Langsung ke konten utama

MENUJU FIQH KESETARAAN GENDER DI INDONESIA

MENUJU FIQH  KESETARAAN GENDER  DI INDONESIA 
Studi Kritis tentang Pemikiran Hukum Islam Kontemporer di Indonesia·

Oleh: Yusdani×

Abstrak
Adalah fakta bahwa bias gender terdapat baik dalam hukum agama (fiqh), hukum negara, budaya maupun dalam dunia pendidikan. Bias ini gender ini mencakup baik dalam lingkup atau ranah kehidupan rumah tangga (domestik) maupun di ranah publik. Adapun faktor-faktor penyebab munculnya diskriminasi gender adalah saling berkolaborasinya antara tafsir agama dengan budaya patriarkhi, regulasi negara, dan lembaga pendidikan. Akan tetapi, dalam konteks ini tafsir agama (terutama fiqh) dalam berbagai variasinya dianggap paling dominan dan sering dijadikan sebagai alat justifikasi melanggengkan bias gender dalam berbagai aspek dan ranah tersebut. Dalam bidang hukum positif atau hukum agama ( fiqh) setidaknya ada tiga aspek yang menjadi kendala untuk membangun gender equalitas, yaitu aspek materi hukum, budaya hukum, dan struktur hukum. Untuk menuju fiqh yang berorientasi pada keramahan gender, perlu dilakukan pembalikan budaya, dibutuhkan pisau analisis dan argumentasi historis epistemologis hermeneutis sehingga terkuak penyebab munculnya pandangan bias gender dan kemudian dilakukan pemahaman ulang atas doktrin-doktrin tersebut agar lebih responsif terhadap kesetaraan gender. 
Kata kunci: bias gender, tafsir agama, budaya patriarkhi, kesetaraan, dan keadilan.
  
Pendahuluan
Perbincangan di sekitar isu kesetaraan gender merupakan salah satu isu besar dalam pemikiran Islam kontemporer di samping isu demokrasi, relasi agama dan negara dan lain-lain. Isu ini muncul dari keprihatinan yang sangat mendalam atas ketertindasan kaum perempuan ( dalam konteks dan budaya tertentu mungkin ketertindasan kaum lelaki) dan perlakuan tidak adil terhadap mereka hampir dalam seluruh ruang kehidupan mereka. Kebudayaan manusia telah menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang atau ketimpangan. Perempuan dalam ruang budaya sampai hari ini masih ditempatkan pada posisi subordinat, marjinal dan tereksploitasi. Kebudayaan yang sering disebut patriarkis ini tampaknya tidak berdiri sendiri. Kebudayaan patriarkis ini  berkolaborasi dengan sejumlah pihak dan faktor antara lain adalah pemikiran keagamaan. Dalam banyak wacana ketidakadilan gender, wacana keagamaan selalu dipandang telah ikut memberikan andil yang besar bagi kukuhnya sistem sosial dan kebudayaan yang timpang tersebut. Dalam kasus di Indonesia, wacana keagamaan selama ini (terutama fiqh) telah memainkan peran signifikan dalam kehidupan individual dan sosial di masyarakat.[1]
Problem ketimpangan gender tersebut kemudian melahirkan aktivitas pemikiran kritis dari para pemikir agama (Islam), terutama mereka yang concern terhadap isu-isu gender, untuk mencoba melihat kembali isu-isu ketidakadilan gender ini dari sudut pandangan pemikiran Islam kontemporer. Dalam pandangan pemikiran kontemporer, adalah sulit dapat dimengerti bagaimana agama Islam memberikan toleransi terhadap segala bentuk diskriminasi. Dalam keyakinan mereka, agama pastilah tidak mungkin melegitimasi berbagai bentuk ketimpangan. Tuhan pasti tidak akan menjustifikasikan ketidakadilan terhadap manusia.[2]
Perbincangan mengenai permasalahan gender, kini telah menjadi sebuah kebudayaan baru mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Pembicaraan masalah gender ini telah menempatkan dan mendorong kata kesetaraan ( egaliter dan keadilan ) sebagai ikon penting dalam mengonstruksi kembali gender sebagai sebuah entitas kultur yang dibuat, dibangun untuk menegakkan hubungan yang setara dan adil dalam kemajuan bersama untuk mencapai derajat mutu manusia, melintasi atau melampaui batas-batas atribut jenis kelamin dan pemaknaan dikotomis kultural laki-perempuan.[3]
Gender merupakan konstruksi sosio budaya. Ia adalah label dari konstruksi hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang lebih popular disebut relasi gender. Perilaku mengenai relasi antara laki-perempuan disebut budaya gender. Jika jenis laki-perempuan adalah atribut biologis yang telah selesai, tetap, alamiah, dan terberi, relasi gender adalah ekspektasi budaya mengenai hubungan laki- perempuan yang berubah-ubah, atau diubah-ubah, dinamis, dan mengalami modifikasi terus menerus. Bahkan sejak ada kesadaran sejarah mengenai perlunya kesetaraan antara hubungan laki-laki, gender terus diperjuangkan sebagai sebuah kebudayaan baru di masa kini dan masa datang. Teori-teori pun tercipta dan dipakai sebagai “pisau” analisis dalam kerangka memahami, menjelaskan, dan menafsir dinamika relasi gender pada berbagai kurun sejarah.[4]
Secara historis dalam bentangan beragam masyarakat, studi, penelitian dan amatan pemerhati gender, masih ada satu yang tetap berlaku dan menjadi kegelisahan: hubungan laki-perempuan masih tetap bias gender. Bias gender ini tersimpul ke dalam frase pendek; stereotip, kelakilakian-keperempuanan, peran domestik-publik, dan posisi dominasi-tersubordinasi.[5]
Dalam tridikotomi di atas biasanya perempuan selalu dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan simbolik. Hal ini semua biasanya  terangkum ke dalam apa yang dikenal dengan konstruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias gender.[6] Praktik-praktik Misogyni alias kekerasan laki-laki terhadap perempuan terus saja berlangsung dalam berbagai budaya, bahkan pada negara yang sangat demokratis dan maju sekalipun.[7]

