MENUJU BERAGAMA SECARA SWALAYAN
Oleh : Yusdani
Abstract
The article below
investigates Islam as revealed religion constituting one because it originates
from Allah. But the problem when Islam is
interpreted by Moslem, this emerges the pluralities of Islam, including
in Indonesia. These pluralities because of
the influence of some factors, for instance sociological factor,
cultural factor, and that of intellectual,
these can be called as aesthetics of
reception and Islam itself denotes polyinterpretable religion. Departing from
this, toward the fact the pluralities
understanding of Islam, Indonesian Moslem should develop the tolerant
attitude each other. Instead, the tolerant attitude is not only for internal
Moslem but also toward the other religion followers.
Keywords: swalayanisasi,
pluralitas, Islam, multiinterpretatif, dan Indonesia
Pendahuluan
Islam sebagai suatu ajaran
tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak diperdebatkan
lagi di kalangan kaum muslimin. Akan tetapi bagaimana Islam itu dipahami dan
diterapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam konteks inilah, terletak
persoalan yang sebenarnya (Rahman, 1966 : 101). Karena Islam sebagai ajaran itu satu (tunggal) tetapi polyinterpretable
( pemahaman terhadap Islam itu beragam ).
Munculnya interpretasi
yang beragam terhadap Islam tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Ada
sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk pemahaman kaum muslim terhadap
Islam. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut
Arkoun (1988) sebagai estetika penerimaan (aesthetics of reception),
sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman. Kecenderungan intelektual
yang berbeda-apakah motifnya untuk mengetahui makna doktrin yang sebenarnya,
yang secara literer terekspresikan dalam teks, atau untuk mengetahui
prinsip-prinsip umum dari suatu doktrin, di luar ekspresi literer dan
tekstualnya (Gibbons, 1987:1-31)-dalam upaya untuk memahami Islam dapat
berujung pada pemahaman yang beragam mengenai suatu doktrin. Karenanya,
kendatipun setiap Muslim menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam
Islam, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.
Munculnya berbagai aliran
(mazhab) dalam lapangan fiqh, teologi, filsafat, dan lain-lain dalam Islam,
misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu, multiinterpretatif
– banyak penafsiran (Hodgson, 1974). Watak multiinterpretatif ini telah berperan sebagai dasar dari kelenturan
Islam dalam sejarah. Di samping itu, karakteristik ajaran yang
multiinterpretatif ini juga mengisyaratkan keharusan pluralitas dalam tradisi
Islam. Karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak dapat
dan tidak seharusnya dilihat dan dipahami secara monolitik (Ayoob, 1981). Hal
ini mengindikasikan Islam yang empirik dan aktual-karena berbagai perbedaan
dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik- akan berarti lain lagi bagi orang
Islam lainnya ( Ayubi, 1991: 60-64).
Kerangka
pemahaman bahwa Islam sebagai doktrin Tuhan itu satu tetapi polyinterpretable yang disebabkan berbagai faktor di atas,
perlu disegarkan kembali untuk memahami dinamika dan pluralitas pemikiran Islam
di Indonesia kontemporer sekarang ini ( Wijdan, Yusdani,dkk, 2007: 105-106).
Hal ini urgen dilakukan agar kaum muslimin penuh kearifan dalam menyikapi
fenomena perbedaan pemahaman dan keberagamaan
yang kadang-kadang menyeruak ke permukaan.
Realitas Kemajemukan Sebagai Fakta
Untuk memahami pemikiran Islam di Indonesia
kontemporer sekarang ini, tidak dapat
dilepaskan dari Islam sebagai
agama yang hidup di tengah umat. Sebagai agama yang hidup di tengah umat,
wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat Islam mengalami perubahan dan
pergeseran di sana sini, karena perubahan dan perbedaan tantangan, peluang dan
persoalan yang dihadapi. Dalam era globalisasi ilmu dan budaya, hampir semua
sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dahsyat,
institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, bahkan tidak terkecuali
institusi dan pemikiran keagamaan tidak luput dari pengaruh arus globalisasi
ini ( Abdullah, 1994: 169-170).
