakukan untuk mengatur kehidupan individu,
masyarakat dalam arti komunitas (kelompok ) tertentu atau warga negara
Indonesia secara keseluruhan? Tiga persoalan ini penting dipertanyakan karena
perdebatan seputar formalisasi syariat Islam yang muncul selama ini di
Indonesia kurang menyentuh tiga persoalan tersebut.
Persoalan
mendasar lainnya yang dihadapi para pendukung formalisasi syariat Islam di
Indonesia adalah masalah pengertian atau definisi syariat Islam itu sendiri,
karena tanpa proses pendefinisian yang jelas, dapat dan dalam kebanyakan kasus
akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.[17]
Tiga aspek hak asasi manusia yang paling banyak berkaitan dengan penerapan dan
formalisasi syariat Islam adalah pembatasan terhadap kebebasan beragama,
diskriminasi terhadap perempuan, dan
diskriminasi terhadap Non-Muslim.
Syariat Butuh Interpretasi
Salah satu persoalan mendasar
sehubungan dengan ide formalisasi syariat di negara-negara Muslim, termasuk
umat Islam Indonesia adalah belum ada suatu kesepakatan di kalangan mereka
tentang makna syariat itu sendiri. Formalisasi syariat Islam,[18]
pada faktanya bukanlah masalah sederhana. Selain implikasinya terhadap HAM
seperti yang disebutkan di atas, di dalam isu ini terdapat berbagai keruwetan
yang hingga kini belum terpecahkan. Di kalangan ulama Islam sendiri, misalnya,
masih terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan syariat dan
bagaimana bentuk kongkritnya. Ketiadaan rumusan syariat yang jelas tentunya
sangat potensial menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam sendiri.
Pengalaman Pakistan, dalam hal ini, barangkali dapat dirujuk. Elan dasar pendirian "republik Islam" ini adalah kehendak komunitas Muslim membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Akan
tetapi, sejak berdirinya Republik Islam
Pakistan pada 3 Juni 1947, negara ini
mengalami kesulitan serius dalam mendefinisikan keislamannya.
Perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan dalam Majlis Konstituante- demikian
pula hasil kompromi antara kubu tradisionalis dan modernis yang terjelma dalam Objectives Resolution (1949),[19]
konstitusi pertama (1956), konstitusi kedua (1962) ataupun amandemennya yang
tidak memuaskan seluruh pihak – dengan jelas
merefleksikan hal ini.
Ketika sampai kepada hukum Islam (fiqh),
kesulitan yang sama juga dihadapi kaum Muslimin Pakistan. Dalam benak para
modernis selaras dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Sementara kubu
tradisional menuntut bahwa fiqh, yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan derivasi
dari Alquran dan Sunnah Nabi,
harus diberlakukan tanpa kecuali.
Kontroversi sengit tentang riba dan bunga bank, pendayagunaan zakat,
program Keluarga Berencana, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan betapa sulitnya kaum
Muslimin Pakistan mendefinisikan syariat Islam untuk konteks negeri mereka.
Akibat dari kesulitan tersebut adalah
kekacauan dan kerancuan dalam definisi "Islam" yang menyertai
pengalaman kenegaraan Pakistan . Kompromi-kompromi yang dicapai tentu saja
tidak selaras dengan modernisasi yang dikehendaki kubu modernis ataupun status
quo yang hendak dipertahankan kelompok
tradisionalis. Ajang kontroversi pun melebar kepada konflik serta aksi-aksi
penjarahan, pembakaran, terorisme dan pembunuhan, sampai pada penetapan kaum
Ahmadiah sebagai minoritas non-Muslim di
masa Zulfikar Ali Bhutto ( 1974). Bahkan konstitusi 1973
yang diundangkan Bhutto dan dipandang sebagai konstitusi paling islami
dalam sejarah Pakistan, memiliki klausa
tentang presiden, perdana menteri dan beberapa
pejabat penting lainnya wajib
melakukan sumpah jabatan yang secara
eksplisit menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.
Sebagai akibat dari ketidakjelasan
tentang pemaknaan syariat seperti tersebut di atas, berimplikasi pula pada
bagaimana syariat itu diterapkan. Sampai hari ini misalnya kaum muslimin belum
punya kesepakatan tentang status perempuan Muslim dan status minoritas
non-Muslim dalam suatu masyarakat yang hendak diatur secara Islam bila
dikaitkan dengan prinsip kemerdekaan sipil dan hak-hak asasi manusia. Dapatkah
konsep ahl al-dhimmah yang telah menyatu dengan bingkai syari'ah klasik
diberlakukan sekarang ini, pada suatu dunia yang sudah sangat berbeda dari
dunia klasik. Bagaimana pula dengan posisi perempuan Muslim dalam sistem
sosio-politik Islam kontemporer, apakah mereka masih saja tidak punya hak
politik yang sama dengan laki-laki? Begitu pula tentang masalah ridda
yang dalam ketentuan syari'ah klasik harus dibunuh. Dapatkah teori klasik yang
semacam ini dipertahankan? Seperti diketahui isi syari'ah yang diwarisis sampai
akhir abad ini adalah hasil konstruksi para yuris Muslim selama tiga abad
pertama setelah kelahiran Islam. Dr. Abdullahi Ahmed an-Nai'im dalam bukunya Towards
an Islamic Reformation menulis:" Sekalipun berasal dari sumber-sumber
Ilahiyah fundamental Islam, Al-Quran dan Sunnah, syari'ah tidak bercorak
ilahiyah karena ia adalah hasil tafsiran manusia terhadap sumber itu. Lagi
pula, proses konstruksi melalui tafsiran manusia ini terjadi dalam konteks
histories yang spesifik yang sama sekali berbeda dengan masa kini,"[20]
An-Na'im adalah pengikut Mahmuod Mohamed Taha, seorang pembaharu kontroversial
dari Sudan, yang diekskusi oleh Ja'far Numayry, pemimpin militer Sudan, pada
1985, karena tuduhan ridda, sebuah tuduhan politik yang dicari-cari. Yang
hendak diperjuangkan oleh Taha adalah agar Islam itu tidak terpelanting dari
dari wilayah kehidupan dunia manusia.[21]
Bisa saja hasil pemikirannnya keliru, tetapi mengapa harus diekskusi secara
zalim? Baik Taha maupuin An-Na'im sama-sama penentang pelaksanaan hukum Islam
klasik di Sudan.