Basis Teoritis Tafsir Agama Bias Gender
Kenyataan pandangan diskriminatif terhadap kaum perempuan juga dapat dibaca dalam kitab-kitab tafsir klasik, bahkan juga sejumlah tafsir kontemporer. Dalam kitab-kitab tersebut  ditemukan dengan mudah bagaimana perempuan secara teo-kosmologis diposisikan sebagai makhluk Tuhan kelas dua. Dalam soal penciptaan manusia misalnya, Adam, menurut banyak tafsir adalah manusia pertama yang diciptakan dan Hawa diciptakan dari Adam. Meskipun pernyataan tegas dari al-Qur’an sendiri tentang hal ini tidak pernah ditemukan, tetapi para penafsir seperti al-Tabari, Ibnu Kasir, al-Qurtubi dan al-Sayuti menyepakati tafsir ini.[8] Penafsiran ini juga lahir dari pembacaan tekstual (harfiyyah) mereka atas sebuah hadis sahih.[9]
Posisi subordinat perempuan juga dikemukakan al-Tabari, seorang yang dipandang sebagi guru besar para ahli tafsir (syaikh al-mufassir), ketika membicarakan masalah kejatuhan Adam dan Hawa dari surga ke bumi. Mengutip pandangan Wahb bin Munabbih, al-Tabari antara lain menyatakan bahwa mereka terusir (dikeluarkan) dari surga gara-gara Hawa. “Allah bertanya kepada Adam: “Hai Adam, mengapa kamu melanggar perintah-Ku? Adam menjawab: “gara-gara Hawa”. Akibat dari ini Tuhan kemudian menghukum Hawa dengan tiga macam hukuman, yaitu: pertama; membuatnya menstruasi (haid) setiap bulan, kedua; menjadi makhluk Tuhan yang bodoh (safihah) dan ketiga; melahirkan bayi dengan susah-payah. Salah seorang perawi hadis mengomentari kisah ini: “Andaikata tidak karena Hawa, kaum perempuan tidak akan haid, menjadi manusia yang cerdas dan melahirkan dengan mudah”.[10]
Tafsir teo-kosmologis sebagaimana dikemukakan di atas menjadi basis utama bagi subordinat dan diskriminasi perempuan untuk pandangan tafsir atas teks-teks yang lain. Ia menjadi basis bagi sejumlah pandangan keagamaan yang menyudutkan perempuan. Perempuan kemudian menjadi sumber “fitnah”, akal dan agama perempuan lebih rendah (naqisat aqlin wa dinin) dan perempuan adalah makhluk lemah. Tema-tema ini dalam pandangan para penafsir al-Qur’an tradisional dalam banyak aspek terutama aspek fiqh, kemudian menjadi dasar argumen bagi peminggiran dan pemingitan (domestikasi) perempuan. Aktivitas mereka dibatasi pada ruang-ruang yang sempit di dalam rumah.[11]
Dalam konteks ruang domestik (rumah tangga), laki-laki oleh para ahli tafsir dan fiqh secara normatif diposisikan sebagi kepala rumah tangga, pemimpin dan pencari nafkah. Laki-laki dengan begitu memiliki hak lebih luas untuk melakukan peran-peran publik. Sementara perempuan (istri) di samping hanya memberikan peran domestik berupa; mengurus rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami, ia juga harus (wajib) taat sepenuhnya kepada laki-laki (suami). Pandangan ini merujuk pada pernyataan al-Qur’an “al-Rijal Qawwamun ‘ala al-Nisa’...”.(Q.S. al-Nisa: 34). Dari ayat ini juga dapat dibaca bagaimana suami memperoleh hak memukul istrinya ketika tidak taat kepadanya (nusyuz). Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka lainnya seperti, Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhit. Ia mengatakan (“dalam menghadapi istri yang nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya sendiri tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan ringan atau dengan cara lain yang membuatnya merasa tidak berharga, dapat juga dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera karena sakit asal tidak mematahkan tulang dan berdarah. Jika cara-cara dimaksud masih juga tidak efektif menghentikan ketidaktaatannya, suami boleh mengikat tangan istri dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami”.[12]
Perkara yang paling signifikan dalam hal kepemimpinan dan superioritas laki-laki ini adalah bahwa hampir semua ahli tafsir menyatakan bahwa posisi ini bersifat tetap, kodrat yang tidak bisa berubah. Ini karena masih menurut mereka, secara kodrat (dari Tuhan), laki-laki diciptakan lebih cerdas, lebih kuat dan lebih tegar dibanding perempuan. Konsekuensi pikiran ini kemudian memberikan legitimasi pembagian peran dan kerja di atas secara generatif, karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki laki-laki dan kekurangan-kelemahan yang dimiliki perempuan merupakan sesuatu yang melekat kepada mereka masing-masing.[13]
Pembagian kerja laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang domestik di atas, pada posisi lain kemudian mengantarkan pikiran keagamaan pada bentuk aturan lain berupa keharusan perempuan untuk tidak boleh meninggalkan rumah kecuali karena keperluan yang mendesak dan atau atas izin suami. Pandangan ini juga merujuk pada ayat “Dan hendaklah kalian (kaum perempuan) tetap tinggal di rumah”. Sejumlah ahli tafsir atas dasar ayat ini, kemudian menggeneralisasikan ketentuan tersebut terhadap semua perempuan di mana saja dan kapan saja dan bukan hanya terhadap para istri Nabi saw meskipun teks tersebut jelas-jelas diarahkan terhadap mereka (para istri Nabi saw).[14] Meskipun konteks ayat 34 surat an-Nisa’ tersebut berkaitan dengan urusan domestik, tetapi sejumlah pandangan ahli tafsir, ayat ini juga merujuk melalui argumen analogis utama (qiyas awlawi) untuk menjustifikasikan ketidakabsahan perempuan menduduki jabatan-jabatan tertinggi dalam wilayah publik-politik. Pemikiran ini juga dikuatkan oleh sumber otoritatif lain yaitu hadis sahih yang secara eksplisit menegaskan ketidakberuntungan bangsa yang dipimpin presiden perempuan “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra-atan”. Argumen paling banyak dikemukakan lagi-lagi karena lemahnya akal dan fisik perempuan dan kehadirannya bersama laki-laki dapat menimbulkan “fitnah” atau berpotensi menggoda.[15]
Beberapa contoh yang dikemukakan di atas menjelaskan bagaimana pemahaman (tafsir) agama memberikan dasar legitimasi bagi subordinasi, diskriminasi, stereotyping dan marjinalisasi  peran-peran perempuan. Pandangan ini menyebar bukan hanya dalam kitab-kitab tafsir tetapi juga dalam kitab–kitab hadis dan fiqh yang selama ini dibaca oleh masyarakat muslim dari waktu ke waktu dan disosialisasikan secara berkesinambungan dari generasi demi generasi. Menurut pandangan mainstream pandangan-pandangan tersebut diyakini sebagai hukum agama karena dinyatakan oleh teks-teks otoritatif secara eksplisit dan dengan demikian juga memiliki tingkat sakralitas seperti agama. Oleh karena itu, gugatan dan kritik atasnya dapat dimaknai sebagai gugatan dan kritik terhadap agama itu sendiri.[16]
Berkaitan dengan permasalahan bias gender di atas, beberapa persoalan di dalam tradisi fiqh yang belum mendapatkan penyelesaian secara adil dan setara  adalah relasi keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga lintas iman. Dalam banyak kasus, fiqh terkesan mendiskriminasikan non muslim. Ini tentu bertentangan dengan prinsip Islam sebagai rahmat-an li al-‘alamin, kebaikan untuk semua. Untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan antar-agama seperti; mengucapkan salam kepada non muslim, do’a bersama penganut agama lain, nikah beda agama, waris beda agama, hingga status kewarganegaraan non-muslim di dalam entitas politik Islam. Seorang Buddhis menceritakan, hubungannya dengan kerabat yang Kristen dan Islam sebelum medium 1980-an, sangat baik dan akrab. Mereka tidak mempersoalkan hukum mengucapkan salam kepada non Muslim, mengucapkan “Selamat Natal” dan ikut Natal bersama. Akan tetapi sejak menerima fatwa para ulama bahwa tiga kebiasaan itu dilarang, sikap mereka berubah. Keakraban menjadi kebencian.[17] Berdasarkan sebuah hadis, Rasulullah ketika ditanya tentang Islam yang mana yang terbaik, dijawab, “Memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa saja yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” Ini menunjukkan bahwa sejatinya Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian.[18]  Mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim, bahkan ikut dalam perayaan bersama juga tak dilarang, sebab umumnya tujuan mereka adalah untuk kemaslahatan, dan tentu saja tanpa mengorbankan aqidah.[19]
Wacana keagamaan yang bias gender dalam keluarga karena beda agama (keyakinan-iman) seperti dijelaskan di atas sungguh sulit untuk dipahami, bukan saja karena ia jelas-jelas berhadapan secara tajam dengan semangat dan cita-cita Islam sendiri sebagaimana sudah dikemukakan di atas, tetapi juga dalam konteks perkembangan sosial baru. Pada tataran realitas kehidupan sekarang, pandangan-pandangan konservatif ini tengah menghadapi proses alienasi sosial. Meskipun tafsir-tafsir tersebut masih terus dibaca tetapi ia semakin tidak lagi diamalkan. Keniscayan perkembangan sosial-ekonomi-politik dewasa ini telah menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktivitas-aktivitas bukan hanya pada ruang domestik, tetapi juga ruang-ruang publik secara lebih luas. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal.[20]