Sebagai konsekuensi logis dari kehidupan yang selalu
berubah tersebut adalah bahwa idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar,
falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku, dan
mekanisme kerja, semuanya ikut berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan
manusia tentang realitas jagat raya ini baik yang menyangkut dunia fisika,
kosmologi juga berkembang pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan
perkembangan laboratorium ilmu pengetahuan baik dalam bidang astronomi,
biologi, bioteknologi dan lain-lainnya. Perubahan tingkat pertumbuhan
perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang bangsa tersebut
terhadap realitas dunia ( Abdullah, 1994: 170).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, mustahil rasanya jika
corak dan nuansa pemikiran keagamaan dan keislaman tidak ikut berubah seiring
dengan arus perubahan yang terjadi. Agaknya tidak sepenuhnya tepat untuk
mengatakan bahwa tantangan dan peluang yang dihadapi kaum muslimin Indonesia
sekarang, terutama dalam hal wawasan pemikiran keagamaan adalah sama saja
dengan masa-masa sebelumnya, atau tidak mengalami perubahan, sehingga perlu
diadakan peninjauan ulang, reorientasi, modifikasi, penajaman atau
pengurangan pada bagian-bagian tertentu ( Abdullah, 1994: 169-170).
Dampak
positif dari munculnya pluralitas pemikiran keagamaan baik secara organisasi maupun individual dalam
berbagai bentuknya tersebut adalah bahwa khazanah pemikiran keislaman di
Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan dan ini secara tidak langsung
mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran
individual, maka pluralitas pemikiran tersebut terasa lebih semarak. Paling
tidak, kondisi ini memberi alternatif ventilasi-ventilasi pemikiran yang kaya (
Abdullah, 1995: 70-71).
Realitas dan fenomena kemajemukan, baik dalam
paham keagamaan maupun dalam sosial keagamaan sejalan dengan kemajemukan
masyarakat Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, dan agama.
Segmentasi umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat
kultural, yaitu bahwa keragaman kelompok umat Islam mempunyai latar belakang
budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, sejalan dengan
perbedaan latar belakang budaya – kemasyarakatan (sosio-kultural)
mereka.
Ormas-ormas Islam, terutama yang lahir pada masa
pra-kemerdekaan, memiliki hubungan yang erat dengan budaya di mana ormas
tersebut lahir dan berkembang. Bahkan, sebuah organisasi dapat menampilkan
wajah yang berbeda sesuai dengan lingkungan di mana organisasi tersebut hidup.
Corak paham keagamaan di kalangan ormas-ormas Islam ini tidaklah semata-mata
merupakan hasil pemahaman terhadap (sumber-sumber ) Islam, tetapi juga
merupakan hasil pengaruh dari lingkungan budaya lokal.
Pengaruh latar belakang budaya lokal di atas dapat
diamati, umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri NU dan
Muhammadiyah. KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang hidup di lingkungan budaya
santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap Islamisasi
yang dapat disebut santrinisasi santri. Sedangkan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, yang hidup di lingkungan budaya priyayi di Kauman Yogyakarta,
menawarkan model pendekatan yang dapat disebut santrinisasi priyayi atau
priyayisasi santri ( Syamsuddin,1992:4).
Kedua pendekatan tersebut di atas memiliki logika
sendiri. Baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asy’ari, telah memberikan yang terbaik
bagi pengembangan Islam yang relevan dengan setting kultural yang mereka
hadapi. Kedua organisasi yang mereka lahirkan merupakan dua sayap penting bagi
perkembangan paham keislaman di Indonesia ( Syamsuddin,1992:4).