Apa yang diamati oleh An-Na'im di
Sudan, dikaji pula oleh Dr. Rubya Mehdi di Pakistan. Dalam bukunya The
Islamization of Law in Pakistan, pengarang ini mencatat ketidakkonsistenan
dan ketidakstabilan dalam pelaksanaan sistem hukum di Pakistan, kenyataan ini
tetap berlangsung sejak kematian Zia Ul-Haq pada 1989.[22]
Dalam menghadapi proses Islamisasi hukum Islam ini, ketegangan yang semakin
parah antara golongan Tradisionalis dan Modernis, tidak dapat dielakkan. Proses
Islamisasi semakin menjauhkan jarak antara kedua kelompok itu. Penafsiran Islam
yang saling berlawanan telah memperhebat sektarianisme keagamaan di Pakistan.[23]
Penjelasan
di atas perlu dikemukakan agar menyadarkan umat Islam bahwa di kalangan sesama
muslim perbedaan pendapat dalam memahami syariah masih sangat tajam. Islam
belum dapat diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Jangankan bagi umat
manusia seluruhnya, umat Islam sendiri masih bersengketa dalam menafsirkan
ajaran Islam ini. Sengketa penafsiran ini telah membuahkan sengketa politik
berkepanjangan. Atau bila dibalik, sengketa politiklah sebenarnya yang
melatarbelakangi sengketa penafsiran tersebut.
Formalisasi Syariat dan Masalah Kebebasan Beragama
Masalah pembatasan terhadap kebebasan
beragama[24] dapat
timbul dari hukum riddah atau murtad
– yakni keluar dari agama Islam. Seperti tampak, hukum murtad atau apostasy
ada dalam hukum kriminal yang
diundangkan di sejumlah negeri Muslim, misalnya di Kelantan dan Terengganu.
Riddah atau murtad dalam hal ini mengacu kepada
ketentuan hukum hudud[25] (
hukum-hukum yang teks dan ketentuan hukumnya jelas dan tegas tertulis dalam
al-Qur'an dan Hadis).
Di dalam fiqh, semua mazhab
besar memang menetapkan hukuman mati bagi yang murtad, walaupun mereka berbeda
pendapat mengenai bentuk hukuman matinya- dirajam, dibakar, disalib,
disembelih, diusir/ekskomunikasi, atau disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Namun, ada perbedaan pendapat tentang apakah murtad termasuk ke dalam kategori
hadd atau tidak. Sebagai contoh, Imam
Syafi'i tidak memasukkannya ke dalam
kategori hudud, sementara sebagian ulama klasik memasukkannya. Di masa modern,
kelompok Ahmadiyah tidak mengharuskan
hukuman mati bagi yang murtad.
Demikian juga Muhammad Ali dari India, karena menurutnya tidak ada satu
petunjukpun di dalam Alquran yang membolehkan hukuman mati.[26]
Dalam kasus Mesir tampak
bahwa isu keluar dari agama Islam juga muncul dalam kasus Nasr Hamid Abu Zayd
dan Nawal El- Saadawi. Tentu saja, kasus murtad yang lebih keras timbul
di Sudan, seperti tampak dalam kasus Mahmud Muhammad Thaha. Untuk
kasus-kasus semacam ini, khazanah fiqh
yang lebih relevan adalah zandaqah atau zindiq, yaitu orang yang
dianggap membuat dan menyebarkan
penafsiran dan ajaran yang dinilai
salah. Zindiq juga berlaku bagi orang-orang yang mengabaikan ibadah keagamaan
dalam jangka waktu tertentu tanpa
bertobat- seperti orang yang tidak sembahyang tiga hari. Para ulama fiqh klasik
menganggap bahwa hukuman mati tidak hanya dikenakan kepada orang yang dari pikiran dan
perbuatannya terbukti keluar dari agama. Walaupun orang yang ajarannya berbeda
dari ajaran dan tafsiran ortodoks dan yang mengabaikan ibadah agama disebut zandaqah
( bidah), tetapi mereka menganggap bahwa hukumannya sama kerasnya.[27]
Basis bagi kejahatan zandaqah adalah
teori tentang hak. Dalam hal ini, hak
dibedakan kepada tiga jenis. Pertama, hak-hak Tuhan ( huquq Allah), kedua, hak-hak
Tuhan dan hambanya (huquq Allah wa al
'Ibad), dan ketiga, hak-hak
hamba ( huquq al- 'Ibad atau Huquq
Adamiyyin ). Hak-hak Allah ialah semua kewajiban agama yang harus dipenuhi
manusia karena merupakan perintah
ilahi walaupun manfaat dan kegunaannya bagi manusia tidak tampak
jelas. Contohnya adalah puasa, haji, dan
salat. Pengertian lain menyebutkan bahwa hak-hak kategori ini khusus menyangkut
ketentuan-ketentuan pidana. Hak bersama Tuhan dan hamba-Nya adalah kewajiban
agama yang diperintahkan Tuhan dan juga pada saat yang sama dimaksudkan untuk melindungi publik,
seperti hudud, jihad, dan zakat. Akhirnya, hak hamba Tuhan adalah hak dan klaim
sipil yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu seperti memenuhi
janji, melunasi hutang, menghormati kontrak, dan lain-lain.[28]
Rumusan tentang hak-hak di atas, yang
dikembangkan ulama fiqh pada abad ke-8
H, dalam kenyataannya telah menjadi alat politik yang dapat digunakan
kelompok-kelompok Islam untuk menyerang lawan mereka. Pihak lawan yang memiliki
keyakinan dan praktek keagamaan berbeda dituduh, misalnya, telah melanggar
hak-hak Tuhan sehingga pantas mendapatkan perlakuan yang menindas, keras, atau
kejam.