Tafsir Agama Bias Gender Perpsektif Hermeneutik  
Dalam kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita Islam, tidak ada jalan lain kecuali dilakukan pemaknaan ulang atas tafsir-tafsir keagamaan sehingga Islam dapat tetap memberikan apresiasinya terhadap dinamika sosial yang terus berkembang, tanpa harus terjebak pada praktek-praktek relasi yang rendah dan tak bermoral.[21]
Hal pertama yang perlu menjadi perhatian dalam konteks ini adalah bahwa tafsir adalah cara seorang penafsir berusaha mengungkapkan makna-makna teks yang menjadi acuan atau sumber legitimasi. Tegasnya, tafsir adalah produk pemikiran. Karena sifatnya yang demikian, seringkali terjadi pengungkapan makna atas satu teks oleh seorang mufassir berbeda dengan makna yang ditemukan mufassir yang lain. Hal in terjadi karena beberapa hal, antara lain; perbedaan perspektif, kecenderungan, kecerdasan intelektual, sumber informasi dan sebagainya.[22]
Kedua, adalah keniscayaan bahwa latar belakang sejarah sosial (termasuk politik, ekonomi dan budaya) para ahli tafsir memberikan pengaruh yang signifikan bagi pikran-pikrannya. Dengan kata lain, pandangan-pandangan mereka merupakan refleksi atau konteks sejarah sosial mereka. Faruq Abu Zayd menyatakan kesimpulannya dengan tanpa ragu-ragu bahwa produk pemikiran para mujtahid adalah refleksi sosio-kultural di mana mereka hidup.[23] Kesimpulan yang dapat ditarik dari pernyataan ini adalah bahwa produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus selamanya diperintahkan dalam segala ruang dan waktu sosial, karena sejarah selalu memperlihatkan dialektika perubahan yang terus menerus. Jika kaum muslimin mengklaim bahwa Islam adalah “salih li kulli zaman wa makan” (selalu sesuai dengan setiap zaman dan tempat), pikiran-pikran keagamaan klasik tersebut harus diberi makna-makna baru yang relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.[24]
Berkaitan dengan ayat 34 surat al-Nisa dan keberadaan tubuhnya yang menjadi sumber fitnah sebagaimana sudah dikemukakan, tampak jelas bahwa ia lahir dari konteks sosio-kultural Arab beberapa abad yang lalu, perempuan tidak mendapatkan tempat yang terhormat di hadapan laki-laki. Ini adalah realitas umum yang terjadi ketika itu. Akan tetapi pada sisi yang lain, ayat ini melalui kacamata pemahaman kritis  sesungguhnya tengah menggugat struktur sosial tersebut untuk diarahkan pada konstruksi sosial-budaya yang lebih menghormati perempuan melalui cara–cara yang elegan dan tanpa revolusi. Memperlakukan perempuan secara baik dan adil  serta mengormatinya merupakan pesan agama yang selalu ditekankan dan harus tetap diperjuangkan terus-menerus. Ini misalnya dapat dibaca pada teks al-Qur’an yang lain, misalnya tentan keharusan “mu’asyarah bi al-ma’ruf”, (mempergauli dengan baik) dan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahun”, maupun dari hadis-hadis nabi saw. Beberapa di antaranya adalah “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik memperlakukan istrinya” dan “tidaklah termasuk orang yang baik-baik, mereka yang memukul istrinya”. Teks keagamaan ini sangat jelas memperlihatkan kehendak untuk merealisasikan nilai-nilai moral universal. Oleh karena itu, penafsiran ayat-ayat partikular perlu menyesuaikan diri dengan kehendak lain. Sebab nilai-nilai moral universal adalah inti dari agama di mana ia akan selalu hidup di mana-mana dan kapan saja.[25]
Ketiga, kecenderungan umum dalam pemaknaan teks adalah pemaknaan literal dan mengabaikan pemaknaan substansial. Satu lafaz (teks) dimaknai menurut makna lahiriyahnya, padahal di dalam makna lahiriyah tersebut tersembunyi pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama paling tidak adalah keadilan (kebaikan sosial).[26] Ia juga merupakan nilai-nilai moral universal. Pesan-pesan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama ketika memaknai kembali teks-teks tersebut untuk konteks-konteks yang lain dan bukan sepenuhnya berhenti pada makna literalnya. Dalam masalah pemukulan suami terhadap istri yang secara lahiriyah disebutkan oleh teks misalnya, pastilah mengandung makna substansialnya. Pemukulan dalam konteks ayat di atas adalah satu bentuk dan cara memberikan pendidikan terhadap istri yang “nusyuz” (tidak taat) yang dalam konteks sosial waktu itu dibenarkan, karena suami diposisikan sebagai “qawwam” atas istri. Cara tersebut dimaksudkan guna menyelesaikan ketidakharmonisan antara mereka. Karena ia merupakan cara dan dalam konteks tertentu, cara tersebut bukanlah satu-satunya dan dapat saja berubah dalam konteks yang lain. Dalam masyarakat di mana kesetaraan, keadilan dan penghargaan  terhadap hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi, pendidikan dalam rangka menyelesaikan suatu persoalan, dilakukan melalui cara–cara yang demokratis dan menghargai martabat manusia. Ini adalah pesan-pesan yang tersembunyi di balik makna lahiriyah lafaz atau teks dan hal ini merupakan hakikat (substansi) pandangan Islam. Untuk memahami lebih kritis atas persoalan ini, studi atau analisis tentang sejarah sosial, politik dan ekonomi di mana ayat-ayat tersebut muncul menjadi mutlak  diperlukan. Ilmu-ilmu al-Qur’an masih menyisakan teori–teori ini melalui apa yang dikenal dengan istilah “asbab al-nuzul”, dan lebih dari itu adalah apa yang diistilahkan al-Syatibi dengan “muqtadayat al-ahwal” (konteks sosial) dan “al-‘adat” (tradisi-tradisi Arab).[27]
Pernyataan di atas menjelaskan mengenai pilihan-pilihan sumber informasi ilmiah untuk melegitimasi suatu persoalan, seperti hadis dan riwayat-riwayat. Sebagai sumber ilmiah otoritif kedua, hadis memiliki posisi sangat penting dalam menafsirkan bahkan sering kali menentukan. Karena itu, pilihan-pilihan atasnya harus dilakukan secara cermat. Ia bukan saja harus dilihat dari sisi validitas transmisinya, melainkan juga dibaca dalam konteksnya, baik secara linguistik maupun sosiologis. Pada sisi yang lain ia juga perlu dianalisis secara rasional dan faktual. Mengenai hal ini adalah menarik pernyataan Ibnu al-Jauzi seperti dikutip Jalal al-Din al-Suyuti dalam kitabnya “Tadrib al-Rawi” mengatakan bahwa “Jika anda melihat hadis bertentangan dengan akal sehat atau berlawanan dengan teks agama yang lain, atau tidak terdapat dalam sumber–sumber referensi yang terpercaya, ketahuilah bahwa ia informasi palsu”.[28] Dalam banyak tafsir tentang relasi laki-laki perempuan terdapat tidak sedikit hadis dalam kategori lemah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi transmisinya maupun dari sisi pandangan rasionalitas.[29]
Berpangkal tolak dari beberpa uraian di atas meski serba singkat, agaknya menjadi penting untuk mendapat perhatian pada saat kita berusaha memaknai kembali teks-teks keagamaan agar tetap relevan dengan tuntutan-tuntutan kontemporer. Upaya ini dilakukan semata-mata dalam rangka menghidupkan kembali pemikiran keagamaan untuk sebuah tatanan sosial dan memberikan rahmat bagi semua orang, termasuk dalam membangun keadilan dan kesetaraan gender dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia.[30]

Analisis dan Argumentasi Historis Epistemologis dan Hermeneutik atas Beberapa Kasus Bias Gender di Indonesia
Studi tentang relasi gender termasuk di Indonesia telah mengagendakan keadilan dan kesetaraan gender. Agenda ini berkait dengan kuatnya sikap keagamaan yang dijadikan pembenaran berbagai bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap kaum hawa. Pemahaman dan penafsiran yang bias gender ini merupakan gambaran dominasi pemikir patriarki untuk menyatakan konstruksi realitas di masyarakat. Alih-alih mengupayakan penyikapan keagamaan yang pro-gender, produksi dan reproduksi sikap keagamaan bias gender telah menjadi realitas kebenaran yang dipercaya kesahihannya hampir oleh hampir seluruh manusia beragama.
Rejim di atas bahkan tidak memperdulikan implikasinya terhadap kondisi-kondisi perempuan dan keluarga yang sarat ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Kuasa ini telah menjadi otoritas pemegang tafsir dan sikap gender yang tidak boleh ditentang. Perlawanan terhadapnya adalah menentang kebenaran agama sekaligus sebagai tindakan subversi terhadap pihak-pihak yang paling otoritatif dalam keagamaan[31].
Di sisi lain selama ini terdapat kecenderungan untuk mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Pencampuradukan juga ditemukan pada kosakata seks, gender, dan seksualitas. Kesamaannya bahwa ketiganya membicarakan tentang “jenis kelamin,” sedangkan perbedaannya adalah pada titik tekan masing-masing istilah tersebut. Perbedaan (distinction) dan bukan pembedaan (discrimination) laki-laki dan perempuan diletakkan dalam konteks yang memberdayakan potensi masing-masing gender agar berfungsi semestinya.
Perlawanan atau pengajuan alternatif untuk pemahaman keagamaan, misalnya Qasim Amin, Riffat Hasan, dan sebagainya. Qasim Amin menegaskan bahwa praktik penindasan terhadap perempuan bukanlah lantaran Alquran ataupun Hadisnya, tetapi karena posisi dan eksistensi perempuan dianggap berbahaya dan mengancam agregat kepentingan politik kaum laki-laki[32]. Kontroversi Qasim Amin bukan hanya berhasil meruntuhkan pelbagai klaim dogmatis yang selama ini dijustifikasi sebagai kodrat perempuan, melainkan juga berhasil mengukuhkannya dengan berbagai data historis dan komparatif (dengan pengalaman bangsa Barat), dengan kesimpulan bahwa penindasan perempuan bertentangan dengan ajaran dan semangat Islam. Qasim Amin menjadi ikon, yang memperjuangkan terciptanya peradaban baru Islam yang berbingkai keadilan, kesetaraan, dan kemuliaan perempuan dan laki-laki sekaligus.
Sedangkan Riffat Hasan berangkat dari doktrin terhadap keesaan dan keadilan Tuhan, yaitu “keyakinan yang benar-benar monoteistik seperti Islam tidak mengijinkan manusia menyembah siapa pun selain Tuhan. Oleh karena itu kepatuhan perempuan tehadap suaminya secara berlebihan merupakan sesuatu yang ipso facto (mustahil)[33]. Eksistensi manusia di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan kepada-Nya. Konsep “tauhid” dan semangat egalitarianisme serta humanisme yang ada di dalamnya, melandasi bangunan teologi tentang perempuan. Riffat Hasan mengagendakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari kesalahan penafsiran terhadap Alquran dan taqlid buta terhadap pendapat dan pandangan yang terkristal dalam tradisi Islam. Lebih jauh, kealpaan terhadap kritik matan sebagai salah satu cara memahami kesahihan hadis mengakibatkan ketertindasan perempuan dalam berbagai bentuknya.
Berpangkal tolak dari pandangan bahwa secara doktrin-normatif, ajaran  Islam yang termuat dalam teks suci adalah adil dan setara gender. Namun ketika sudah berada pada wilayah pemahaman, yaitu sebagai hasil interaksi antara umat beragama dengan teks, kerap kali ajaran teks suci itu banyak terdistorsi. Distorsi tersebut terutama disebabkan pola pikir patriarkis yang telah mengakar kuat di dalam masyarakat.[34] Betapa antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi, sering terjadi benturan-benturan dan ketegangan. Untuk menegakkan keadilan dan setara gender, dibutuhkan penafsiran agama yang sensitif gender.
Di samping itu, juga dipergunakan dasar pijak bahwa dalam relasi keluarga dan perkawinan, sesungguhnya lebih banyak mengarah kepada kerjasama dan saling mengisi di antara suami, istri, dan anggota keluarga yang lain. Pandangan ini berbeda dengan pernyataan yang cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang selalu dirugikan dalam lembaga perkawinan dan keluarga. Anggapan seperti ini  muncul karena kesalahan dalam menafsirkan teks agama. Oleh karena itu, di samping pemahaman terhadap teks, juga dibutuhkan pembacaan terhadap konteks ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.[35] 
Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa untuk menganalisis persoalan bias gender ini hendaklah digunakan argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutik, yaitu untuk melihat bagaimana agama berbicara tentang perempuan. Argumentasi sejarah dipakai untuk mengungkapkan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat,  terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam agama yang memiliki kecenderungan (sikap) patriarkhis. Sedangkan argumentasi hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apa yang disebut sebagai epistemologi egalitarianisme (cara berfikir dengan mengedepankan kesetaraan) di dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut ini. 



