Oleh: Yusdani
Pendahuluan
Setelah jatuhnya rezim
Orde Baru, perkembangan pemikiran Islam dan wacana demokrasi di Indonesia
menemukan fase barunya. Hal ini ditandai oleh hadirnya berbagai kelompok Islam
yang meneruskan gagasan tokoh dan organisasi Islam yang telah menjadi mainstream sebelum reformasi. Bersamaan
dengan itu, muncul pula gerakan-gerakan baru Islam yang mengusung pemikiran
yang berbeda.
Mengemukanya berbagai
pemikiran Islam ini menandai betapa responsif umat Islam terhadap terbukanya
ruang publik, menandai pula sensitivitas mereka pada dinamika politik di negeri
ini. Oleh karena itu, dinamika politik di Indonesia perlu dijelaskan melalui
telaah terhadap dinamika pemikiran yang berlangsung.
Sungguhpun begitu, pembahasan
pemikiran Islam dan wacana demokrasi ataupun demokratisasi di Indonesia
tersebut di atas, cenderung mengabaikan keterlibatan komunitas Islam, yang
tidak hanya merespon perubahan situasi politik dengan tindakan-tindakannya,
melainkan juga dengan pikirannya. Lebih dari itu, respon yang didasari oleh
pemikiran yang komprehensif dan mendalam, dalam hal ini respon yang didasari
ajaran agama Islam, niscaya menstruktur secara signifikan dalam dinamika politik itu sendiri.
Kajian pada aras pemikiran
Islam dan kajian tentang perubahan dan dinamika politik atau demokratisasi, di
satu sisi terdapat para peneliti yang bertolak dari studi Islam, dengan demikian bertolak dari
situasi internal umat Islam dengan kultur acuan teologis, yang mengandaikan pemikiran
Islam yang representasikan tokoh dan komunitas Islam tersebut terisolasi dari
dinamika politik tersebut. Sedangkan di sisi lain, ada pula para pengkaji
politik dan pemerintahan, mendudukkan umat Islam “sekedar” sebagai warga negara
atau rakyat yang memiliki atribut khas, yang seakan tidak terinspirasi oleh
ajaran dan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.
Keterkaitan
antara kedua tradisi kajian di atas akan terlihat makna dan dampaknya jika cara
pandang historis-sosiologis digunakan,
dimana pemikiran menjadi kekuatan penjelas penting. Di sini, pemikiran
Islam, termasuk dalam bidang politik dengan mudah dipahami kaitannya dengan
lingkungan sosialnya. Apalagi kalau kita ingat pemikiran-pemikiran yang
berkembang dipahami tautannya dengan perubahan lingkungan sosial mikro
(nasional) dan makro (global) yang terus menggejala.
Keterkaitan antara
pemikiran dan dinamika politik yang berlangsung memang tidak mudah ditunjukkan
mengingat watak ajaran agama.
Apalagi, ajaran Islam itu sendiri bersifat, polyinterpretable (dapat
interpretasikan secara berbeda-beda, dan memang interpretasi tunggal justru
bersifat problematik). Untuk menjembatani gap kajian di atas, tulisan
ini menyikapi bahwa, kalaulah formulasi ajaran
tersebut dalam pemikiran kenegaraan juga bervariasi, tetap saja ada mainstream yang secara signifikan menentukan arah atau jenis perubahan.[1] Apalagi kalau kita ingat kedudukan muslim, sebagai
komponen mayoritas warga negara Indonesia. Kesadaran
peran dan posisi politiknya sangat dikerangkai oleh pemikiran yang diadopsi.[2]
Persoalannya bukan hanya, apakah proses penyadaran yang tengah berlangsung,
berkontribusi dalam mempolakan sistem negara atau pemerintahan yang semakin
demokratis.