Pembahasan tentang pemikiran sosial keagamaan yang
dikembangkan oleh berbagai organisasi ke-Islaman di Indonesia seperti
Muhammadiyah, NU dan lain sebagainya telah banyak publikasi yang menelaahnya,
tetapi munculnya pemikiran Islam di Indonesia yang dikembangkan oleh individu
pasca Muhammadiyah dan NU belum begitu banyak dipetakan. Oleh karena itu, penting dideskripsikan
tentang pemikiran Islam individu dan bagaimana wujud pemikiran itu telah
dituangkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk memudahkan memasuki pembicaraan ini
barangkali penggambaran di bawah ini dapat membantu.
Deskripsi
singkat kemajemukan pemikiran ke-Islaman individu pasca Muhammadiyah dan
NU ( Wijdan, Yusdani, dkk,2007: 105-142)
dapat diungkapkan sebagai berikut:
No.
|
Kategori Pemikiran
|
Tokoh
Pemikir
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16
|
Islam Rasonal
Islam Saintifik
Islam Kritis
Islam Desakralisasi
Islam Pribumisasi
Islam Kultural
Islam Reaktualisasi
Islam transformatif
Islam Integralis
Islam Substantif
Islam Dialogis
Islam Inklusif Pluralis
Islam liberal
Islam Eksklusif
Islam
ekonomi
Islam
Humanis
|
Harun Nasution
A.Mukti Ali
M. Rasjidi
Nurcholish Madjid
Abdurrahman Wahid
Kuntowijoyo
Munawir Sjadzali
Moeslim Abdurrahman dkk
Ahmad Baiquni dkk
Azyumardi Azra
M. Amin Abdullah
Alwi Shihab
Ulil Abshar Abdalla
Abu Bakar Ba’asyir dkk
Muhammad Syafi’i Antonio dkk,
Abdurrahman Mas’ud dan PSI UII
|
Pemetaan pluralitas
pemikiran ke-Islaman individu di atas dilakukan berdasarkan indikasi, ide
sentral dan kecenderungan tokoh pemikirnya. Dari penggambaran tersebut jelas
sekali menunjukkan bahwa corak pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan hasil
hubungan yang dialektis dengan persoalan; Islam dan modernisasi atau
kemoderenan; perjumpaan Islam dengan kebangsaan dan kekuatan negara; dan
perjumpaan Islam dengan kekuatan budaya lokal
di Indonesia. Dengan kata lain pluralitas pemikiran sosial keagamaan
Islam kontemporer di Indonesia pasca Muhammadiyah dan NU di atas sesuai dengan subject
matter yang menjadi perhatian utama pemikirnya. Walaupun begitu ada satu mainstream
yang menjadi obsesi, yaitu membangun suatu sistem apa yang disebut ( Wijdan,
Yusdani, dkk,2007: 147)“keislaman, keindonesiaan dan kemodernan”
Perkembangan dan dinamika pemikiran Islam individu
pasca Muhammadiyah dan NU di atas telah melahirkan paling tidak tiga generasi
pemikir, yaitu generasi pertama adalah generasi Harun, A.Mukti Ali, dan
M. Rasjidi. Generasi kedua adalah antara lain Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Hidayat Nataatmaja, A.
Syafii Maarif, Djohan Effendy, M. Amien Rais, Imaduddin Abdulrahim, Muslim
Abdurahman, Munawir Sjadzali, Adi Sasono, Jalaluddin Rahmat, M. Quraisy Shihab,
dan lain-lain. Generasi ketiga
antara lain adalah Fachry Ali, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Alwi Shihab,
Masdar Farid Mas’ud, Ulil Abshar Abdallah, Mansur Faqih, Komaruddin Hidayat,
Bahtiar Effendy, Munir Mulkhan dan lain-lain ( Wijdan, Yusdani, dkk, 2007:
107).