Formalisasi Syariat dan Kedudukan Non-Muslim
Salah satu persoalan yang juga tidak
kalah penting dan erat hubungannya dengan formalisasi syariat adalah persoalan
bagaimana kedudukan Non-Muslim dalam negara yang menerapkan syariat secara
formal. Formalisasi syariat Islam juga menimbulkan masalah tersendiri bagi non-
Muslim.[29]
Dalam hal ini, mereka mendapatkan status zimmi yang dalam praktek
penerapan syariat Islam serupa dengan status warga negara kelas dua. Hal ini
tentu saja bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan yang menjadi norma
masyarakat internasional dewasa ini. Di dalam fiqh klasik, pengertian
zimmi sebenarnya bervariasi dan membuka
peluang bagi berkembangnya konsep kewarganegaraan modern di dunia Muslim. Akan
tetapi, bentuk tafsiran yang dipilih dalam berbagai penerapan syariat Islam
justru membatasi dan mempersempit pengertiannya. Sementara itu, banyak pemikir
Muslim modern sebenarnya telah menunjukkan tafsiran baru yang lebih sesuai
dengan situasi negara modern.
Muhammad al-Ghazali dari Mesir, penulis
at-Ta'assub wa at-Tasamuh bain
al-Masihiyyah wa al-Islam ( "Fanatisme dan Tolerani antara agama
Kristen dan Islam, "1965), mengatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas
prinsip toleransi, kerjasama, dan
inklusifitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup
berdampingan dengan umat Islam"
sudah menjadi orang-orang Muslim dilihat dari sudut politik dan
kewarganegaraan" karena persamaan hak dan kewajibannya, walaupun secara pribadi mereka tetap pada akidah dan
ibadah mereka. Rasyid al-Gannusyi dari
Tunisia, yang mendekati persoalan baik minoritas bukan Muslim maupun minoritas
Muslim dari sudut kewarganegaraan mengatakan bahwa kewarganegaraan tidak
dibeda-bedakan atas dasar agama. Kelompok minoritas non Muslim memiliki hak
asasi manusia yang sama dengan yang
dimiliki umat Islam. Prinsip-prinsip
yang diajarkan Islam, seperti keadilan dan persamaan, berlaku kepada
seluruh warga negara, baik Muslim maupun
bukan. Bagi al-Ganussyi, Diskriminasi
terhadap kalangan non-Muslim dan perlakuaan yang menganggap mereka sebagai
warga negara kelas dua adalah tindakan melanggar ajaran agama dan merusak citra
Islam.[30]
Kendati demikian, penerapan status
zimmi masih terjadi dalam konteks penerapan syariat Islam. Jangankan kepada
umat Kristiani- seperti di Sudan Selatan atau Kristen Koptik di Mesir, di Pakistan setelah Ahmadiyah ditetapkan presiden Zulfikar Ali Butto tahun 1974 sebagai minoritas non-Muslim,
warga Ahmadiyah juga sering diperlakukan
sebagai zimmi. Sepuluh tahun kemudian,
Presiden Zia-Ul-Haq mengeluarkan ordonansi yang melarang Ahmadiyah menyebut mereka
Muslim atau menyebut agama mereka Islam. Seperti tampak pada uraian di atas.
Mereka juga dilarang menggunakan istilah-istilah Islam, menyerukan azan,
menyebut tempat ibadah mereka masjid,
dan mendakwahkan ajaran mereka. Ada sangsi pidana maksimal tiga tahun penjara dan denda untuk
pelanggaran ordonansi Jendral Zia-ul Haq ini.[31]
Formalisasi Syariat dan Kedudukan Perempuan
Formalisasi syariat juga berimplikasi
terhadap posisi kaum perempuan. Bagi masyarakat Muslim sendiri, bahaya
diskriminasi terhadap perempuan yang timbul karena formalisasi syariat Islam
adalah masalah yang paling pelik. Sebab, di satu sisi syariat Islam memberi
perempuan status yang setara dengan laki-laki. Banyak ulama, yang umumnya
laki-laki, juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan. Akan tetapi, di sisi lain,
perempuan sering kali menjadi korban pertama formalisasi syariat Islam. Ini tampak, antara lain, dalam penerapan
hukum status personal seperti khul' di Mesir
dan dalam penerapan hukum kriminal seperti zina. Kasus-kasus paling menggagu adalah
kasus-kasus dari Nigeria, seperti kasus Bariah Ibrahim Magazu yang hamil dan
melaporkan dirinya diperkosa, tetapi
tidak berhasil membuktikannya. Ia dihukum cambuk 180 kali : yang seratus
sebagai hukuman zina, dan yang 80 sebagai hukuman qazab, menuduh orang lain berbuat zina. Kasus
lainnya dari Nigeria adalah Safiya Khusaini dan Aminah Lawal yang dijatuhi hukum rajam atas tuduhan zina dan protes
internasional. Seperti telah disebutkan, seorang perempuan Pakistan, Zafran
Bibi, juga dihukum rajm setelah melapor diperkosa iparnya, karena tidak cukup
bukti ketika kasusnya disidangkan di pengadilan.[32]
Perlakuan diskriminatif lainnya adalah
dari Sudan. Umar al-Basyir mengeluarkan
peraturan yang mengharuskan perempuan
duduk di bagian belakang dalam
transportasi publik di Khortoum, ibukota
Sudan. Setelah kudeta 1989, Jenderal al-Basyir
juga memecat ribuat pegawai perempuan
karena tidak sesuai dengan syariat Islam ala rezim al-Basyir. Perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan yang
lebih buruk dan menghawatirkan adalah
yang terjadi di Afganistan pada era Taliban.[33]
Gerakan
perempuan yang telah merebak di Malaysia, Mesir , Indonesia,[34] dan negeri-negeri Muslim lainnya, telah
mengajukan berbagai keberatan dan protes terhadap praktek penerapan syariat yang bertentangan dengan hak asasi perempuan seperti terjelma dalam Convention to
Eliminate All Forms of Discrimination against Women ( CEDAW). Perlu
ditekankan di sini bahwa, kecuali Sudan
– karena menurut Jenderal Umar
al-Basyir, penguasa Sudan, CEDAW
bertentangan dengan nilai-nilai kewanitaan Sudan – negeri-negeri Muslim
yang ditinjau dalam tulisan ini telah meratifikasi atau mengakses CEDAW atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Nigeria menandatangani CEDAW pada 1984 dan
meratifikasinya setahun kemudian tanpa reservasi. Mesir menandatangani CEDAW
pada 1980 dan meratifikasinya setahun kemudian dengan beberapa reservasi.