Islam dan Reposisi Rakyat - Negara
Kita tahu bahwa, bahwa
di era Orde Baru, ditandai oleh dominasi negara yang dibarengi dengan pelemahan
kekuatan rakyat.[3]
Hal ini dapat dicapai dengan reproduksi ideologi yang dimotori oleh negara,
yang dibarengi dengan pertarungan pemikiran keagamaan.[4]
Sedangkan di era setelah itu, rakyat berada dalam posisi kuat dan negara
diharapkan untuk meminggirkan dirinya.[5]
Hal ini niscaya diikuti dengan pertarungan pada aras pemikiran juga. Hanya
saja, karena keanekaragaman pemikiran yang diartikulasikan tokoh-tokoh Islam
tersebut di atas, kontribusinya terasa insignifikan. Klaim bahwa demokratisasi
di Indonesia disangga oleh pemikiran Islam sebagaimana diwacanakan selama ini[6],
sangat boleh jadi sulit dipertahankan.
Mengingat keragaman
interpretasi ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, kontroversi di antara
para pemikir Islam adalah keniscayaan. Kalau tidak ada, maka demokratisasi yang
tengah berlangsung bukanlah karena olah pemikiran kalangan Islam. Dari segi
pemikiran, perlunya adanya rumusan yang jelas tentang peran negara; sedemikian
sehingga dapat dirumuskan lebih lanjut pengaturan tentang distribusi, produksi
dan sebagainya.[7]
Gagasan-gagasan kunci, seperti bagaimana relevansi negara sebagai kekuatan
untuk melindungi rakyat penting untuk dirumuskan, dan lebih dari itu, umat
Islam Indonesia perlu memiliki rumusan yang jelas, betapapun berbeda-beda,
tentang hal itu.[8]
Studi tentang pemikiran
politik Islam, sejauh ini masih didominasi oleh keinginan untuk melakukan
karakterisasi watak pemikiran, bukan cara merespon dinamika masyarakat. Dari
studi ini memang terpetakan variasi, dan dalam batas tertentu, kontradiksi
pemikiran. Studi Mark Woodward,
adalah contoh yang bagus. Dia mengelompokkan pemikiran Islam di era pasca Orde
Baru. Pemetaan ini menjadikan umat Islam terkotak-kotak ke dalam lima kelompok,
yaitu : (1) indigenized (pribumisasi) Islam, (2) Islam
tradisional, (3) Islam modernis, (4) Islamisme atau Islamis, dan (5)
neo-modernisme Islam.[9] Sekali lagi, studi-studi tersebut di atas
terbatas dalam menemukan perbedaan-perbedaan di antara umat Islam sendiri,
namun pada saat yang sama, membiarkan muslim sebagai warga negara tidak
terfasilitasi oleh ajaran agamanya ketika ambil bagian dalam praktek-praktek
kenegaraan yang diikutinya.
Studi pemikiran dan
gerakan Islam pasca Orde Baru dengan lebih menekankan tipologi tersebut di atas
di satu sisi dapat membantu dalam memahami fenomena semaraknya pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia era reformasi. Namun di sisi lain masih menyisakan
berbagai permasalahan, terutama dalam kaitan dengan cara atau pendekatan dalam
memahami dinamika pemikiran dan gerakan Islam tersebut.
Berbagai pembacaan
terhadap pemikiran Islam di Indonesia, khususnya penggunaan tipologi
sebagaimana tersebut di atas secara dominan menggunakan dua pendekatan, yaitu,
pertama, cultural approach. Pendekatan ini menekankan pada tradisi
yang melekat dalam diri Islam Indonesia. Dalam prosesnya, pendekatan ini
melihat dan lebih menekankan pada bagaimana interpretasi individu atau tafsir
organisasi masyarakat Islam terhadap ayat-ayat suci dan dampaknya dalam
mempengaruhi perilaku politik. Bahkan dapat dikatakan, pendekatan ini paling
dominan dipakai dalam mempelajari Islam di Indonesia.[10]
Kedua, security approach.[11]
Pemahaman terhadap
pemikiran Islam dengan mempergunakan dua pendekatan di atas, menyebabkan
munculnya indikator yang tidak jelas mengenai pemikiran Islam. Dalam kaitan ini
dapat dikemukakan bahwa baik pendekatan pertama maupun pendekatan kedua telah
melahirkan perspektif good and bad moslem, atau di Indonesia lebih
dikenal dengan istilah Islam moderat dan Islam radikal.[12]
Implikasi dari kedua pendekatan ini adalah telah terjadi simplifikasi dan
reduksi permasalahan pemikiran Islam, pada hal permasalahannya begitu kompleks.[13]
Oleh karena itu, untuk memahami dinamika pemikiran Islam pasca runtuhnya Orde
Baru tersebut, perlu diletakkan dalam konteks kompleksitas permasalahan yang
dihadapinya, baik dalam konteks lokal, nasional maupun dalam konteks global.
Berbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, tidak dapat dilepaskan dari
kekuatan-kekuatan politik yang sedang berlangsung sekarang ini dan
momentum-momentum yang sedang berlangsung, baik dalam skala lokal, nasional
maupun isu-isu global tersebut. Pemikiran Islam Indonesia era reformasi berada
di tengah momentum-momentum ini, termasuk tentang upaya untuk mencari pemikiran
alternatif tentang demokrasi di Indonesia.
Demokrasi dan Sejahtera
Apakah dengan semakin demokratis suatu
negara dengan sendirinya negara itu menjadi sejahtera? Kesimpulan ini bisa saja
benar, tetapi juga mungkin keliru. Berbagai rujukan dan contoh negara yang
mungkin dapat dijadikan dasar pijak dan argumen untuk mendukung dua kesimpulan
tersebut. Selanjutnya bagaimana halnya dengan perkembangan demokrasi di Aceh?
Apakah serumit seperti halnya konsep demokrasi itu sendiri?
Problematika dalam memahami demokrasi
sebagaimana telah banyak dibahas tetapi dapat dipaparkan sejumlah kondisi bahwa
memahami demokrasi sebenarnya tidaklah sederhana. Dalam konteks Aceh misalnya,
kejadian-kejadian mutakhir di Aceh menunjukkan bahwa sebenarnya sudah bergerak
jauh melampaui demokrasi (dalam pengertian): adanya kebebasan berpendapat,
pemilihan umum, penghargaan terhadap keberagaman, pemimpin yang dipilih
langsung dan pers yang bebas. Demokrasi yang dipraktikkan di Aceh, bahkan
menjadi model yang sudah diterapkan di tempat lain di Aceh.[14]
Namun, persoalannya kemudian demokrasi di
Aceh juga menghasilkan dilema, terutama terkait debat Calon Independen beberapa
waktu lalu. Kehadiran Calon Independen pada Pilkada 2006 silam dianggap sebagai
buah manis dari MoU Helsinki. Namun, setelah terbentuk partai lokal (pasca
2009), sebagian pihak memandang, kehadiran calon independen tidak lagi relevan
karena sspirasi politik masyarakat Aceh sudah tertampung dalam partai lokal,
termasuk dalam pengajuan calon kepala daerah. Untung saja debat itu berakhir
setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan
uji materi pasal 256 Undangundang Nomor 11 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) soal
calon independen.[15]
Dalam pertimbangan MK berdasarkan
sejumlah fakta hukum, calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya. Jika diberlakukan,
menurut MK, akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan
kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang
bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah
Indonesia lainnya. Disebutkan, jika soal Calon Independen dibatasi, Warga
Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak
yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat
perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Inilah titik balik demokrasi Aceh
yang hampir dibajak oleh kepentingan jangka pendek. Padahal, sebagai daerah
yang paling pertama memberlakukan pemilihan kepala daerah langsung dengan
adanya calon independen, Aceh telah menempatkan diri sebagai pelopor demokrasi
modern. Hal ini pula yang membuat Aceh kembali mendapatkan julukan sebagai
laboratorium demokrasi.[16]
Oleh karena itu, beberapa permasalahan
yang menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Pemerintahan Aceh
sekarang, di antaranya soal keretakan politik pasca-Pilkada 2012 silam,
distribusi hasil sumber daya alam secara merata, butir-butir MoU yang belum
terakomodasi dalam UU Pemerintahan Aceh, pembelahan Aceh dan program
kesejahteraan masyarakat.[17]
Perdamaian Aceh yang kini dinikmati
masyarakat akan kehilangan maknanya jika program kesejahteraan belum terwujud
secara nyata. Apalagi, jika distribusi kekayaan Aceh hanya dinikmati sebagian
kecil kalangan saja. Memang, secara umum kesejahteraan penduduk Aceh meningkat,
namun data Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012 menunjukkan penduduk
miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat
dibandingkan data Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa. Upaya percepatan
kesejahteraan menjadi mendesak jika merujuk pada fakta lain, bahwa jumlah
penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen dari total
jumlah golongan usia 15 tahun ke atas.[18]
Angka gangguan jiwa di Aceh berada di
atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Ini hendaknya menjadi
perhatian utama pemerintah Aceh. Bahwa, Aceh baru yang hendak diraih itu tak
hanya jauh dari konflik kekerasan, melainkan juga minim jumlah orang miskin dan
orang gila! Pasti akal sehat kita tidak dapat menerima, bagaimana mungkin Aceh
yang memiliki kekayaan melimpah, dana yang cukup besar, tapi masih ada anggota
masyarakat yang miskin dan gila. Hal ini mengingatkan bahwa masih banyak
pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan perlu segera dibenahi. Untuk itu,
perlu kembali melihat Aceh dari tiga sisi Islam, Demokrasi dan kesejahteraan.