Sebagai wacana Tuhan, Kitab Suci (Alquran) tidak bisa ditiru, diubah, dipalsukan, dan digugat. Namun, keadaan itu tidak berlaku bagi pemahaman manusia tentangnya. Itulah sebabnya mengapa ideologi agama membedakan antara "wahyu Tuhan dan perwujudan duniawinya." Gambar di atas memperlihatkan alur pemahaman tentang hubungan tersebut. Pembacaan tersebut muncul dari doktrin ketidakterciptaanya wahyu Tuhan, tidak saja mengakui keterbatasan pemahaman manusia, tetapi juga menegaskan karakteristik imperatif dari tulisan yang disucikan. Dengan demikian, pembedaan itu memunculkan kemungkinan bahwa penafsiran firman Tuhan berarti menyesuaikan pesan (Tuhan) dalam berbagai tingkatan. Teks-teks Tuhan memang bersifat kekal, tetapi kreativitas penafsiran manusia tidak ada batasnya. Proses penafsiran itulah yang sifatnya tidak akurat dan tidak lengkap, yang membuka ruang untuk dikritik dan historisitas, bukan wahyu teks itu sendiri.[36]
Gambaran mengenai “konstruksi” bias gender juga dapat dibaca secara visual sebagai terekam dalam ragaan berikut:[37]


Berpangkal tolak dari konstruksi di atas, jelas bahwa konsep mengenai bias gender diartikan dalam cakupan pengertian ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya oleh laki-laki, tetapi oleh sebuah budaya yang di dalamnya turut dibangun oleh perempuan sendiri. Dalam berbagai studi gender, paling sedikit ditemukan ada empat sumber utama yang menyumbang berlangsungnya bias gender; penafsiran atas teks agama, budaya patriarkhi, pendidikan dan negara.[38] Hampir sebagian besar dari berbagai hasil penelitian gender menunjukkan bahwa sebenarnya sumber pertama dari berlangsungnya ketidakadilan gender adalah budaya  patriarkhi: sebuah ideologi dan sistem sosial dan budaya, laki-laki dianggap superior di hadapan perempuan, dominan dan mengendalikan hampir semua sumber-sumber penghasilan dan institusi sosial.[39] 
Dengan berbagai kualitas dan menifestasinya, budaya patriarkhi menempatkan lelaki sebagai yang menentukan dan mendominasi, perempuan selalu ditentukan dan tersubordinasi. Dikotomi perempuan untuk urusan yang berkaitan tiga “-ur”: dapur-sumur-kasur, dan lelaki sebagai makhluk pengemban tugas luar, sebagai pencari nafkah, telah menempatkan perempuan sebagai manusia kelas kedua dan inferior.[40] Di samping itu, juga interpretasi atas teks agama, cara kelola pendidikan, dan kebijakan pemerintah pada beberapa masyarakat atau negara yang menganut sistem sosio-budaya patriarkhi sering bias gender.[41]

a.Kisah penurunan manusia ke dunia
Tiga agama langit di dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam, misalnya memaknai secara relatif sama terhadap ajaran mengenai turunnya manusia pertama kali ke dunia. Kejatuhan Adam dan Hawa disebabkan oleh karena pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan Tuhan untuk tidak memetik buah khuldi (pohon kekekalan) karena permintaan Hawa. Hawa yang sudah terkena bujukan setan terus-menerus merayu Adam agar memetik buah khuldi. Semula Adam tetap bertahan, namun karena bujuk rayu istrinya, akhirnya Adam melanggar larangan Tuhan dan kemudian memetik buah khuldi. Pelanggaran ini menyebabkan keduanya terusir dari surga, terlempar ke bumi, menuju kehidupan yang penuh dengan penderitaan.[42]
Kisah penurunan manusia pertama kali ke dunia di atas merupakan salah satu contoh dari tafsiran atas teks agama, dan penafsiran atas teks agama itu secara relatif dipengaruhi oleh kosmopolit berpikir dan berbudaya masyarakat penafsirnya. Hawa, dalam tafsir ini, dijadikan sebagai makhluk penyebab terjerembabnya manusia ke bumi. Di sinilah dalam pandangan feminis, bukti utama penafsiran atas teks agama yang didasarkan pada pandangan budaya patriarkhi.[43]

b.Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan juga turut mengawetkan atau memanifestasikan kultur hubungan laki-perempuan yang bias gender. Amatilah teks-teks pembelajaran di sekolah dasar:
Ibu memasak di dapur, Ani membantu ibu mencuci piring, Wati ikut ibu ke pasar, Ayah mencangkul di sawah, Amir membantu ayah di kebun, Budi ikut ayah memancing, Budi bermain laying-layang, dan ayah membaca Koran di teras rumah, sedangkan ibu menjahit baju adik.[44]
Teks-teks pembelajaran di atas jelas-jelas telah memberikan ajaran mengenai pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki dan perempuan. Ibu, Ani dan Wati, sebagai wakil perempuan secara kultur telah dikonstruksi untuk bekerja di sektor domestik: di dapur, memasak, mencuci piring. Sementara itu, Ayah, Amir dan Budi, sebagi perwakilan dari laki-laki dikonstruksikan untuk bekerja di ruang publik, seperti: di kebun dan di sawah. Di rumah, laki-laki dan perempuan pun melakukan pemisahan pilihan sarana dan alat bermain anak-anak yang bias gender: laki-laki main bola dan layang-layang, perempuan main masak-masak, main boneka. Anak laki-laki tak boleh main boneka sedangkan anak perempuan tak boleh main layang-layang. Ini bias gender, dan sumbernya adalah sistem budaya patriarkhi.[45]

c.Kebijakan/legislasi negara/pemerintah
Kebijakan pemerintah mengenai dibentuknya organisasi perempuan seperti IWAPI, PKK, Dharma Wanita, dan Darma Pertiwi, dirasakan bias gender. Betapa tidak, dalam organisasi seperti ini, para perempuan hanya dalam posisi disematkan, (embedded) bagian dari dominasi laki-laki, dengan menjadikan wanita sebagai pendamping suami, merawat anak, dan mencari nafkah. Lagi-lagi perempuan ditempatkan posisi domestik, tersematkan, dan tersubordinasi.[46]
UU Nomor 1 tahun 1974 mengenai perwalian pun bias gender. Pasal-pasal mengenai poligami dan kedudukan suami-isteri dalam rumah tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi tawar yang lemah bahkan menjadi objek penderita. Pasal 506 KUHP yang berkaitan dengan pelacuran menunjukkan adanya ketidakadilan gender, dengan menempatkan perempuan sebagai objek pelacuran, padahal pelacuran itu terjadi karena lelaki “hidung belang” juga melacurkan dirinya; dan dalam realitas lelaki pun ada pelacur alias gigolo.[47]
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa kekerasan simbolik dan struktural negara terhadap kaum perempuan masih tetap saja berlangsung. Sumbernya adalah dominasi laki-laki di tingkat rumah tangga hingga negara. Oleh karena itu, jangan-jangan quota 30% bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD serta Komisi Pemilihan Umum itu juga bias gender? Artinya, filosofi 30% itu pencampur bauran antara perjuangan perempuan dan pembagian negara yang dikuasai oleh laki-laki sebagai “proses pengambilan kembali” atas satu rusuk kirinya yang hilang itu. Kalau begitu, tetap saja perempuan tersubordinasi. Oleh karena itu, budaya patriarkhi pun tetap berlangsung dan perempuan tetap menjadi pelengkap dari 70% kekuasaan laki-laki.[48]
Bukti-bukti yang dikemukakan di atas memberi gambaran mengenai pemarginalan, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang dikukuhkan oleh penafsiran terhadap teks agama, lembaga keluarga, sistem kelola teks pembelajaran di lembaga pendidikan, dan kebijakan pemerintah atau negara[49] merupakan tiga faktor penentu berlangsungnya hubungan laki-laki perempuan (di Indonesia) yang bias gender. Semuanya itu berasal darti budaya patriarkhi yang memposisikan lelaki sebagai yang superior dan perempuan sebagai yang inferior.[50]
Didahulukannya anak laki-laki dari anak perempuan dalam melanjutkan  sekolah, proses pembagian harta kepada lelaki lebih banyak, dan mendahulukan anak lelaki untuk mendapatkan pekerjaan, merupakan fakta dalam hubungan keluarga yang bias gender.[51]