Malaysia menerima CEDAW pada 1995 dengan sedikit reservasi. Pakistan menerima CEDAW pada 1996
dengan deklarasi umum bahwa penerimaan
Pakistan itu tunduk kepada
ketentuan-ketentuan konstitusi nasional. Indonesia juga telah menandatangani
CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya pada
1984.[35]
Formalisasi
Syariat dan Konflik antar Komunitas Keagamaan
Persoalan krusial lainnya yang juga
terkait dengan formalisasi syariat adalah konflik antar komunitas keagamaan. Penerapan
syariat Islam di beberapa negeri Muslim
juga memicu konflik antar komunitas keagamaan. Sudan dan Nigeria merupakan ilustrasi yang
baik untuk kasus ini. Ketika rezim
Ja'far Numeiri (1969-1985) berkuasa setelah suatu kudeta militer di Sudan pada 1972 dicapai terobosan mengenai masalah konflik Utara-Selatan lewat
persetujuan Addis Ababa yang terkenal itu. Persetujuan ini memberikan otonomi
regional kepada Sudan Selatan, dengan badan legislatif dan eksekutif terpisah.
Pemerintah pusat tetap memegang kendali politik luar negeri dan pemungutan
pajak. Selain itu, kebebasan beragama dijamin. Akan tetapi, otonomi hanya
dinikmati hingga 1983. Pada penghujung kekuasaannya, kebijakan-kebijakan nasionalis
sekuler yang diambil Numeiri pada masa
kekuasaan berubah secara dramatis ke
arah islamisasi. Menguatnya revivalisme Islam, potensi politiknya serta
keinginan Numeiri untuk mengontrol dan
mengooptasi kekuatan tersebut di Sudan, merupakan latar belakang bagi perubahan
kebijakan Numeiri. Pada 8 September 1983 , lewat dekrit presidensial, Numeiri memberlakukan syariat Islam sebagai
satu-satunya hukum di Sudan. Kelompok
minoritas non-Muslim seperti Kristen
misalnya , dengan tegas menolak islamisasi Numeiri, dan konflik Utara dan
Selatan di Sudan pun kembali bergolak.[36]
Sementara di Nigeria formalisasi syariat
telah menimbulkan persoalan yang lebih
parah antara Muslim dan non-Muslim,
serta tidak jarang meledak dalam bentuk konflik dan kerusuhan komunal. Menurut suatu perhitungan diperkirakan, lebih
dari enam ribu orang meregang nyawa dalam berbagai kerusuhan antar agama sejak 1999 hingga 2002 di negeri ini lantaran formalisasi
syariat Islam.[37]
Formalisasi Syariat dan Krisis
Konstitusi
Formalisasi syariat juga tidak dapat
dipisahkan dari persoalan krisis konstitusi di berbagai negara yang menerapkan
syariat Islam. Selain itu, juga di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada
NAD untuk memberlakukan syariat Islam secara formal. Karena itu, hal ini perlu
mendapat perhatian semua pihak sehubungan dengan penerapan syariat di NAD.
Krisis konstitusional juga sering kali timbul karena formalisasi syariat Islam, seperti tampak dari kasus penerapan hudud di Kelantan dan Terengganu, Malaysia dan di negara-negara bagian Nigeria
yang menerapkan syariat Islam. Di
negara-negara ini, pemerintah federal
sudah menyatakan bahwa legislasi di tingkat negara itu bertentangan dengan konstitusi- karena menurut konstitusi hukum kriminal adalah bagian dari
yurisdiksi Federal. Di Malaysia, konflik
konstitusi mengakibatkan ketentuan-ketentuan huhud di Klantan dan
Trengganu tidak dapat berlaku
walaupun, selain kasus Kelantan, sudah
ditetapkan parlemen bagian negara 10
tahun lalu. Di Nigeria pun demikian. Pemerintah Federal mengatakan hukum
hudud negara-negara bagian di utara Nigeria
bertentangan dengan hukum Federal. Akan tetapi, berbeda dari Malaysia,
pemerintah Federal Nigeria mengambil kebijakan lepas tangan sehingga negara
bagian menetapkan hukum hudud, antara lain karena penguasa sedang
memerlukan dukungan dari kalangan yang
ingin menerapkan hudud.
Di Indonesia, pemberian otonomi khusus
kepada NAD untuk antara lain
memberlakukan syariat Islam secara formal, juga dapat menimbulkan krisis konstitusi,
karena berbagai peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan di daerah tersebut berseberangan dengan
undang-undang lainnya, sekalipun ada mandate yang bersumber dari UU otonomi
khusus NAD. Sementara sejumlah peraturan
daerah ( Perda) bernuansa syariat yang diundangkan beberapa pemerintah daerah
di Indonesia juga dipandang
bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Pemerintah
pusat, dalam kasus ini, telah
mengeluarkan perintah agar peraturan daerah- peraturan daerah tersebut dicabut
oleh pemerintah daerah dan dewan legislatif lokal kalau tidak, pemerintah pusat
mengancam akan membatalkannya.[38]
Penjelasan-penjelasan
di atas menunjukkan bahwa formalisasi syariat di alam demokrasi akan menjadi
kendala bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang damai, adil, setara dan
berkeadaban. Paling tidak yang menjadi karakter dari formalisasi syariat. Pertama,
anti-pluralisme. Pemaknaan terhadap agama yang bersifat eksklusif dan
menyalahkan yang lain, akan menjadi tantangan bagi pluralisme. Kelompok pendukung
formalisasi syariat masih mengimpikan adanya pembagian territorial antara
wilayah muslim (dar al-Islam) dan wilayah kafir (dar al-harb),
selain kecenderungan memaknai Islam secara eksklusif. Mereka menghidupkan
kembali identitas muslim dan kafir, yang paling benar hanyalah agama yang
dianutnya, sedangkan agama yang lain dianggapnya kafir, zionis dan lain-lain.
Dalam banyak hal, pemihakan ditujukan hanya dalam hal-hal yang menyangkut
syariat normatif, sedangkan pada masalah-masalah kemanusiaan tidak sekonsern
pada hal-hal yang berkaitan dengan syariat, seperti formalisasi syariat. Karena
itu, ditengarai kelompok formalisasi syariat menjadi hambatan bagi dialog
antaragama, disebabkan kecenderungan
pada perang dan jihad.[39]
Kedua, anti HAM.[40]
Hal ini berkaitan dengan hukum-hukum pidana Islam yang berseberangan dengan
HAM, seperti potong tangan, rajam, hukum gantung dan lain-lain. Kelompok formalisasi
syariat menganggap bahwa hukum pidana Islam (al-hudud) merupakan hukum
Tuhan. Karenanya, dalam hukum pidana Islam tidak ada tawar-menawar untuk
menafsirkan syariat yang emansipatoris.[41]
Ketiga, anti-kesetaraan jender.