Dari Pluralitas Menuju Swalayanisasi
Munculnya multitafsir keagamaan, selain
dilandasi oleh semangat teologis dan tafsir atas teks agama juga sebagai
respons terhadap perubahan sosial. Pluralitas pemahaman keagamaan merupakan
sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan mustahil pula dilawan dan
dihindari. Yang bisa dilakukan terhadapnya adalah saling menghargai, saling
mengakui dan adanya sikap toleransi antarsesama ( Wijdan, Yusdani,dkk,2007:
142-143).
Wajah gerakan dan pemahaman Islam di Indonesia
semakin tampak beragam bersamaan dengan proses liberalisasi dalam berbagai
aspek kehidupan. Sebagian di antara mereka ada ( Wijdan, Yusdani, dkk,2007:
142-143) yang eksklusif, yang memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan
secara formal-skriptural. Akan tetapi
tidak sedikit yang moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai
Islam melalui jalur kultural.
Hanya saja, bersamaan dengan berkembangnya ragam
penghayatan dan pemikiran Islam juga muncul sikap-sikap keberagamaan eksklusif
yang cenderung menghakimi kelompok lain. Yang lebih memprihatinkan lagi, sikap
seperti itu justru ditampilkan oleh kalangan Islam mainstream. Ada panafian
terhadap asumsi bahwa ragam pemikiran Islam bukan sebagai sebuah proses
dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas sosial yang terus
berubah. Acap kali muncul tuduhan terhadap suatu gerakan keagamaan sebagai
penyimpangan dan ancaman terhadap stabilitas kehidupan keislaman (Wijdan,
Yusdani,dkk,2007: 143).
Seperti yang sering disaksikan, adanya sekelompok
orang yang mengatasnamakan umat Islam (Al Makin,2007) menilai pemahaman orang
lain sebagai penyimpangan dan penyesatan akidah. Tidak jarang pula mereka
menvonis kafir dan menghalalkan darah sesama umat sendiri. Lebih dari itu,
mereka meminta kepada pemerintah untuk membekukan seluruh kegiatan gerakan yang
dianggap menyimpang itu.
Gejala seperti itu mengisyaratkan tidak
akomodatifnya muslim ortodoks-demikian Martin Van Bruinessen
menyebutnya-terhadap gerakan Islam minoritas. Dan ini berarti secara hegemonik
telah terjadi monopoli tafsir kebenaran. Islam ortodoks tidak menyadari bahwa
munculnya pemikiran baru merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap keberagamaan
dan institusi agama lama yang telah “mapan”( Wijdan, Yusdani,dkk,2007:143).
Rupanya, dalam masyarakat muslim Indonesia telah
tertanam kesadaran bahwa beragama yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang
telah diwariskan oleh para pendahulunya. Keberagamaan tidak dilihat sebagai
proses pencarian menuju kebenaran yang sejati. Keberagamaan juga tidak
dikaitkan dengan proses dialogis antara pemeluk agama dengan multikulturalitas
yang mengitarinya.
Perlu ditegaskan bahwa timbul dan tenggelamnya
pemikiran keagamaan minoritas merupakan gejala yang normal di masyarakat mana
pun, dan kehadiran mereka mempunyai fungsi yang berguna dalam sebuah dunia
sedang berubah dan masa transisi. Di samping itu, pemikiran minoritas biasanya
lebih efektif menanamkan nilai-nilai moral di kalangan anggota mereka ketimbang
kelompok-kelompok keagamaan mainstream.
Memang, secara sosiologis sebagian dari
pemikiran-pemikiran baru dalam agama sebagaimana dicirikan Milton Yinger dalam Religion,
Society and the Individual (1975) cenderung memilih eksklusif, menutup diri
dari lingkungan sosial, hubungan antaranggota sangat rekat, militan dan berbeda
dengan corak keberagamaan mayoritas. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak akan
mempengaruhi keseimbangan sosial yang diciptakan oleh budaya keagamaan
mayoritas yang telah mapan. Atas dasar sikap keberagamaan seperti itu, aliran
Islam minoritas dituduh menyimpang (Al Makin,2007) dari ajaran agama Islam dan
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.