Ketiga aspek tersebut tidak dapat diabaikan dalam misi mewujudkan Aceh Baru
yang lebih baik.[19]
Otonomi
dan Keadilan
Penyelesaian politik
khususnya dengan membentuk pemerintahan yang desentralistik atau dengan
memberikan otonomi seluas-luasnya, sebelum kita berani menata keadilan yang
bertujuan pada pemenuhan kebutuhan rill ekonomi masyarakat. Sebab sesungguhnya,
agama dan bahasa simbolik lainnya yang merupakan isi struktur basis (sosial
ekonomi) membentuk konstelasi sosial, entah dalam bentuk konflik, entah dalam
bentuk harmoni atau kebersamaan sosial.[20]
Demokrasi kita, oleh
karenanya, harus memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik
yang menjunjung tinggi-tinggi pada cita-cita keadilan dan bukan sekadar
kebebasan. Suatu demokrasi yang mencari dan menggalang kekuatan untuk mencapai
konsensus politik, bagaimana: agar lapangan kerja buat rakyat lebih terbuka
luas, agar anak-anak bangsa mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan, dan agar terjadi perluasan infrastruktur sehingga daerah-daerah
bisa berkembang secara bersama-sama.[21]
Dengan begitu,
demokrasi, tidak sederhana sebagai prosedural dan bukan semisal jadwal untuk
kegiatan karnaval-karnaval nasional. Demokrasi adalah alat politik untuk
menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial
tersebut, sebab inti yang paling inti di dalam cita-cita demokrasi, adalah agar
terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan, sebab
dengan begitu dapat dijaga munculnya cara-cara kekerasan yang dapat meninbulkan
kheos; dan dapat menjaga agar solidaritas tetap hidup sebagai moral dan etis
kehidupan sosial secara bersama-sama.[22]
Sebagaimana
telah disebutkan dalam uraian di atas bahwa satu unsur kunci pemeliharaan
perdamaian adalah penciptaan suatu kondisi yang akan mencegah terulangnya
konflik di masa depan. Dalam konteks Aceh, konflik yang berakar mendalam di
provinsi ini antara lain disebabkan oleh tiadanya mekanisme-mekanisme
demokratis untuk menyelesaikan konflik.[23]
Oleh karena itu timbulnya kejengkelan rakyat
kepada Pemerintah pada umumnya dilampiaskan dalam bentuk keluhan terhadap
eksploitasi ekonomi oleh Pemerintah pusat, dan selalu dihadapi dengan operasi
militer oleh pemerintah Orde Baru. Akibatnya, perang separatis yang panjang dan
berdarah di provinsi ini mencerminkan kecenderungan memakai kekerasan sebagai
instrumen penyelesaian sengketa di tengah tiadanya mekanisme demokratis untuk
menyelesaikan perselisihan.[24]
Dalam hal ini,
pemeliharaan perdamaian di Aceh tersebut mengharuskan upaya sadar oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk menciptakan berbagai mekanisme
penyelesaian konflik secara damai dalam sebuah tatanan demokratis. Tugas ini
meliputi perlunya memperkuat sistem peradilan, konsolidasi lembaga-lembaga
penanganan konflik, termasuk lembaga informal dan tradisional, membina hubungan
harmonis antara pusat dan daerah, serta menciptakan tatanan politik demokratis.[25]
Menuju Demokrasi Transformatif
Pada titik inilah kita
harus berpaling pada pendekatan transformatif. Yang dimaksud dengan pendekatan
transformatif ialah sebuah mekanisme politik yang memberi ruang atau kesempatan
kepada masyarakat yang terlibat dalam persoalannya sendiri untuk mendefinisikan
dan mengartikulasikan problem-problem yang mereka hadapi tanpa intervensi
otoritas agama, ilmu, pemerintah, dan otoritas-otoritas lain yang cenderung
mengungkung. Biarkan mereka mengartikulasikan dalam bahasa mereka sendiri tanpa
pretensi adanya superioritas moral maupun politik luar.