Kalangan formalisasi syariat akan mempedomani doktrin-doktrin keagamaan yang
mengindikasikan keterbatasan ruang lingkup perempuan. Atas dasar syariat dan kodrat,
perempuan hanya hidup dalam tembok yang terbatas. Kasus Taliban, Arab Saudi dan
beberapa negara Teluk menjustifikasi adanya peminggiriran peran perempuan dalam
ruang publik. Realitasnya, syariat dijadikan landasan untuk menindas perempuan,
baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman literal terhadap teks-teks
keagamaan melegitimasi kekerasan domestik, sebagaimana terjadi pada masyarakat
tradisional. Dalam masyarakat moderen pun, teks-teks menjadi alat untuk
melegetimasi penindasan dan eksploitasi perempuan dalam proyek kapitalisasi.
Penindasan terhadap kaum buruh, otomatis di dalamnya terdapat kaum perempuan
sebagai kalangan mayoritas. Teks-teks keagamaan yang tidak sensitif gender akan
menjadi hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan jender.[42]
Penjelasan di atas dapat dijadikan
dasar untuk melakukan upaya desakralisasai syariat, bahwa pelembagaan syariat
yang tidak diikuti dengan paradigma emansipatoris dan liberalis hanya akan
menimbulkan masalah baru yang bertolakbelakang dengan realitas dan kultur
masyarakat. Formalisasi syariat akan menjadi batu sandungan bagi terbentuknya
nalar antroposentris dan emansipatoris yang menghendaki pembebasan dan
menjunjung tinggi harkat manusia. Formalisasi syariat hanya akan mengukuhkan nalar
teosentris, karena wataknya yang ingin mencari otensitas dan orisinalitas yang
melandasi pemikirannya pada teks-teks eksklusif. Konsekuensi yang tidak dapat
dihindari, yaitu munculnya gerakan-gerakan politik yang ingin memformalisasikan
syariat dan aksi-aksi fundamentalistik.[43]
Catatan Penutup
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan
seperti diuraikan dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dikemukakan catatan
penutup sebagai berikut:
- Tuntutan formalisasi syariat Islam di berbagai negeri Muslim, termasuk di Indonesia belum ada konsep yang jelas, dan tidak didasarkan pada analisis yang serius terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat Muslim kontemporer. Gagasan yang dikemukakan cenderung menyederhanakan persoalan, dengan mengungkapkan pandangan-pandangan yang self-assure mengenai keistimewaan syariat Islam.
- Pendekatan yang digunakan belum menunjukkan adanya pergulatan serius dengan masalah keprihatinan masyarakat kontemporer, terutama dengan masalah-masalah masyarakat pada tingkat kebijakan. Pendekatan dominan dalam hal ini adalah pendekatan quick fix: pergunakan syariat dan semua akan beres.
- Ketiadaan konsepsi yang jelas di balik tuntutan formalisasi syariat Islam dapat memiliki implikasi yang amat serius. Pengalaman negeri-negeri Muslim yang melakukan eksperimen formalisasi syariat, misalnya Pakistan dan Mesir, menunjukkan bahwa ketiadaan konsepsi yang jelas tentangnya dapat memunculkan konflik internal di kalangan umat Islam. Bahkan, isu penerapan dan formalisasi syariat itu sendiri potensial memunculkan konflik antara kaum Muslimin dan non-Muslim, seperti di Sudan dan Nigeria, selain dalam beberapa kasus berseberangan dengan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin.1998. " Kebebasan Beragama atau
Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak Asasi Manusia," dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi,
1998/11. Yogyakarta: Kanisius.
Ali, Abdullah Yusuf.1989. The Holy Al-Quran: Text,
Translation and Commentary.
Brenwood: Maryland Amana Corporation.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. 2004.
Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka
Alvabet.
Assyaukanie, Luthfi.1998. Politik, HAM,
dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Asymawi, Muhammad Said al-.2004. Nalar
Kritis Syari'ah, terjemahan Luthfi Thomafi dari Ushul asy-Syari'ah.
Yogyakarta: LKis.
Awwas, Irfan Suryahardi. 2001."Menerapkan Piagam
Cerdas," dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor), Syariat Yes
Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945. Jakarta:
Paramadina.
Azra, Azyumardi.2001."Belum Ada Negara Sebagai
Acuan Pelaksanaan Syariat Islam,' dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA (
Editor), Syariat Islam Yes Syariat Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Bakar, AlYasa Abu.2002.”Pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam Fairus M. Nur Ibr, Syariat di Wilayah
Syariat: Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam.
Burhanuddin (editor).2003. Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.Jakarta:
Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Burhanudin, Nandang.2004.Penegakan Syariat Islam
Menurut Partai Keadilan. Jakarta: al-Jannah Pustaka.
Hamid, Shalahuddin.2000. Hak Asasi Manusia dalam
Perspektif Islam. Jakarta: Amissco.
Haryatmoko.2003. Etika
Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Henningsson, Jan A..1998."Contemporary
Understandings of Human Rights in Islam", LWF Studies,1998/3.
Human Rights Watch, Sudan, “ In the Name of God “. Human Rights Watch Publication, November
1994, vol.6 no. 9.
Human Rights Watch/Africa, Behind the Red Line:
Political Repression in Sudan. Human Rights Watch,1996.
Ibr, Fairus M.Nur ( Editor). 2002. Syariat Islam di
Wilayah Syariat Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Jabiri, Muhammad Abid al-.1994. Wajhah
Nazar Nahw I’adah Bina Qadaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir. Beirut: Markaz
Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1994.
Judgement of Federal Shari’ah Court, Pakistan”
tersedia di http://www.irshad.org/idara/qadiani/legal/pkcourt84.htm,
diakses 1 Maret 2006.
Ka'bah, Rifyal.2004. Penegakan Syariat Islam di
Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan.
Ka'bah, Rifyal. 1420. "Islamic Law", dalam
majalah triwulan Muslim Executive & Expatriate. Jakarta, Muharram
1,1420 H.