d.Fenomena bias gender dalam Perda Syariah di Indonesia
Selain beberapa contoh kasus di atas, sejak otonomi daerah digulirkan sampai akhir 2006 di Indonesia tercatat 56 produk kebijakan peraturan daerah dalam berbagai bentuk: Peraturan Daerah (Perda), qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah ini secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syari’at Islam.[52]
Sebagian perda tersebut secara stuktural dan spesifik mengatur kaum perempuan. Sayangnya, pengaturan terhadap perempuan bukan dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai pengucilan dan pembatasan. Perda-Perda tersebut meneguhkan subordinasi perempuan; membatasi hak kebebasan perempuan; membatasi ruang gerak dan mobilitas perempuan; serta membatasi waktu beraktivitas perempuan pada malam hari. Secara eksplisit perda-perda itu mengekang hak dan kebebasan asasi manusia perempuan; menempatkan perempuan hanya sebagai obyek hukum dan bahkan lebih rendah lagi sebagai obyek seksual. Perda-perda yang mengandung pembatasan terhadap kedaulatan perempuan dan juga berpotensi melahirkan prilaku kekerasan terhadap perempuan[53] harus digugat dan direvisi karena menyalahi prinsip-prinsip dasar negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.[54]
Produk kebijakan (perda-perda ) tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik. Bahkan, lebih parah lagi Perda-perda tersebut menyimpang dari esensi ajaran Islam yang menempatkan manusia, perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai makhluk terhormat dan bermartabat, serta memiliki hak dan kebebasan dasar yang harus dihormati. Pembatasan dan pengekangan terhadap perempuan berarti menegasikan keutuhan kemanusiaan perempuan dan Tuhan pasti tersinggung melihat perempuan, makhluk ciptaan-Nya dimarjinalkan.[55]
Sebuah pertanyaan kritis muncul dalam kaitan dengan berbagai peraturan dan kebijakan di Indonesia, termasuk dalam hukum positif Islam di Indonesia sebagaimana diungkap di atas adalah mengapa perempuan di satu sisi menjadi kelompok yang diperebutkan tetapi di sisi lain mereka termarjinalkan? Dalam berbagai diskursus, perempuan selalu menjadi isu yang diperebutkan (contested). Lihat saja misalnya dalam diskursus sekularisme dan revivalisme. Sekularisme hadir dengan mengusung ide pokok, yakni melepaskan diri dari ajaran agama, dan salah satu ajaran agama yang dimaksudkan itu adalah ajaran yang memandang perempuan sebagai makhluk setengah laki-laki sehingga hak waris perempuan hanya setengah hak laki-laki; jumlah kambing untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai setara dengan persaksian satu laki-laki dan seterusnya. Dengan melepaskan diri dari ajaran agama, sekularisme menawarkan hak yang sama bagi semua orang, hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan atau dikenal dengan istilah emansipasi perempuan.[56]
Sebaliknya, revivalisme yang lahir sebagai respons terhadap sekularisme  mengajak kembali kepada ajaran agama. Akan tetapi, dalam konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali kepada ajaran agama adalah kembali merumahkan perempuan; kembali ke ajaran domestifikasi perempuan; kembali meneguhkan subordinasi perempuan.[57]
Ada apa dengan perempuan dan mengapa diperebutkan? Para pemerhati perempuan menyimpulkan bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena tubuhnya merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan, simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Perempuan menjadi rebutan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi kalangan revivalis. Sebab, menaklukan perempuan dapat dimaknai sebagai menguasai kehidupan, mengontrol kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama.[58]
Pemaknaan terakhir yakni pemurnian ajaran agama menjadi alasan utama kelompok revivalisme Islam membatasi kebebasan dasar perempuan dan memasung hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok revivalis selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis, yakni ajaran Islam yang bertumpu semata-mata pada teks dan mengabaikan konteks historisnya; kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias gender. Tentu saja, gagasan demikian sangat berseberangan dengan visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi keniscayaan pluralitas (kemajemukan) serta mengakomodasikan perubahan dan pembaharuan demi kesejahteraan, keadilan dan seterusnya.[59]

Posisi Perempuan dalam Hukum di Indonesia
Menarik dicatat di sini bahwa peneguhan subordinasi perempuan selalu terjadi dalam bidang hukum. Perempuan dan hukum memang selalu tidak bersahabat seperti terlihat dalam sejumlah perda syari’at di atas. Sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia[60] menyimpulkan betapa marginalnya posisi perempuan. Indikasi ini membuktikan secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamya faktor hukum yang kerap kali mendapatkan pembenaran agama.[61]
Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum[62] dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukum (structure of law).[63]

a.Struktur hukum
Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagi salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.[64]

b. Keterbatasan dalam bidang materi hukum
Problem ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum tersebut kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana yang terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang meminggirkan perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya dan kebebasan beragama masyarakat antara lain sebagai tersebut dalam uraian berikut ini.[65]
 Surat Edaran Bupati Pamekasan, Jawa Timur Nomor 450 Tahun 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Surat Edaran Bupati Maros, Sulsel tertanggal 21 Oktober 2002 tentang kewajiban berjilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Sinjai yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPRD, masyarakat, dan Pemda Sinjai mewajibkan jilbab bagi karyawan pemerintah; Perda Gowa, Sulsel yang dibuat berdasarkan adat dan kesepakatan masyarakat tentang wajibnya jilbab bagi karyawan pemerintah. Peraturan serupa ditemukan juga di daerah Cianjur, Indramayu, Pasaman Barat. Di daerah yang disebutkan terakhir mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung dan jilbab. Perda serupa ditemukan pula dalam bentuk surat edaran Bupati Tasikmalaya, No. 451/SE/04/Sos/2001; Perda Solok, Sumbar Tahun 2000; Instruksi Walikota Padang, Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret berisi perintah wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya untuk non-Islam.[66]
Selain membatasi kebebasan perempuan dalam berbusana, sejumlah Perda membatasi perempuan beraktivitas di ruang publik pada malam hari. Di antaranya, Perda Kabupaten Gowa No.7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24.00; dan Perda Tanggerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran yang salah satu pasalnya membenarkan penangkapan perempuan di tempat umum karena diduga melacur.[67]
Dijumpai pula sejumlah Perda yang sepintas isinya tidak mendiskreditkan perempuan, namun dalam implementasinya menjadikan perempuan sebagai sasaran utama, seperti Qonun Provinsi Aceh nomor 14 tahun 2002 tentang Larangan Berkhalwat; Perda Kota Bandar Lampung nomor 15 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila; Perda Kabupaten Lahat, nomor 3 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Pelacuran dan Tuna Susila; Perda Kota Mataram tentang pencegahan Maksiat, nomor 12 tahun 2003; Perda Kotamadya Kupang, nomor 39 tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran.[68]
Mengapa Perda-Perda tersebut menyasar perempuan dalam implementasinya di lapangan? Sebab, masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakkan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Pandangan ini menyalahi ajaran Islam yang menekankan kepada manusia laki-laki dan perempuan untuk sungguh-sungguh menjadi bermoral. Bukankah tujuan dari keberagaman seseorang itu adalah membangun moralitas yang dalam istilah Islam disebut akhlak karimah?[69]

c.Budaya hukum
Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek yang harus diatur, dikekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (Wanita Tuna Susila) bukan PTS (Pria Tuna Susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama-sama tuna susila, dan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.[70]
Realitas sosiologis di atas membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuanlah penyebab utamanya muncul perbuatan maksiat tersebut. Padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek prostitusi. Mereka itu adalah para calo, germo, petugas keamanan, pedagang makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan Pemerintah Daerah yang menarik retribusi atau pajak dari tempat-tempat lokalisasi prostitusi. Dan, jangan lupa tentunya para pengguna atau pelanggan yang notabene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan dari praktik prostitusi, bukan hanya melakukan razia terhadap perempuan yang terlibat prostitusi. Ini tidak adil dan tidak fair.[71]
Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan di atas dapat dipahami bahwa Perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi semangat keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila; menyalahi prinsip persamaan warga Negara di depan hukum seperti terpatri dalam UUD 1945 hasil amandemen ke- 4, dan sejumlah UU sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini. Patut juga dinyatakan disini bahwa Perda tersebut bertentangan dengan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, khususnya pasal 3 yang mewajibkan seluruh perundang-undangan harus mengacu kepada ketentuan dasar dalam konstitusi negara. Sementara itu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mensyaratkan agar materi Perda memenuhi 10 asas, di antaranya asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, asas kepastian hukum, kesamaan dalam hukum, dan asas keadilan.[72]
Perda-perda tersebut selalu menempatkan perempuan sebagai obyek, bukan subyek hukum. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas nama otonomi daerah. Kerinduan perempuan untuk menikmati kehidupan yang lebih adil dan sejahtera di masa Otoda ini menjadi pupus seiring bermuncullannya sejumlah Perda yang dibuat dengan alasan meningkatkan moralitas bangsa Indonesia.[73]