Dalam kerangka tersebut
menjadi jelas bahwa sentimen agama dan politik ke daerahan yang selama ini
dipakai untuk menyelesaikan konflik sosial justru malah mempercepat proses
marginalisasi dan rasa keterasingan yang mendalam, karena semua gagasan dan
keputusan politik dikuasai oleh hegemoni elit, karena selama ini masyarakat
tidah pernah mendapatkan ruang untuk menyatakan diri menjadi dirinya sendiri. Karenanya perlu
dibuka diskursus transformatif tersebut
yang memberi peluang bagi setiap individu menjadi human agency
berdasarkan sejarahnya masing-masing untuk menentukan pilihannnya sendiri.[26]
Jika itu yang terjadi diskursus terbuka public
sphere discourse yang bersifat otonom barulah dapat terwujud. Dan ini pada
intinya merupakan pemberdayaan civil society kalau kita ingin menyelesaikan
masalah Indonesia dari sudut tegaknya masyarakat sipil, maka sesungguhnya
persoalan terbukanya ruang publik yang otonom dan tidak represif tentu lebih
penting daripada sekadar berbicara tentang perlunya reinterpretasi agama, otonomi
daerah atau otonomi yang dibuka seluas-luasnya.[27]
Ini tidak mudah memang, untuk diwujudkan selama
tokoh agama, politik, dan pemerintah tetap merasa superior ketimbang rakyat
biasa. Sebab, rakyat sehari-hari tetap merasakan betapa pahitnya kehidupan yang
timpang di sekeliling mereka. Sementara itu tidak ada lagi cita-cita keadilan
yang masih bisa diharap sebagai pengikat bersama, apakah itu dalam bendera
pembangjunan atau kebangsaan yang ternyata selama ini menghasilkan kebohongan semata. Dalam disorientasi ideologis semacam
ini, agama, pembangunan dan kebangsaan yang dulunya slogan-slogan semacam itu
dapat diharapkan menjadi pengikat dan utopian bersama, tatkala ekonomi terpuruk
dan ketidakadilan yang selama ini ditutupi dengan kekuasaan otoriter, tentu saja
tidak efektif lagi.[28]
Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman atas masalah yang lebih struktural dan penyelesaian yang
lebih proporsional bahwa kita sedang menghadapi bukan semata-mata krisis
teologis atau agama, tapi adalah hilangnya kepercayaan dan harapan, apakah
masih ada the idea of social justice yang dapat diperjuangkan bersama itu dalam
bingkai politik yang selama ini kita namakan: INDONESIA. Dalam bahasa
rakyat sama artinya dengan menyatakan secara sederhana ya apa sih untung dan
ruginya menjadi bangsa dan warga negara sekarang ini.[29]
Oleh karena itu,
demokrasi tidak akan banyak manfaatnya untuk mengembalikan harga diri dan
martabat bangsa, sekiranya yang dilaksanakan hanya prosedur tanpa dibarengi
dengan munculnya keinginan untuk mimpi bersama sebagai a new nation dan a
new culture. Hal ini tidak mungkin tumbuh, kalau proses demokratisasi
berjalan secara pragmatik tanpa lahirnya kultur demokrasi (bukan sekadar
maraknya struktur kepartaian yang kehilangan orientasi ideologis dan gampang
pecah karena persoalan sepele. Apalagi
kalau demokrasi tidak mengindahkan soal soal yang lebih mendasar yaitu tentang a
more just distribution of national wealth.[30]
Penutup
Sebagai catatan penutup
dapat dikemukakan bahwa pembentukan pemerintahan yang desentralistik atau
pemberian otonomi seluas-luasnya perlu diletakkan kembali untuk menata keadilan
yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan rill ekonomi masyarakat. Oleh
karena itu demokrasi yang dikembangkan di Indonesia harus memihak pada
demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi-tinggi
pada cita-cita keadilan dan bukan sekadar kebebasan.