Dalam konteks itulah pentingnya kaum muslim
melihat doktrin Islam tentang keragaman dan kebebasan artikulasi beragama.
Alquran secara tegas menkritik sikap arogan dan intoleran terhadap tafsir orang
lain dalam kalimat berikut: “Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, ke
sanalah ia mengarahkannya, maka berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan.
Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas
segalanya”. (Q.S. al-Baqarah/2:148). "Dan sekiranya Tuhanmu
menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di bumi seluruhnya, apakah engkau
akan memaksa manusia hingga semuanya beriman?" (Q.S. Yunus: 99).
Islam sangat menghargai perbedaan pemahaman dalam
beragama. Pemahaman itu tetap
memiliki peluang kebenaran dan keselamatan. Jangankan pengakuan terhadap
perbedaan pemahaman dalam satu agama (Islam), dalam Alquran (Q.S. Al-Baqarah/2:
62) diisyaratkan adanya keselamatan dalam setiap agama.
Munculnya multitafsir keagamaan, selain dilandasi
oleh semangat teologis dan tafsir atas teks agama juga sebagai respons terhadap
perubahan sosial. Pluralitas pemahaman keagamaan (Jinan,2004) merupakan sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan mustahil pula kita
lawan dan hindari. Yang bisa dilakukan terhadapnya adalah saling menghargai,
saling mengakui dan bersikap toleran.
Oleh karena itu, kaum muslimin Indonesia
seharusnya mengutuk segala tindakan kekerasan terhadap kelompok keagamaan
minoritas. Kekerasan atas
nama monopoli kebenaran yang mengabaikan pluralitas harus ditentang. Pentakfiran,
intimidasi dan penghakiman (Al Makin, 2007) terhadap aliran
minoritas hendaknya dihentikan. Kecuali bila ada bukti bahwa kelompok minoritas
ini benar-benar mengganggu tatanan sosial, seperti melakukan tindakan destruktif.
Barang kali penting untuk dikemukakan bahwa tidak
mengakui keberadaan suatu paham/aliran keagamaan, sama saja dengan tidak
menghargai hak asasi manusia. Keberadaan suatu aliran keagamaan tidak
memerlukan pengakuan dari sebuah institusi apapun, termasuk institusi
keagamaan.
Seiring dengan itu, dalam sejarahnya pelarangan
terhadap berbagai aliran keagamaan dalam kenyataannya tidak efektif. Sebab, hal
ini menyangkut keyakinan pribadi seseorang. Keyakinan tidak mungkin ditaklukkan
dengan kekuasaan atau kekuatan mayoritas. Hal ini merupakan prinsip kebebasan
ekspresi keagamaan atau penafsiran terhadap ajaran agama. Pemaksaan dalam hal
agama adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara diametral
juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka (Al
Makin,2007).
Menganut paham keagamaan yang berbeda dengan faham
mayoritas umat Islam ( Wijdan, Yusdani,dkk,2007: 145) merupakan hak yang harus
dihormati. Dalam Islam, keberagamaan menuntut ketulusan. Kata “Islam” sendiri
berarti tulus dan pasrah. Ini hanya mungkin bila ada kebebasan untuk menerima
atau menolak, faham keagamaan lain. Oleh karena itu, setiap bentuk pengurangan
dan pembatasan terhadap ekspresi keberagamaan atau kemerdekaan beragama,
sedikit atau banyak akan menimbulkan kemunafikan, yang justru mengurangi nilai
keislaman itu sendiri.
Islam adalah agama yang memberikan kebebasan
kepada para pemeluknya untuk memahami dari berbagai sisi. Ini menggambarkan
keluasan Islam yang memungkinkan untuk menampung berbagai produk penafsiran dan
pemahaman. Ibarat sebuah supermarket (Jinan,2004), di dalamnya terpampang
berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pengunjung
yang masuk ke dalamnya bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia
kehendaki. Bila pengunjung menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa
ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu.