Menuju Regulasi dan Legislasi Ramah Perempuan
Perlu pula ditegaskan di sini, bahwa di samping perda-perda yang bermasalah bagi perempuan, ditemukan pula sejumlah Perda yang memihak kepentingan perempuan. Di antaranya, Perda yang disahkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Perlindungan bagi Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Isi Perda antara lain mewajibkan pemerintah daerah melakukan upaya-upaya preventif bagi timbulnya prilaku kekerasan dan menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan. Perda lain yang senada adalah Peraturan Desa Sido Urip, Kecamatan Kota Argamakmur, Bengkulu Utara, Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan. Perda lainnya adalah Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa. Perda ini menyatakan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan terhadap buruh migran di daerahnya dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan serta menolak semua bentuk komoditisasi terhadap tenaga kerja yang mayoritas perempuan.[74]
Menyimak Perda-perda yang isinya memiliki empati kemanusiaan terhadap perempuan secara khusus dan masyarakat secara umum, sudah sepatutnya pemerintah daerah yang menggagas dan menghasilkan kebijakan tersebut mendapatkan apresiasi, bahkan kalau perlu mendapatkan kehormatan sebagai pemerintahan daerah yang berhasil melaksanakan Otoda dengan sukses. Dari perspektif ajaran Islam, justru Perda-perda semacam inilah yang pantas disebut Perda Syari’at Islam karena isinya sangat mengedepankan pembelaan terhadap kelompok rentan dan tertindas yang dalam istilah Islam disebut kelompok mustad’afin. Oleh karena itu, tingkat moralitas dan keimanan seorang Islam, laki-laki dan perempuan justru harus diukur dari seberapa besar ia memiliki empati kemanusiaan dan keberpihakkan terhadap kelompok mustad’afin tersebut. Bukan diukur dari panjang jilbabnya, panjang jenggotnya, atau banyaknya ritual yang dipersembahkan.[75]
Di masa depan pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pujian dari masyarakatnya sebagai pemerintah yang menegakkan syariat Islam jangan lagi melahirkan Perda-perda yang tidak relevan bagi upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan warga, seperti Perda tentang kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan berkhalwat, dan sejenisnya. Sebaliknya, Pemda hendaknya lebih kreatif dan inovatif melahirkan Perda-perda Syari’at Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong terciptanya keadilan dan kesejahteraan warga, seperti Perda tentang perlindungan anak-anak dari semua bentuk ekspoitasi dan penelantaran, Perda tentang perlindungan kelompok rentan seperti lansia, penyandang cacat, pengungsi, buruh kasar, dan pekerja migran.[76]
Juga tidak kalah pentingnya merumuskan Perda-perda yang akan membantu peningkatan pendapatan daerah, mengeliminasi pengangguran dan kemiskinan, seperti Perda perlindungan investor, Perda untuk eksplorasi laut secara aman, dan Perda pengembangan agro bisnis dan industri kecil. Perda semacam itulah yang dibutuhkan masyarakat di daerah menuju terwujudnya masyarakat madani yang ditandai dengan keadilan dan kesejahteraan.[77]

Pembalikan Budaya ( Cultural Turn) Sebagai Strategi
Untuk membangun kebijakan yang ramah gender di Indonesia, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin tidak lagi dilihat sebagai permasalahan di dalam keluarga, sekolah dan negara, tetapi sebagai sebuah permasalahan struktural dan kultural dalam masyarakat secara keseluruhan.  Jadi, agar dapat dicapai kesetaraan gender diperlukan pembagian kerja, akses, dan mobilitas, tidak lagi dikait-kaitkan dengan jenis kelamin, tetapi berdasarkan kualifikasi dan kemampuan.[78]
Oleh karena persoalan ketidakadilan gender dilatarbelakangi oleh budaya patriarkhi dan dikukuhkan melalui lembaga-lembaga di masyarakat dan negara, perjuangan kesetaraan gender kini dan masa datang dibutuhkan dua strategi yang perlu didorong secara simultan. Pertama; Merombak tatanan kebudayaan yang patriarkhis melalui proses pembalikan budaya (cultural turn) menjadi budaya egaliter, dan kedua; menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotip gender, tanpa pembedaan atas laki-laki dan perempuan dalam kesempatan mobilitas.[79] Kedua strategi ini perlu terus-menerus  diintroduksi ke dalam lembaga-lembaga pendidikan dan diperjuangkan secara politik dan budaya dalam proses pengambilan kebijakan penting di tingkat negara yang berhubungan dengan perempuan; tidak sekedar 30% keterwakilan perempuan di dewan yang boleh jadi bias gender.[80]
Kembali ke persoalan merumuskan legislasi di Indonesia, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang dihadapi kaum perempuan. Pertama, masih rendahnya pengetahuan keadaan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan. Kedua, masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriartkhi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikian aspek konstektualnya, serta pengamalan agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada subtansinya. Ketiga, masih rendahnya tingkat partisipasi kaum perempuan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.[81]
            Khusus persoalan masih banyaknya penafsiran dan pemahaman keagamaan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriartkhi yang dianut masyarakat sebagai akibat dari pemahaman teks-teks suci yang sangat harfiah dan mengabaikian aspek konstektualnya, serta pengamalan agama yang menekankan pada tataran formalitas belaka, bukan pada subtansinya Secara umum sejumlah ulama telah menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan tersebut dengan penafsiran yang bias gender dan bias nilai-nilai patrilkhal. Hal itu karena mereka berpijak pada teks harfiahnya yang sepintas memang tampak mendukung penafsiran demikian. Ditambah lagi pengaruh latar belakang sosio-historis dan sosio-politis para penafsir yang umumnya didominasi budaya patriarkhi. Pada masyarakat dimana unsur budaya patriarkhi sangat dominant, penafsiran seperti itu bukan hal yang janggal dan karenanya tidak dipersoalkan. Akan tetapi, pada masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi atau sedang mengalami proses demokratisasi dengan upaya-upaya penegakkan hak-hak asasi manusia, penafsiran tersebut dirasakan sangat tidak kondusif lagi. Karena itu, diperlukan reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat.[82]
            Ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Quran maupun dari hadis Nabi Saw jika dikaji secara mendalam semua memberikan penekanan kepada upaya peningkatan derajat, harkat, dan martabat perempuan. Secara historis hal itu dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat Arab pada waktu Islam lahir. Tradisi Arab ketika itu memandang perempuan tak ubahnya sebagai komoditas, posisinya sama dengan harta kekayaan, perempuan tidak punya hak sama sekali, termasuk pada tubuh mereka sendiri. Perempuan tidak dihargai sedikitpun. Perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Perlu dicatat bahwa pada masa itu posisi kaum perempuan yang demikian hinanya dalam masyarakat Arab, ternyata tidak lebih buruk kondisinya daripada perempuan di Eropa. Malahan, pada masa itu para pemimpin gereja di Eropa masih mempertanyakan apakah perempuan itu punya ruh atau tidak.[83]
            Fakta sejarah menunjukkan Islam memberikan koreksi total terhadap tradisi masyarakat Arab, terutama tradisi berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Islam melakukan transpormasi sosial dari sistem masyarakat yang tidak menghargai perempuan kepada sistem yang amat menjunjung harkat dan martabat perempuan; dari tradisi masyarakat yang mengesahkan adanya hegemoni bagi kaum laki-laki kepada tradisi yang menyamakan kedudukan perempuan dan laki-laki.[84]
            Kesamaan antara perempuan dan laki-laki itu, terutama dapat dilihat dari tiga dimensi. Pertama, dari segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai manusia, Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-hak lain yang berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran Islam, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal shaleh yang diperbuatnya. Sebaliknya kedunyapun akan mendapatkan siksaan atas dosa yang diperbuat. Tidak satupun amalan dalam Islam yang memberikan keistimewaan kepada salah satunya. Ketiga, dari segi hak-hak dalam keluarga, Islam memberikan hak mendapatkan nafaqah hak waris kepada perempuan meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang diberikan kepada laki-laki. Selain waris, perempuan dinyatakan bisa menjadi saksi, menerima mahar dan diakikahkan ketika lahir. Sebelumnya hak-hak tersebut tidak dikenal dalam tradisi Arab. Islam juga memberikan hak kepada perempuan untuk mengajukan tuntutan cerai bilamana ia menghendaki demikian. Hak inipun sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi Arab pada masa itu. Bahkan, poligami yang sebelumnya sudah menjadi tradisi yang kuat, ternyata oleh Islam hanya boleh dilakukan kalau pihak istri merasa dirinya diperlakukan adil.[85]
            Fakta historis sejarah Islam secara jelas memaparkan realitas kehidupan perempuan di masa Nabi. Di masa itu perempuan diizinkan berkiprah dan beraktivitas tanpa batas di sektor publik, seperti Khadijah bin Khuwailid (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar. Keduanya dikenal sebagai perempuan pengusaha yang sukses. Umm Salim binti Malhan bekerja sebagai penata rias. Zainab binti Jahsyi (istri Nabi) bekerja sebagai penyamak kulit dan hasilnya disedekahkan kepada faqir miskin. Asy-Syifa’ adalah perempuan pertama yang diserahin tugas oleh khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai manajer yang mengelola pasar Madinah. Bahkan, ada seorang perempuan bernama Raitah (istri sahabat Nabi) bekerja demi menghidupi suami dan anaknya. Perempuan-perempuan lainnya seperti Umm Salamah (istri Nabi), Syafiyyah, Laila al-Gaffariyah, dan Umm Sinam tercatat sebagai aktivis dan relawan kemanusiaan di medan perang menolong prajurit yang cedera dalam peperangan. Partisipasi aktif kaum perempuan dalam perempuan justru banyak diungkapkan dalam kitab-kitab hadits klasik, seperti kitab Sahih Bukhari.[86]
            Tidak ada data yang menjelaskan bahwa Rasul melarang perempuan berkiprah di ruang publik, melarang perempuan keluar di malam hari. Kalaupun ada anjuran perempuan keluar bersama muhrimnya dalam berbagai teks hadits, hendaknya itu dipahami dalam konteks perlindungan dan ketidak amanan dan ketidak selamatan yang sipatnya sangat kondisional. Di masa sekarang dimana unsur keamanan dan keselamatan sudah demikian terjamin sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi, maka perlindungan muhrim tidak signifikan lagi.[87]
            Akan tetapi, ajaran Islam yang demikian ideal dan luhur itu dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah kekuasaan Islam meluas ke berbagai wilayah yang penduduknya masih kental menganut budaya patriarkhi, mengalami perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif, dan nilai-nilai demokrasi serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi dipraktikkan sebagaimana mestinya.[88]
            Akibatnya, kaum perempuan di berbagai wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyah. Perempuan kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas tradisional mereka selaku perempuan. Mereka hanya boleh keluar jika ada izin suami atau kerabat lelakinya, itupun untuk keperluan darurat. Perempuan sudah tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, mereka tidak bisa lagi memilih model busana (walaupun tetap sopan, tidak merangsang), melainkan harus mengenakan hijab, semacam pakaian yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Tentu saja kondisi demikian tidak kondusif bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas di masyarakat secara leluasa sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. [89] Kondisi seperti inilah yang masih berlangsung sampai sekarang termasuk di kalangan umat Islam Indonesia.[90]