Dengan begitu suatu
demokrasi yang dicita-citakan adalah mencari dan menggalang kekuatan untuk
mencapai konsensus politik, bagaimana: agar lapangan kerja buat rakyat lebih
terbuka luas, agar anak-anak bangsa mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan, dan agar terjadi perluasan infrastruktur sehingga
daerah-daerah bisa berkembang secara bersama-sama.
Dengan demikian,
demokrasi, tidak sederhana sebagai prosedural dan bukan semisal jadwal untuk
kegiatan karnaval-karnaval nasional. Demokrasi adalah alat politik untuk
menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial
tersebut, sebab inti yang paling inti di dalam cita-cita demokrasi, adalah agar
terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan.
-------------
Yusdani
PUSTAKA ACUAN
Abdurrahman, Moeslim. 2007. Krisis
Sosial, Krisis Politik, dan Krisis Bangsa Majemuk Beberapa Catatan Reflektif.
Yogyakarta: Institute For Multiculturalism
and Pluralism Studies.
Bayah, Abdullah bin Syaikh Mahfuz bin-.
2007. al-Irhab at-Tasykhis wa al-Hulul. Riyad: Maktabah al-Ibyikan..
Daly, Patrick, R. Michael Feener dan Anthony
Reid (Ed.). 2013. Aceh Setelah
Tsunami dan Konflik. Denpasar:
Pustaka Larasan kerja sama dengan KITLV-Jakarta dan ICAIOS.
Effendy, Bahtiar.1998. Islam dan Negara Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Gayatri, Irine Hiraswati (editor).2008. Runtuhnya
Gampong di Aceh Studi Masyarakat Desa yang Bergejolak. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta.
Hadiz, Vedi R..2011. “Ketidakadilan Sosial,
Akar Radikalisme”, dalam Komunitas Vol.III No.8-Agustus 2011, Jakarta:
Maarif Institute For Culture and Humanity, hlm. 4-5.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta:
Kompas.
http://www.setkab.go.id/artikel-6197-indonesia-sebagai-model-perkembangan-demokrasi-muslim-masalah-dan-peluang.html didownload
2 April 2013.
Jurdi,
Syarifuddin.2008. Pemikiran Politik Islam Indonesia Pertautan Negara,
Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo.2008. Paradigma Islam Interpretasi
untuk Aksi, AE Priyono (editor), Pengantar Prof. M. Dawam Rahardjo.
Bandung: Mizan.
Luthfi,
Asrizal. 2013. Islam, Demokrasi dan Pembangunan: Pikiran-pikiran Tentang
Aceh dan Kemanusiaan. Banda Aceh:
Bandar Publishing.
Manan, Munafrizal.2005.
Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru . Yogyakarta: IRE Press. .
Melalatoa, M. Junus. 2005.” Memahami Aceh
Sebuah Perspektif Budaya” dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press. hlm. 25-27.
Nashir, Haedar.1999.”Demokratisasi Hubungan
Negara dan Rakyat”, dalam Jurnal Media Inovasi, No.1 TH.IX/1999, hlm.
11.
Nurhasim, Moch.. 2008. Konflik dan Integrasi
Politik Gerakan Aceh Merdeka Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – Gam
dalam Perundingan Helsinki. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Kerja sama dengan Pusat Penelitian Politik-LIPI Jakarta.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance
(Kepemimpinan yang baik) dalam Rangka Otonomi Daerah.. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Suaedy, Ahmad.
2009. Perspektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru
Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute.
Tim editor. 1998. Menuju Masyarakat Madani Strategi dan Agenda Reformasi. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada
Bekerjasama dengan Konrad – Adenauer- Stiftung.