Karim, Khalil Abdul.2003. Syari'ah Sejarah,
Perkelahian, Pemaknaan terj.Kamran As'ad dari judul asli al-Juzur
at-Tarikhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah. Yogyakarta: LKiS.
Kurzman, Charles
(editor). 2001.Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer dan Isu-Isu
Global, terjemahan Bahrul Ulum dari Liberal Islam: A Sourcebook. Jakarta: Paramadina, Yayasan Adikarya IKAPI
dan The Ford Foundation.
Laporan Amnesty International, “ Amnesty International
Report 2002-Africa – Sudan”.
Lawyers Committee for Human Rights,” Beset by
Contradictions: Islamization, Legal Reform and Human Rights in Sudan.” Lawyers
Committee for Human Rights, December 1996.
Mayer, Ann Lizabet. 1995. Islam and Human
Rights: Tradition and Politics.
Boulder – London: Westview Press &Printer Publishers.
Mehdi, Rubya.1993. The
Islamization of the Law in Pakistan. London?: Curzon Press.
Minhaji, Akh..2002."Spuremasi Hukum dalam
Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum Islam)," dalam UNISIA
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 41/XXII/IV/2002. Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia.
Minhaji, Akh.1999. "Reorientasi Kajian Ushul
Fiqh," dalam al-Jami'ah Journal of Islamic Studies No. 63/VI/1999.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Minhaji, Akh.2002."Zakat dalam Konteks Otonomi
Daerah ( Perspektif Sejarah Sosial Hukum Ekonomi Islam," dalam Khoiruddin
Nasution (Penyunting) Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Misrawi,Zuhairi.2002."Dekonstruksi Syariat; Jalan
Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi," dalam Tashwirul
Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema
Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12
Tahun 2002. Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan
The Asia Foundation.
Murtadd” dalam Encyclopedia
of Islam CD Rom edition.
Na'im, Abdullahi Ahmed An-.1990. Toward an Islamic
Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New
York: Syracus University Press.
Nasution, Harun.1995."Pengantar", dalam
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (Penyunting), Hak Azasi Manusia dalam
Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Puataka Firdaus.
Nigeria’s Muslim-Christian Riots: Religion or
Realpolitik,” dalam The Economist, Januari 17,2003, dan tentang
implikasi penerapan syariat di Zamfara, lihat “ Tension rise over Islamic Law
in Nouthern Nigeria.
Objectives Resolution ditubuhkan sebagai mukaddimah dalam Konstitusi
1956,1962, dan 1973, serta amandemen-amandemennya. Dalam amandemen ke-8
Konstitusi 1973, yang disahkan pada 1985, Objectives Resolution
dinayatakan sebagai bagian operatif konstitusi tersebut.
Redaksi. 2002. " Perdebatan syariat Islam"
dalam pengantar redaksi Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002. Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation.
Risakotta, Bernard Adeney-. Tanpa Tahun." Civil
Society and Abrahamic Religion," dalam Djaka Sutopo (ed.). Civil
Society dan Abrahamic Religions ( belum terbit).
Safi, Louay M. Tanpa Tahun.“Human Rights and Cultural
Reform in Contemporary Muslim Society:
From Hegemonic Discourse to Crossculturel Dialogue”, tersedia di http://home.att.net/-louaysafi/articles/1999/human32.html.
diakses 1 Maret 2006.
Safi, Louay M.”
Human Rights and Islamic Reform” tersedia di http://www.11u.edu.my/deed/articles/human3.pdf;lihat juga
art.”Hukuk”, dalam Encyclopedia of Islam,CD Rom edition.
Taha, Mahmoud Mohamed.1987. The Second Message of
Islam. New York: Syracuse University Press.
Taliban Stage
Lashing of Unwed Couple Accused of Having Sex,” AFP, May, 22,2001.
Wahid, Salahuddin.2001."Negara Sekuler No! Negara
Islam No!",dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor), Syariat Yes
Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945. Jakarta: Paramadina.
Who won the tug of war? Al-Ahram
Weekly 3-9 February 2000.
[1]Akh.
Minhaji, "Reorientasi Kajian Ushul Fiqh," dalam al-Jami'ah Journal
of Islamic Studies No. 63/VI/1999, p.13, lihat Akh. Minhaji,
"Spuremasi Hukum dalam Masyarakat Madani (Perspektif Sejarah Hukum
Islam)," dalam UNISIA Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 41/XXII/IV/2002,
p.251.
[2]Akh.
Minhaji, "Zakat dalam Konteks Otonomi Daerah ( Perspektif Sejarah Sosial
Hukum Ekonomi Islam," dalam Khoiruddin Nasution (Penyunting) Tafsir
Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta
bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2002), p.223.
[3]Deliar
Noer, "Pengantar", dalam Irfan A. Awwas, Risalah Kongres Mujahidin
1 dan Penegakkan Syariah Islam ( Yogyakarta: Wihdah Press,2001),p.vii.
[4]Ibid.
[5]Muhammad
Shiddiq Al-Jawi, "Formalisasi Syariah Suatu Keharusan",Pengantar
Penyunting Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih al-Wakil, Formalisasi
Syariah Islam dalam Kehidupan Bernegara Suatu Studi Analisis, terjemahan
al-Fakhr ar-Razi dari judul asli At-Tasyri' wa Sann al-Qawanin fi ad-Daulah
al-Islamiyah: Dirasah Tahliliyah ( Yoghyakarta: Media Pustaka
Ilmu,2002),p.v-vi.
[6]Keberatan-keberatan
terhadap formalisasi Syariat Islam di Indonesia, lihat misalnya Adhian Husaini
& Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya ( Jakarta: Gema Insani Press,2002),p.155-167.
[7]Pengertian
Syariat Islam sering disamakan dengan pengertian fiqh dan hukum Islam.