Penutup
            Sebagai catatan akhir tulisan ini dapat dikemukakan bahwa sebagai solusi, ditawarkan pemikiran atau rekomendasi untuk menuju hukum Islam yang ramah gender di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.Perlu sekali melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan, baik di level formal maupun non formal, terutama pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang dapat mengubah budaya patriarkhi menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan, dan kemajemukkan; mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi. Upaya ini diharapkan dapat membantu lahirnya iklim demokrasi yang memungkinkan partisipasi perempuan secara luas dalam berbagai perumusan kebijakan publik.
2.Melakukan upaya-upaya sistematis, merevisi semua perundang-undangan, khususnya Perda yang diskriminatif dan tidak ramah terhadap perempuan melalui Judicial Review kepada mahkamah agung dan Executive Review kepada Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya mengusulkan Perda-perda yang memihak perempuan, seperti Perda Provinsi Jawa Timur nomor 9 tahun 2005 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan. Sejatinya, Perda semacam inilah yang sangat pantas disebut Perda syari’at Islam mengingat Islam adalah agama yang paling gigih menyuarakan pemihakan dan perlindungan kepada semua kelompok tertindas yang dalam al-Quran disebut kelompok mustadl’afin. Perda seperti inilah yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
3.Menggalakkan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama dalam rangka mengeliminasi secara gradual semua pemahaman keagamaan yang tidak kondusif bagi kehidupan demokrasi dan bangunan masyarakat madani, seperti kewajiban berjilbab, larangan keluar malam, larangan bepergian tanpa muhrim dan sebagainya yang tidak memiliki dasar argumen teologis yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Reinterpretasi ajaran agama ini pada akhirnya diharapkan mewujudkan ajaran Islam yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ajaran yang ramah terhadap perempuan, ajaran yang rahmatan lil ‘alamin atau sungguh-sungguh mendatangkan kesejukkan, kedamaian, kemaslahatan bagi alam semesta.

DAFTAR PUSTAKA
Andalusi, Abu Hayan al-.(Tanpa Tahun).Tafsir al-Bahr al-Muhit. Beirut: Dar al Kutub al-Imamiyyah.
Barlas, Asma (2005). “Cara Quran Membebaskan Perempuan,” Terj. R. Cecep Lukman. Jakarta: Serambi.
Bashin, Kamla (2001). Memahami Gender. Jakarta: Teplok Press.
Dimasyqi, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fada Ismail  Ibnu Katsir al-Quraisyi ad-(1997). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.Riyadh:Dar al-Alam al-Kutub.
Ghazali, Abu Hamid al-.(Tanpa Tahun). Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul.  Beirut: Dar al-Fikr.
Haikal, Husein(1993). Hayatu Muhammad. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Ibrahim, Gufran Ali(2005). “Budaya Patriarchi, Sumber Ketidakadilan Gender” dalam Adnan Mahmud, dkk.(2005). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 93-.100.
Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim al-.(Tanpa Tahun). A’Iam al-Muwaqqi’in. Beirut: Daral-Fikr.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI. ( 2001).Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI.
Katjasumkana, Nursyahbani  dan Mumtahanan (2002), Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan.Jakarta: LBH APIK.
Muhammad, Husein (2001). Fiqh Perempuan. Yogyakarata: LKiS.
Muhammad, Husein (2005).“Tafsir Gender dalam Pemikiran Islam Kontemporer“, dalam Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulia, Siti Musdah ( 2006). “Peminggiran Perempuan dalam Perda Syari’at”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Perda Syari’at Islam Menuai Makna, Edisi No. 20 Tahun 2006.
Muthali’in, Ahmad(2001). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nurcholish Madjid, dkk.,(2003). Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina – The Asia Foundation.
Nuria, Shinta, et. al. (2001), Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujain. Yogyakarta: LKiS.
Qurthubi, Abu  Adillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-.(1996). Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadis.
Syatibi, Abu Ishaq al-. (1969).al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Kairo: Maktabat wa Matba'at Muhammad Ali Sabih wa Auladih.
Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-.(1988).  al-Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wi Aay al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Alami lil Mathbu’at.
Taha, Mahmud Muhammad (1987). The Second Message of Islam, alih bahasa: Abdullahi Ahmed an-Na’im. Syracuse: Syracuse University Press.
Tim Penyusun (2004). Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Agama Buddha.  Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
Tim Penyusun (2004). Kesetaraan Gender  dan Keadilan Gender dalam Perpektif Agama Kristen Protestan.  Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
Tim Penyusun (2009). Bersikap Adil Jender Manifesto Keberagamaan Keluarga Jogja Setara Jender Lintas Iman dalam Keluarga. Yogyakarta: PSI UII dan Cordaid.
Zayd, Faruq Abu.(Tanpa Tahun). Al-Syari’ah al-Islamiyyah baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin. Kairo: Dar al-Taufiq al-Arabi.