Voll, John Obert.1982. Islam:
Continuity and Change in the Modern World. Boulder Colorado: Westview
Press.
Wahid, Abdurrahman (Editor). 2009. Ilusi
Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka
Tunggal Ika dan Maarif Institute.
Watt, W. Montgomery. 1964. Muhammad: Prophet
and Statesman. London: Oxford
University.
Woodward, Mark. 2001. (Summer-Fall 2001),
"Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review
Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
·Makalah
disampaikan dalam Seminar Internasional ISLAM,
ATJEH, DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA,
Rabu, 4 Desember 2013, di Gedung
Program Pascasarjana UNS, Lt. 6. Jl. Ir.
Sutami No. 36 A, Surakarta.
[1] W. Montgomery Watt, Muhammad:
Prophet and Statesman (London: Oxford University 1964) , dan Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia ( Jakarta: Paramadina, 1998), .hlm.
5.
[2] Syarifuddin Jurdi,
Pemikiran Politik Islam Indonesia Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani
dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.XI-XII, 347-348. dan
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, AE Priyono (editor),
Pengantar Prof. M. Dawam Rahardjo ( Bandung: Mizan, 2008), hlm. 379.
[3] Sejak akhir 1960-an hingga
akhir 1990-an Negara Orde Baru berhasil melembagakan struktur kekuasaan yang
autoritarian. Negara menjadi begitu kuat, semenatara rakyat posisinya begitu
lemah. Negara telah menjadi gurita politik yang perkasa di hadapan rakyat.
Sementara rakyat menjadi silent majority dalam artian yang sesungguhnya, yaitu
sosok rakyat awam yang bisu, gagap, dan tidak berdaya di hadapan kekuatan negara, Haedar Nashir,
”Demokratisasi Hubungan Negara dan Rakyat”, dalam Jurnal Media Inovasi,
No.1 TH.IX/1999, hlm. 11.
[4] Abdurrahman Wahid
(Editor)., Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia
(Jakarta: The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggak Ika dan Maarif
Institute, 2009).
[5]
Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia
Pasca Orde Baru (Yogyakarta: IRE Press, 2005), hlm. 30.
[6]
Dikutip dari http://www.setkab.go.id/artikel-6197-indonesia-sebagai-model-perkembangan-demokrasi-muslim-masalah-dan-peluang.html didownload
2 April 2013.
[7] Tim editor, Menuju, hlm. 202 – 203.
[8] Ibid. hlm. 203.
[9] Mark Woodward, (Summer-Fall 2001), "Indonesia,
Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review Vol. XXI, No. 2,
hlm. 29-37. Dalam kategori pertama, Woodward mendudukkan adanya indigenized
Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka
mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual
lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang
disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam
hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir
sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah
penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya
sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok
lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid
yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam
lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya
tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman
sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada
Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis
pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan
ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya,
menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih
menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir
ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam
dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan
penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini
juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa
saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan
gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal
dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan
modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi
riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka
juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam
berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode
baru seperti hermeneutika, baca juga
Ahmad Suaedy, Perspektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial
Baru Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hlm. 98-99.
[10] Vedi R. Hadiz,
Ketidakadilan Sosial, Akar Radikalisme”, dalam Komunitas Vol.III
No.8-Agustus 2011, Jakarta: Maarif Institute For Culture and Humanity, hlm.
4-5.
[11] John Obert Voll, Islam: Continuity and Change in the
Modern World (Boulder Colorado: Westview Press,1982), hlm. 2-4.
[12] Vedi R.Hadiz, Ketidakadilan, hlm. 4-5.
[13] Abdullah bin Syaikh Mahfuz
bin Bayah, al-Irhab at-Tasykhis wa al-Hulul (Riyad: Maktabah al-Ibyikan,
2007), hlm. 39-42.
[14] Asrizal
Luthfi, Islam, Demokrasi dan Pembangunan: Pikiran-pikiran Tentang Aceh dan
Kemanusiaan, ( Banda Aceh: Bandar Publishing, . 2013).