Ketiganya memang sama-sama
merupakan jalan yang berasal dari Allah,
tetapi dari perkembangan sejarah Islam, ketiganya telah mengalami diferensiasi
makna, Rifyal Ka'bah, "Islamic Law" dalam majalah triwulan Muslim
Executive & Expatriate. Jakarta, Muharram 1,1420 H, p.19. Syariat Islam
secara umum adalah keseluruhan teks Al-Quran dan as-Sunnah sebagai ketentuan
Allah yang seharusnya menjadi pegangan
manusia atau the right way of Religion, Abdullah Yusuf Ali, The Holy
Al-Quran: Text, Translation and
Commentary ( Brenwood:
Maryland Amana Corporation 1989), p.1297. Syariat Islam sampai saat ini
sebenarnya mempunyai tiga pengertian. Pertama, sebagai keseluruhan agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kedua, keseluruhan teks-teks
al-Quran dan Sunnah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dari wahyu
Allah. Ketiga, pemahaman para ahli terhadap hukum yang berasal dari
wahyu Allah dan hasil ijtihad yang berpedoman kepada wahyu Allah. Pemahaman
yang ketiga ini disebut fiqh. Karena melibatkan
daya pikir dan analisis, terdapat lebih dari satu pemahaman terhadap nilai-nilai yang berasal
dari wahyu. Kesarjanaan Islam dalam bidang hukum telah melahirkan berbagai pemahaman dalam bentuk aliran yang disebut
mazhab fiqh, Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia
(Jakarta: Khairul Bayan,2004), p.42-43;
[8]Fairus
M.Nur Ibr ( Editor), Syariat Islam di Wilayah Syariat Pernik-pernik Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam ( Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2002). baca juga, Nandang Burhanudin, Penegakan
Syariat Islam Menurut Partai Keadilan ( Jakarta: al-Jannah Pustaka, 2004).
[9]Baca
" Perdebatan syariat Islam" dalam pengantar redaksi Tashwirul
Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema
Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12
Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan
The Asia Foundation), p.1.
[10]Ibid.
Burhanuddin (editor), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal
(Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation,2003); Charles Kurzman
(editor), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer dan Isu-Isu
Global, terjemahan Bahrul Ulum dari Liberal Islam: A Sourcebook ( Jakarta:
Paramadina, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation,2001), p.xi-lx.
[11]Ibid.
[12]Arus
ini secara politis dinakhodai oleh oleh partai-partai Islam yang berlandaskan
Islam, seperti PPP, PK(S). Selain itu didukung oleh kelompok-kelompok radikal
yang mulai tampil ke permukaan, seperti Front Pembela Islam (FPI), KISDI,
Hisbut Tahrir, dan beberapa organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. baca
Zuhairi Misrawi," Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi,
Reinterpretasi dan Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 (
Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia
Foundation), p.7. baca juga Irfan Suryahardi Awwas, " Menerapkan Piagam
Cerdas" dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor), Syariat Yes
Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945 ( Jakarta:
Paramadina,2001),p.33-35.
[13]
Arus ini memang kelihatan tidak segigih kelompok pertama dalam mensosialisasikan
gagasannya, tetapi bukan berarti tidak mempunyai basis akar rumput. NU dan
Muhammadiyah termasuk organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berada di
garda depan mengkampanyekan deformalisasi syariat. Karena setiap individu
muslim dapat melaksanakan syariat secara otonom, dan tidak membutuhkan peran
negara. Bahkan kalau negara melakukan intervensi dalam formalisasi syariat
sangat dimungkinkan akan mereduksi substansi syariah. Sedangkan dari partai,
hampir mayoritas partai besar menolak formalisasi syariat, seperti PDIP,
Golkar, PKB,PAN. baca Zuhairi Misrawi," Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju
Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar
Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 (
Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia
Foundation), p.7.
[14]Arus
ini sebenarnya minoritas. Yang paling getol mengkampanyekan gagasan moderat ini
adalah KH Shalahuddin Wahid, yang ingin mengambil jalan tengah dari perdebatan
yang berseberangan. Akan tetapi sulit rasanya gagasan ini mendapatkan dukungan,
karena – sebagaimana gagasan moderat lainnya-hanya berkutat pada tataran
moralitas, kehilangan kerangka strategis dan sulit diterapkan pada tataran praksis,
baca Zuhairi Misrawi," Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi,
Reinterpretasi dan Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 (
Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia
Foundation), p.7. baca juga Salahuddin Wahid," Negara Sekuler No! Negara
Islam No!" dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor), Syariat Yes
Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945 ( Jakarta:
Paramadina,2001),p.23-28.
[15]Zuhairi
Misrawi," Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi
dan Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi
Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation), p.7.
[16]Azyumardi
Azra, "Belum Ada Negara Sebagai Acuan Pelaksanaan Syariat Islam,' dalam
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA ( Editor), Syariat Islam Yes Syariat Islam
No Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2001),p.183.
[17]Harun
Nasution, " Pengantar" dalam Harun Nasution dan Bahtiar Effendy
(Penyunting), Hak Azasi Manusia dalam Islam ( Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Puataka Firdaus, 1995), p,VI-XIV.
[18]Sebenarnya syariat Islam belum pernah diterapkan
secara sempurna sejak zaman Nabi Muhammad, masa Khulafaur Rasyidin karena
syariat Islam tidak hanya dibentuk oleh al-Quran, Sunnah, consensus dan
ijtihad sahabat, juga mencakup prudok
ketetapan ahli fiqh sepanjang masa masa kin dan mendatang, baca Muhammad Abid
al-Jabiri, Wajhah Nazar Nahw I’adah Bina Qadaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir
(Beirut : Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1994).p.72-76; baca pula
Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari'ah, terjemahan Luthfi
Thomafi dari Ushul asy-Syari'ah ( Yogyakarta: LKis,2004), p.7-27;
bandingkan pula dengan Khalil Abdul Karim, Syari'ah Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaan terj.Kamran As'ad dari judul asli al-Juzur at-Tarikhiyah li
asy-Syariah al-Islamiyah ( Yogyakarta: LKiS,2003), yang menyatakan bahwa syariat adalah Respons
Alquran terhadap kehidupan masyarakat jahiliah yang ada saat itu dapat dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu tradisi yang dimiliki
masyarakat jahiliah, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki
maupun perempuan. Artinya, hukum potong tangan bagi pencuri sudah dikenal di
tengah masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian dipertahankan oleh Islam. Secara
substansial dan material, di situ tidak ada perbedaan antara hukum potong
tangan yang berlaku pada masyatakat Arab jahiliah dan hukum potong tangan yang
ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah sumbernya. Hukum
potong tangan yang diberlakukan masyarakat Arab pra-Islam bersumber dari
tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun, hukum
tersebut dipertahankan, dengan mengalihkan sumbernya dari tradisi masyarakat
Arab pada wahyu Allah SWT. (Alquran). Kedua, Alquran mempertahankan
sebagian dari tradisi pra-Islam dan menolak sebagian lainnya, misalnya dalam
hukum poligami. Poligami bisa berarti poliandri (seorang perempuan bersuami
lebih dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri lebih dari satu).