Begitu juga gambaran tentang Islam saat ini dengan
segala produk tafsirannya. Kaum muslim perlu menyadari bahwa kini telah
terpampang produk tafsir keislaman yang beragam, baik dalam aksi maupun
pemikiran. Hal ini meniscayakan umat Islam untuk secara mandiri bebas memilih
tafsir mana yang ia suka. Dengan kata lain, hadirnya multitafsir menuntut umat
Islam untuk beragama secara “swalayan” (Jinan,2004) yakni, keberagamaan yang
dilandasi oleh kemandirian, kebebasan dan tanpa paksaan menentukan pilihan
terhadap satu produk penafsiran. Akan tetapi, tentu saja kesukaan terhadap satu
pilihan tidak selayaknya disertai dengan penghinaan dan perusakan terhadap pilihan
yang lain.
Beragama secara swalayan memungkinkan terwujudnya
harapan bahwa perbedaan tafsir keagamaan akan menjadi ladang dialog
konstruktif, kreatif dan saling memperkaya pengalamanengetahuan. Juga dapat
mengantarkan umat kepada sikap untuk saling memahami. Bukan sebaliknya,
perbedaan sebagai lahan untuk menyuburkan konflik dan saling menyesatkan.
Beragama secara swalayan menjanjikan suatu keberagamaan yang egaliter, humanis
dan kompetitif dalam kebaikan di tengah hamparan multi produk penafsiran (Jinan,2004).
Penutup
Sebagai
penutup tulisan ini dapat dikemukakan bahwa secara epistemologis boleh
dikatakan bentuk atau varian pemikiran sosial-keislaman kaum muslimin Indonesia
kontemporer dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
Pertama,Islam
eksklusif yaitu sikap keagamaan yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip diri
sendirilah yang paling benar sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan
prinsip yang dianut orang lain salah, sesat dan harus dijauhi. Baik bersifat ke
luar terhadap agama lain maupun ke dalam yaitu dalam Islam sendiri melalui
berbagai mazhab atau aliran dalam berbagai bidang: fiqih, teologi, tasawuf dan
lain sebagainya, yang menganggap mazhab atau alirannyalah yang paling
benar sedangkan mazhab lainnya salah dan
tersesat.
Kedua, Islam
Inklusif-Pluralis adalah paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa
agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat
memberikan manfaat serta
keselamatan bagi penganutnya. Di samping itu ia tidak semata-mata menunjukkan
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Ketiga, Islam humanis adalah
paham keislaman dengan cara melakukan inisiasi, apresiasi, elaborasi, dan
pengembangan berbagai kegiatan yang mengarah pada upaya penampilan Islam yang
lebih berpihak kepada pemberdayaan manusia dan masyarakat melalui pendekatan
keilmuan
Berdasarkan uraian-uraian di atas jelas suatu
kenyataan yang memperlihatkan bahwa variasi kelompok ataupun wilayah
pemikiran yang menerima Islam akan
segera pula melahirkan variasi versi keislaman. Islam sebagai sebuah nilai,
hadir dalam wajahnya yang beragam. Adalah suatu pekerjaan yang amat sulit untuk
menyeragamkan penghayatan ke-Islaman berbagai umatnya. Akan tetapi, yang lebih
penting lagi perlu pula disadari adalah tantangan ataupun langkah-langkah yang
harus diambil terdapat perbedaan persepsi di antara sesama kalangan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin.1994. “ Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama: Reorientasi Wawasan Pemikiran Keislaman”, dalam Yunahar Ilyas dkk (eds.).1994. Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman. Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin
------.1995. “Islam Indonesia Lebih Pluralistik dan Demokratis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No. 3, Vol.VI, Tahun 1995. Jakarta: Lumbaga Studi Agama dan Filsafat. hlm. 70-71.