· Makalah disampaikan dalam forum diskusi Hukum Islam di Indonesia Program Doktor (S3) Hukum Islam FIAI UII, Jumat 9 Oktober 2009.
×Dosen tetap FIAI UII
[1] Husein Muhammad, “Tafsir Gender dalam Pemikiran Islam Kontemporer“, dalam Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 102-103 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil Jender Manifesto Keberagamaan Keluarga Jogja Setara Jender Lintas Iman dalam Keluarga, ( Yogyakarta: Pusat Studi Islam UII & Cordaid, 2009), hlm.249.
[2] Ibid., hlm. 103 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.249-250.
[3]Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi, Sumber Ketidakadilan Gender” dalam Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 93 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.249.
[4]Ibid., hlm. 93-94 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.244.
[5]Tim Penyusun, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Agama Buddha ( Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), hlm.18-21. dan Kesetaraan Gender  dan Keadilan Gender dalam Perpektif Agama Kristen Protestan ( Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), hlm.18-21 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.245.
[6] Ibid., hlm. 94 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.245.
[7] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.245.
[8] Ibnu Jarir al-Tabari dalam al-Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, juz I, Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, juz V, hlm. 2 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.250.
[9] Hadis Nabi yang menjadi rujukan  mereka adalah ( terjemahan) “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam...”, baca juga Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.250.
[10] Al-Tabari, Jami’ Al-Bayan., hlm. 337 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.250.
[11] Husein Muhammad, “Tafsir Gender., hlm. 104-105 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.250-251.
[12] Abu Hayan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhit (Beirut: Dar al-Kutub al-Imamiyyah), juz III, hlm. 252 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.251.
[13] Argumen ini dikemukakan hampir oleh semua penafsir. Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarata: LKiS, 2001), hlm. 146 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.251.
[14] Husein Muhammad, “Tafsir Gender., hlm.106 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.252.
[15]Ibid., hlm. 106-107 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.252.
[16]Ibid., hlm. 107 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.252.
[17]Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina – The Asia Foundation, 2003),hlm.67 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.253.
[18]Ibid. hlm.72-73 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.253.
[19]Ibid. hlm.66 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.253.
[20] Husein Muhammad, “Tafsir Gender., hlm 107-108 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.253-254.
[21] Ibid., hlm 108 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.254.
[22] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.254.
[23] Faruq Abu Zayd. Al-Syari’ah al-Islamiyyah baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin (Kairo: Dar al-Taufiq al-Arabi), hlm. 16 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm. 254.
[24] Husein Muhammad, “Tafsir Gender., hlm.109. Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.254.
[25] Ibid., 109-110 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.254 - 255.
[26] Seluruh ulama dan pemikir Islam selalu menyebut kemaslahatan sebagai basis utama agama. Imam Abu Hamid al-Gazali misalnya menegaskan hal ini dalam bukunya yang terkenal “Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, juz I (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 26 dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya “A’Iam al-Muwaqqi’in, juz III (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 14 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm. 255.
[27] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, III (Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra), hlm. 347-351 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.255 -256.
[28] Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, Juz I, hlm 227. Ibnu Taymiyah pernah mengatakan “laqad tadabbartu kulla al-tadabbur fi al-adillah al-syari’iyyah: anna al-qiyas al-sahih lan yu’arid al-nas al-sahih” (saya telah merenungkan secara intens berbagai teks agama, bahwa analogi yang benar tiadak mungkin berlawanan dengan teks yang benar (sahih) dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.256.
[29] Baca Taqlid wa takhrij  Syarh Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, Shinta Nuriyah et. al. atau terjemahan FK3, Wajah Baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujain (Yogyakarta: LKiS, 2001) dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.256.
[30] Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm. 256.
[31] Posisi ini menempatkan sejumlah pemikir dan aktivis gender berhadapan vis a vis dengan representasi rejim yang dianggap mempunyai otoritas untuk menyatakan sikap keagamaan. Kasus Aminah Wadud yang memimpin Salat Jum’at di Gereja Anglikan di Amerika Serikat pada 2005; Fatima Mernisi membaca ulang sikap-sikap misoginis dalam hadis-hadis Nabi Muhammad dalam Women and Islam, 1991; Josef P Widyatmadja dengan demo menentang WTO di Victoria Park, 13-18 Desember 2005, Hongkong, melalui tema Allah, Pangan, dan WTO. Posisi yang berhadap-hadapan ini menyulitkan untuk membangun tindakan komunikasi karena perbedaan yang prinsip. Sedangkan penelitian-penelitian empiris tentang sikap keagamaan umat yang berdiam diri (silent majority) masih sangat minim dalam pustaka Indonesia, sehingga “Survei Nasional: Dukungan dan Penolakan Terhadap Radikalisme Islam,” LSI, 16 Maret 2005, mengakibatkan pro-kontra luar biasa.
[32] Qasim Amin, “Al-Mar’ah al-Jadidah.” Kairo, al-Markaz al-Arabiyah, 1984. Buku ini merupakan salah satu seri dari paket Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan).
[33] Riffat Hasan, An Islamic Perspective, Women, Religion and Sexuality. Ed. Jeanne Becher. Philadelphia, Trinity Press International,1990, hal. 93
[34]Sakdiyah Makruf, ”Bukan Semata-mata Tuntutan Perempuan,” dalam  http://islamlib.com/, dikutip pada 16 Oktober 2006.
[35]Asma Barlas, “Cara Quran Membebaskan Perempuan,” Terj. R. Cecep Lukman. Jakarta, Serambi, 2005, hal. 291-294.
[36]Ibid. hal. 88-90 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm. 114.
[37]Ibid, dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm. 248.
[38] Ibid., hlm. 94-95.
[39]Kamla Bashin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001). hlm.37, Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.245
[40]Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi,…., hlm 95 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.245-246.
[41] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.249.
[42]Ibid., hlm 95-96 dan Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2001), hlm.44.
[43]Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi,…., hlm. 96.
[44] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.246.
[45] Ibid., hlm. 96-97. Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.247.
[46] Ibid., hlm. 97. Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.247.
[47] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.247.
[48] Ibid., hlm, 97-98. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.247.
[49]Analisis terhadap kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum, uraian mengenai bentuk-bentuk ketimpangan gender di Indonesia dapat dilihat dalam Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia (Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), hlm. 71-93. dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law) dan struktur hukum (structure of law). Pada aspek struktur, ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran jika selanjutnya agama dituduh sebagi salah satu unsur yang melanggengkan budaya patriarkhi dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.  Hal ini kemudian diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana yang terlihat dalam berbagai peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender, baca Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan dalam Perda Syari’at”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Perda Syari’at Islam Menuai Makna, Edisi No. 20 Tahun 2006 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.248.
[50]Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi,…., hlm 98 dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.248.
[51] Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.249
[52]Meskipun tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara eksplisit menyebut dirinya sebagai Perda Syari’at, namun isinya secara eksplisit bernuansa syari’at Islam. Istilah Perda Syari’at digunakan secara luas terhadap sejumlah perda yang isinyaa mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu,yakni ajaran Islam. Sayangnya acuan Islam yang dipakai di sini terbatas pada hal-hal yang bersifat legal-formal dan sangat simbolik, misalnya pemakain jilbab dan busana muslimah, belum sampai ke tingkat substansial, seperti peraturan yang mengatur perlindungan bagi kelompok rentan di masyarakat, seperti anak-anak terlantar, perempuan yang mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan, kelompok penyandang cacat, kelompok lansia, pengangguran, buruh kasar dan seterusnya.
[53]Perda kota Tangerang Nomor 8 tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran dalam implementasinya telah menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja di malam hari. Perlakuan ini menyalahi asas praduga tak bersalah dalam hukum. Bahwa korban pertama dari perda diskriminatif ini adalah seorang perempuan bernama Lia yang hidup di tengah kemiskinan dan harus bejuang mencari nafkah di malam hari bukanlah suatu kebetulan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari budaya hukum yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki sehingga memposisikan perempuan sebagai obyek hukum dan pola ini akan terus berulang dan berulang di tempat lain.
[54]Amandemen ke- 4 UUD 1945, pasal-pasal 28c, 28d, 28h, dan 28i menyebutkan secara jelas hak-hak setiap warga negara, termasuk perempuan untuk mengembangkan diri sebagai manusia bermartabat, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah dan hak untuk bebas dari semua bentuk perlakuan diskriminatif.
[55] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 22.
[56] Ibid., hlm. 25-26.
[57]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan hlm 26.
[58]Ibid.
[59]Ibid.
[60]Lihat hasil penelitian Tapi Omas Ihromi tetang Perempuan dan Hukum Nasional (1997); Siti Musdah Mulia tentang Posisi Perempuan dalam UUP dan Kompilasi Hukum Islam (2001); dan Sulistyowati Iriato tentang Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum (2003).
[61]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 26-27.
[62]Uraian mengenai bentuk-bentuk ketimpangan gender di Indonesia dapat dilihat dalam Fakta, Data dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia (Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), hlm. 71-93.
[63]Ibid.
[64]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 27.
[65]Kasus-kasus ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan secara rinci dalam Nursyahbani Katjasumkana dan Mumtahanan, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan (Jakarta: LBH APIK, 2002).
[66] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 28.
[67] Ibid.
[68] Ibid.
[69] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 29.
[70]Ibid.
[71] Ibid.
[72]Ibid.
[73]Ibid., hlm. 29-30.
[74]Ibid., hlm. 30-31.
[75]Ibid., hlm. 31.
[76]Ibid. dan Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.248
[77]Ibid. hlm.31 dan  Tim Penyusun, Bersikap Adil…, hlm.249
[78] Ibid., hlm. 99.
[79] Ibid.
[80] Ibid., hlm. 100.
[81] Ibid., hlm. 39-40
[82]Ibid., hlm. 37.
[83]Hadisnya (terjemahannya) berbunyi: “Siapa yang berijtihad dan ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala sedangkan jika ijtihadnya salah dia tetap mendapatkan satu pahala.” Hadits inilah yang memberikan inspirasi dan motivasi kuat bagi para ulama di masa awal Islam melakukan ijtihad sehingga melahirkan berbagai macam mazhab (aliran pemikiran) dalam tafsir, fiqih, tasawuf, filsafat dan teologi.
[84]Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 38.
[85] Ibid.
[86] Ibid., hlm. 38-39.
[87] Ibid., hlm. 39.
[88]Ibid.
[89] Husein Haikal, Hayatu Muhammad (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1993), Cet. Ke- 19, hlm. 280.
[90] Siti Musdah Mulia, “Peminggiran Perempuan., hlm. 39.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBATALAN AKTA IKRAR WAKAF

Pembatalan Akta Ikrar Wakaf Studi Kasus P utusan Nomor 3862/ Pdt. G/ 2010/ PA. Sby Pendekatan Usuliyah Oleh: Yusdani Staf Hukum Islam FIAI UII, Sekretaris PPS FIAI UII dan Peneliti PSI UII Abstract The following article denotes an annotation and analysis of Islamic law against the Court's decision on the dispute Religion Surabaya regarding endowment that has implications for the cancellation of the Deed of Pledge Wakaf Number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 and the Pledge of Wakaf dated March 17, 2009 and the Letter of Endorsement of Nadir number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 created the Office of Religious Affairs Tambaksari District. The decision can be justified in the perspective of Islamic law even in its legal considerations, the judges less attention to general procedural law applicable and applied over the years. However, although such a decision on waqf land dispute with the cancellation of the Deed of Pledge Waqf Religi

USUL FIQH SEBAGAI METODE

          Usul  Fiqh Sebagai  Metode                                                    Yusdani Pengantar Secara umum usul al-fiqh merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang. Namun dalam pengertian khusus usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum, usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum syariah. Sebagai metode penemuan hukum, usul fiqh merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu studi hukum Islam deskriptif dan studi  hukum Islam preskriptif ( Anwar, 2005: 2). Studi Hukum Islam Deskriptif Studi hukum Islam deskriptif meneropong hukum Islam sebagai fenomena sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dalam kaitan ini hukum Islam dapat dilihat baik sebagai variabel independen (bebas) yang mempengaruhi masyarakat maupun sebagai variabel depende