Poligami dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh Islam, sedangkan dalam
arti yang kedua (poligami) diterima dengan pembatasan. Jika sebelum dan di awal
Islam seorang laki-laki boleh memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas,
Islam membatasinya hanya empat orang.Ketiga, Alquran menghapus suatu
tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah, misalnya riba. Seperti
diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-Islam berada di tangan para
saudagar kaya yang bersikap sangat zalim terhadap rakyat kecil dan kaum lemah
dengan, misalnya memberlakukan sistem riba. Melalui sistem ini golongan yang
kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Ketika seorang
miskin meminjam uang dengan sistem riba, seringkali dia tidak dapat melunasi
utangnya. Kalau sudah begitu, dia dirampas dan dijadikan budak. Tidak jarang
pula yang ditampas adalah istri atau anak-anak perempuannya. Dengan demikian,
perbudakan pada masyarakat Arab pra-Islam terkait erat dengan sistem ekonomi
yang berlaku di tengah-tengah mereka. Islam mengharamkan riba dan memberlakukan
pinjam-meminjam dengan sistem mudharabah (bagi hasil), lalu mengatasi
masalah perbudakan yang menjadi akibat sistem riba dengan kewajiban membebaskan
budak sebagai hukuman atas pelanggaran-pelanggaran tertentu agama Islam, misalnya
tebusan untuk suatu pembunuhan atau denda bagi orang yang melakukan hubungan
seksual dengan suami/istri di siang hari bulan Ramadan.
[19]Objectives
Resolution ditubuhkan sebagai mukaddimah dalam Konstitusi 1956,1962, dan
1973, serta amandemen-amandemennya. Dalam amandemen ke-8 Konstitusi 1973, yang
disahkan pada 1985, Objectives Resolution dinayatakan sebagai bagian
operatif konstitusi tersebut.
[20]Abdullahi
Ahmed An-Na'im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law ( New York: Syracus University Press, 1990),
p.185-186.
[21]Mahmoud
Mohamed Taha, The Second Message of Islam ( New York: Syracuse
University Press, 1987).p.113-118.
[22]Rubya
Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan (London?: Curzon
Press,1993), p. 225.
[23]Ibid,
p..228
[24]M.
Amin Abdullah, " Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak
Asasi Manusia," dalam Orientasi
Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, 1998/11,p.56.
[25]Taufik
Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari Indonesia
hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet,2004),p. 156-164.
[26]Lihat
artikel “ Murtadd” dalam Encyclopedia of Islam CD Rom edition.
[27]Ann
Lizabet Mayer, Islam and Human Rights: Tradition and Politics ( Boulder
– London: Westview Press &Printer Publishers, 1995).p. 146-147.
[28]Lihat
Louay M. Safi,” Human Rights and Islamic Reform” tersedia di http://www.11u.edu.my/deed/articles/human3.pdf;lihat
juga art.”Hukuk”, dalam Encyclopedia of Islam,CD Rom edition.
[29]Bernard
Adeney-Risakotta," Civil Society and Abrahamic Religion," dalam Djaka
Sutopo (ed.). Civil Society dan Abrahamic Religions ( belum terbit),
p.9.
[30]Taufik
Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam Dari Indonesia
hingga Nigeria ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004).p.187.
[31]Pada
tahun 1984 beberapa tokoh Ahmadiyah mengajukajn petisi kepada Mahkamah Sdyariat
Federal Pakistan meminta meninjau ulang terhadap ordonansi tersebut, dengan
disertai pertimbangan-pertimbangan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Petisi
tersebut ditolak Mahkamah pada 28 Oktober 1984. Lihat “ Judgement of Federal
Shari’ah Court, Pakistan” tersedia di http://www.irshad.org/idara/qadiani/legal/pkcourt84.htm,
diakses 1 Maret 2006.
[32]“
Who won the tug of war? Al-Ahram Weekly 3-9 February 2000.
[33] “
Taliban Stage Lashing of Unwed Couple
Accused of Having Sex,” AFP, May, 22,2001.
[34]Luthfi
Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer
( Jakarta: Pustaka Hidayah,1998),p.132-134.
[35]Louay
M. Safi, “ Human Rights and Cultural Reform in Contemporary Muslim Society: From Hegemonic Discourse to
Crossculturel Dialogue”, tersedia di http://home.att.net/-louaysafi/articles/1999/human32.html.
diakses 1 Maret 2006.
[36]Lihat
misalnya, Human Rights Watch, Sudan, “ In the Name of God, “ ( Human Rights
Watch Publication, November 1994, vol.6 no. 9);Human Rights Watch/Africa,
Behind the Red Line: Political Repression in Sudan ( Human Rights Watch,1996);
Lawyers Committee for Human Rights,” Beset by Contradictions: Islamization,
Legal Reform and Human Rights in Sudan,” (Lawyers Committee for Human Rights,
December 1996), Lihat juga laporan Amnesty International, “ Amnesty
International Report 2002-Africa – Sudan,” dll.
[37]Nigeria’s
Muslim-Christian Riots: Religion or Realpolitik,” The Economist, Januari
17,2003, dan tentang implikasi penerapan syariat di Zamfara, lihat “ Tension
rise over Islamic Law in Nouthern Nigeria.
[38]AlYasa
Abu Bakar,” Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam
Fairus M. Nur Ibr, Syariat di Wilayah Syariat: Pernik-pernik Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam ( Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
Nanngroe Aceh Darussalam,2002).p.26-46.
[39]Jan
A. Henningsson," Contemporary Understandings of Human Rights in
Islam", LWF Studies,1998/3, p.274, baca juga Zuhairi Misrawi,"
Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan
Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun
2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The
Asia Foundation), p.12-13, baca pula Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan
( Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2003), p.237.
[40]Shalahuddin
Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amissco,
2000), p.vii-viii dan 195-196.
[41]Zuhairi
Misrawi," Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi
dan Depolitisasi" dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi
Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation), p.13.
[42]Ibid.
[43]Ibid.
p.14.
Komentar
Posting Komentar