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Moeslim Abdurrahman, Krisis
Sosial, Krisis Politik, dan Krisis Bangsa Majemuk Beberapa Catatan Reflektif,
( Yogyakarta: Institute For Multiculturalism
and Pluralism Studies, 2007), hlm. 18.
[21] Ibid, hlm. 24.
[22] Ibid.
[23] Patrick Daly, R. Michael
Feener dan Anthony Reid (Ed.)., Aceh Setelah Tsunami dan Konflik, ( Denpasar:
Pustaka Larasan kerja sama dengan KITLV-Jakarta dan ICAIOS, 2013),
hlm.274-275.
[24] Ibid, hlm.276.
[25] Ibid. hlm. 277.
[26] Moeslim Abdurrahman, Krisis
Sosial, Krisis Politik, dan Krisis Bangsa Majemuk Beberapa Catatan Reflektif,
( Yogyakarta: Institute For Multiculturalism
and Pluralism Studies, 2007), hlm. 18-19.
[27] Ibid.
[28] Ibid. hlm. 19
[29] Ibid. hlm. 19
[30] Ibid. hlm. 19-20
Nama : Ratna Ningsih
BalasHapusNIM : 14421084
Pasca perdamaian Pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis Aceh, apalagi setelah adanya MoU Helsinki membawa kesempatan Aceh untuk melaksanakaan otonomi yang lebih demokratis lagi, yaitu menuju cita demokrasi sosial, yaitu suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi-tinggi pada cita-cita keadilan dan bukan sekadar kebebasan.Namun saya tidak yakin bahwa demokrasi sosial akan terwujud apabila pemerintah pusat juga tak terlibat langsung dalam upaya merekonstruksi ulang Aceh pasca konflik dan bencana tsunami, hanya karena beberapa poin dari perjanjian tersebut tidak terlaksana, jadi pemerintah pusat bersama-sama mengandeng semua pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut, apabila dibiarkan dikhawatirkan akan terjadi nya opini negatif masyarakat aceh , sehinggan konflik tersebut akan kembali dan dapat membahayakan integrasi bangsa. Jadi sebelum melaksanakan cita-cita menuju demokrasi transformatif, alangkah terlbih dahulu pemerintah pusat memenuhi janji-janji dalam MoU Helsinki.
Sekian dan trimakasih pak ....
Fatimah fatmawati Tanjung
BalasHapusNIM :14421140
Menanggapi terkait tulisan di atas
Setelah adanya Mou Helsinki berarti membawa Aceh kepada perdamaian tidak hanya menghentikan kekerasan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menyumbangkan pikiran yang idealis melalui program kampanye secara publik saat pemilu, dengan adanya perdamaian berarti juga meningkat kan pembangunan serta keadilan secara merata
Demokrasi akan tercapai dengan sesungguhnya manakala rakyat benar-benar ikut serta dan mengambil bagian dalam proses demokrasi sekaligus pemberdayaan ekonomi dan politik, demokrasi aceh di wujudkan dengan adanya fungsi-fungsi pengaturan sumber daya ekonomi sebagai basis masyarakat dan dibutuhkan pemahaman dan cara penyelesaian secara proposional.
Nama : Firda Rahmitha Sari
BalasHapusNim: 14421127
Dari penjelasan diatas, bahwa penulis memaparkan bahwa kebijakan di Aceh telah memberikan dampak buruk terhadap aspirasi masyarakat awam, ini disebabkan adanya tokoh yang lebih mendominasi dalam bentuk otoritas agama, ilmu, pemerintah, dan otoritas-otoritas lain yang cenderung mengungkung. ,maka jalan keluar dari permasalahan ini, penulis menginginkan agar fokus terhadap demokrasi yang dikembangkan di Indonesia harus memihak pada demokrasi sosial.
Ada sedikit tanggapan saya mengenai permasalahan dan solusi yang diberikan, yaitu permasalahan yang diangkat terkait syariat Islam, hal ini memungkinkan masyarakat berfikir, bahwa tidak fleksibelnya kebijakan-kebijakan yang terkait hukum Islam dengan masyarakat sosial, dampaknya adalah bahwa Syariat Islam tidak sesuai zaman, maka harus diperlukan revisi,pemikiran seperti ini harus dihindari. Karena kesimpulan akhir bahwa Islam tidaklah sempurna