------. 2002 Dinamika Islam Kultural.
Bandung: Mizan.
Abdullah, Taufik.1989. “Islam dan
Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Suatu Perspektif Perbandingan” , dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique
(eds.). Tradisi dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES), hlm.60,
Abdurrahman, Muslim (ed.).1979. Agama,
Budaya dan Masyarakat. Jakarta: Badan Litbang Agama.
------.1999.”Menafsirkan Islam dalam
Tradisi dan Persoalan Umat” dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi (editor).
1999. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University
Press, hlm.49-72.
Ali, Fachry. 1984. Islam, Ideologi
Dunia dan Dominasi Struktural. Bandung: Mizan.
Ali, A. Mukti.1971. Alam Pikiran Islam
Modern di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan NIDA.
Al Makin, 2007. ”Perspektif
Lain Soal Pembaruan Islam” http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279484&kat_id=16
accessed Jumat, 19 Januari 2007
Anshari, Endang Saifuddin. 1973. Kritik
atas Faham dan Gerakan “ Pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid. Bandung : Bulan
Sabit.
Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan
Aksi di Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru.
Jakarta: Paramadina.
Arkoun,
Mohammed. 1988.” The Concept of Authority in Islamic Thought”, dalam Klauss
Ferdinand and Mehdi Mozaffari(eds.).1988. Islam: State and Society.
London: Curzon Press.
Ayoob,
Mohammed (ed.).1981. The Politics of Islamic Reassertion. London: Croom
Helm.
Ayubi,
Nazih.1991. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World.
London and New York: Routledge.
Azra,
Azyumardi.1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII. Bandung : Mizan.
------.2000.Islam
Substantif. Bandung: Mizan.
Bagir,
Zainal Abidin.2002.”Pergolakan Pemikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan,” dalam Taufik
Abdullah (editor kepala).2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta:
P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm. 137-160.
Dawalibi,
Muhammad Ma’ruf.1965. al-Madkhal Ila Ilm al-Usual al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Dhofier, Zamakhsyari.1982.Tradisi
Pesantren.Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford.1976. Religion of Java. Chicago and
London : University of Chicago Press.
Gibbons,
Michael T..1987. Interpreting Politics. New York : New York University
Press.
Hefner,
Robert W..1998. “Islamisasi Kapitalis: tentang Pembentukan Bank Islam Pertama
di Indonesia,” dalam Mark R. Woodward (ed.).1998. Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia terjemahan dari jududl asli Toward
A New Paradigm : Recent Developments in Indonesian Islamic Thought oleh
Ihsan Ali - Fauzi. Bandung: Mizan, hlm.275.
Hodgson,
Marshall G.S..1974. The Venture of Islam Conscience and History in a World
Civilization. Chicago and London : The University of Chicago Press.
Jinan, Mutohharun.”Mamahami Multitafsir Islam”http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=430,
accessed, 11 Mei 2007
Madjid,
Nurcholish.1970.”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Ummat,” Nurcholish Madjid et.al.. Pembaharuan Pemikiran Islam. Jakarta:
Islamic Research Center.
------.1985.”
Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia” dalam
Mukti Ali, dkk., 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Pelita.
------.1991.”Masalah
Tradisi dan Inovasi Keislaman dalam Bidang Pemikiran serta Tantangan dan
Harapannya di Indonesia,”makalah disampaikan pada Festival Istiqlal, Jakarta,
21-24 Oktober 1991.
------.1998.” Mencari Akar-Akar Islam Bagi
Pluralisme Modern :Pengalaman Indonesia”, dalam Mark R.Woodward (Ed.). Jalan
Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia terjemahan dari
jududl asli Toward A New Paradigm : Recent Developments in Indonesian
Islamic Thought oleh Ihsan Ali - Fauzi. Bandung: Mizan, hlm.91
Mas’ud, Abdurrahman. 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama Media.
Migdal, Joel S. 1988. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton University Press.
Nata,
Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta:
PT.RajaGarfindo Persada.
Noer,Deliar.1980.Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942.Jakarta:LP3ES.
Rachman,
Budhy Munawar.1995. “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia”,
dalam dalam Jurnal Ulumul Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No. 3,
Vol.VI, Tahun 1995. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat. hlm. 6-26.
------.2001.
Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta:Paramadina
Rahardjo, M Dawam. 1983. “Umat Islam dan Pembaharuan Teologi”. Dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed), Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta:Leppenas.
------. (ed), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M
------.1996. “Fundamentalisme”, dalam
Muhammad Wahyuni Nafis (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta:Paramadina.
Rakhmat, Jalaluddin. 1989. “ Ke
mana Arah Pemikiran Islam di Indonesia”, Makalah, Jakarta: IAIN Ciputat.
------.1996.Islam Aktual. Bandung :Mizan.
Rasjidi, H.M. 1972, Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi, Jakarta: Bulan
Bintang.
Samson,
Allan, 1968, Islam in Indonesian Politics, Asian Survey, No:12,Vol.VIII,
Desember.
------.
“Indonesian Since the New Order” 1985. Dalam
Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain (eds), Reading on
Islam in Southest Asia. Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies.
Sasono,
Adi. 1985. Moral Agama dan Masalah Kemiskinan. Makalah, tidak
diterbitkan.
Sasono,
Adi dan Ahmad Rofi’ie.1988. People’s
Economy, Jakarta: Southeast Asian Forum for Development Alternative.
Sasono, Adi. dan Sritua Arif, 1981, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan, Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Shihab, Alwi.1998. Islam
Inklusif. Bandung: Mizan.
Simuh.1986.
“Pandangan H.M. Rasjidi tentang Kebatinan,” dalam al-Jami’ah. No. 34 Th. 1986, hlm. 24-30.
Soekarno. 1964. Dibawah Bendera
Revolusi, Vol.1. Jakarta: Panitia Penerbitan Dibawah Bendera Revolusi.
Soemarsono, Soemarso (ed.).. 1978. Mohamad
Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding. Jakarta: Bulan Bintang.
Sjadzali, Munawir.1984.”Pembaharuan:
Aplikasi Tanpa Kehilangan Esensi,” dalam Panji Masyarakat, No.436, 1
Juli 1984, hlm,12-13.
------.1985.”Dinamika dan Vitalitas Hukum
Islam,”dalam Panji Masyarakat, No.459, 21 Februari 1985, hlm,25-28.
------.1985. “Shari’ah: A Dinamic Legal
System’, makalah disampaikan pada konferensi tentang syari’ah dan kodifikasi,
Colombo, Sri Langka, Desember 1985.
------.1987.”Gejala Krisis Integrasi
Ilmiah di Kalangan Ilmuwan Islam,” dalam Pelita, 24-25 Juli 1987.
------.1988. “Reaktualisasi Ajaran Islam”.
Dalam Iqbal Abdul Rauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Syamsuddin, M. Din. 1992.”Tanggapan
Terhadap H.Abdurrahman Wahid: Masalah Kepemimpinan Umat” dalam Jawa Pos
26 Agustus 1992, Surabaya, hlm.4.
Tanja Victor, 1979, Himpunan Mahasiswa Islam: Its History and its Place Among Muslim Reformist Movement ini Indonesia. Disertasi Ph.D : Hartford Seminary Foundation.
Wahid, Abdurrahman. 1984. Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa, Prisma, Edisi Extra.
------. 1985. Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama, dalam Aula, Mei
------. 1989. Pribumi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M.
------.2007. Islamku,
Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: Wahid Institut
Wijdan, Aden, Yusdani,
dkk..2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pusat Studi
Islam dan Safira Insania Press.
Komentar
Posting Komentar