Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia
antara Psikologi Kolonial
dan Keharusan Historis
Oleh: Yusdani
Abstract
The following
article tries to investigate the plurality and dinamicity of Islamic thought in
twentieth century in Indonesia from the positive effect of muslim education in
history. The education in this sense, is
modern education - university. The characteristics of university graduation is
mastering the methodology. The mastering
methodology influences toward how to understand or intepret Islam in
term of the reality of Indonesia. Because of this, there are several
differences of islamic thought that emerge in Indonesia.The classification of
Indonesian Islamic thought can be classified into exlusive Islamic thought,
inclusive Islamic thought, pluralistic Islamic thought, humanist Islamic
thought, etc. The positive impact of pluralities in Islamic thought that
appearing in Indonesia is preparing many choices for muslim in Indonesia
especially in term of how to response the challenging of life, either in the
field of politics, economics, culture or that of other sphere of life.
Keywords: Indonesia, pemikiran,
Islam, pendidikan, dan metodologi
Pendahuluan
Diskursus dan gagasan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia selalu menarik untuk dikaji
dan menimbulkan kontroversi berkepanjangan dalam sejarah pemikiran dalam
Islam. Munculnya gagasan tentang
perlunya pembaruan tersebut karena dilatarbelakangi oleh keinginan kaum
muslimin untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan
ajaran Islam ( Islam Kaafah) di satu pihak. Sedangkan di sisi lain juga
didukung oleh sikap kaum muslimin untuk hidup sesuai dengan tuntutan zaman.
Mengamati dan mencermati serangkaian
tulisan polemik yang pernah
dimuat dalam harian Republika, Desember
2006 sd Januari 2007 yang
menyoroti pembaruan Islam di Indonesia, terutama reaktualisasi tentang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, menjadi penting untuk menjaga continuity and change diskursus dan dinamika pembaruan Islam di Indonesia. Serangkaian tulisan
tersebut perlu diposisikan
secara arif dan dapat diposisikan sebagai kritik, pengembangan, dan pengayaan baik teori,
konsep, metodologi, data, maupun ranah
pembaruan dimaksud. Hal ini sangat diperlukan guna menciptakan iklim
intelektual dialogis.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas tulisan-tulisan tentang
pembaruan Islam di Indonesia tersebut baik secara konseptual teoritis,
epistemologis, empirik maupun diskursif ( Haryanto, 1990: 52). Akan tetapi tulisan
ini untuk menjelaskan sisi lain dari pembaruan pemikiran Islam di Indonesia
yang kebetulan belum disentuh oleh para penulis di atas, yaitu pembaruan Islam di Indonesia
dengan perspektif faktor keberhasilan umat Islam dalam mengenyam pendidikan
moderen.
Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam
Islam sebagai suatu ajaran tentang
kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak diperdebatkan lagi di
kalangan kaum muslimin. Akan tetapi bagaimana Islam itu dipahami dan diterapkan
oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam konteks inilah, terletak persoalan yang
sebenarnya. Karena Islam sebagai ajaran
itu satu (tunggal) tetapi polyinterpretable ( pemahaman terhadap Islam
itu beragam ).
Munculnya
interpretasi yang beragam terhadap Islam tersebut memang disebabkan oleh
berbagai faktor. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk pemahaman
kaum muslim terhadap Islam. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau
apa yang disebut Arkoun (1988) sebagai estetika penerimaan (aesthetics of
reception), sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman.
Kecenderungan dan kemampuan intelektual yang berbeda-apakah motifnya untuk
mengetahui makna doktrin yang sebenarnya, yang secara literer terekspresikan
dalam teks, atau untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dari suatu doktrin, di luar
ekspresi literer dan tekstualnya (Gibbons, 1987:1-31)-dalam upaya untuk
memahami Islam dapat berujung pada pemahaman yang beragam mengenai suatu
doktrin. Karenanya, kendatipun setiap Muslim menerima prinsip-prinsip umum yang
tertuang dalam Islam, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai
perbedaan-perbedaan.
Munculnya
berbagai aliran (mazhab) dalam lapangan fiqh, teologi, filsafat, dan lain-lain
dalam Islam, misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu, multiinterpretatif
– banyak penafsiran (Hodgson, 1974). Watak multiinterpretatif ini telah
berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Di samping itu,
karakteristik ajaran yang multiinterpretatif ini juga mengisyaratkan keharusan
pluralitas dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh
banyak pihak, Islam tidak dapat dan tidak seharusnya dilihat dan dipahami
secara monolitik (Ayoob, 1981). Hal ini mengindikasikan Islam yang empirik dan
aktual-karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik-
akan berarti lain lagi bagi orang Islam lainnya ( Ayubi, 1991: 60-64).
Kerangka
pemahaman bahwa Islam sebagai doktrin Tuhan itu satu tetapi polyinterpretable yang disebabkan berbagai faktor di atas,
perlu disegarkan kembali untuk memahami dinamika dan pluralitas pemikiran Islam
di Indonesia kontemporer sekarang ini ( Tim Penulis, 2007: 105-106). Hal ini
urgen dilakukan agar kaum muslimin penuh kearifan dalam menyikapi fenomena
perbedaan pemahaman dan keberagamaan
yang kadang-kadang menyeruak ke permukaan.
Untuk
memahami pluralitas pemikiran Islam secara umum dan terutama di Indonesia
kontemporer sekarang ini, tidak dapat
dilepaskan dari Islam sebagai agama yang hidup di tengah umat. Sebagai agama
yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat Islam
mengalami perubahan dan pergeseran di sana sini, karena perubahan dan perbedaan
tantangan, peluang dan persoalan yang dihadapi. Dalam era globalisasi ilmu dan
budaya, hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan
yang amat dahsyat, institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga,
bahkan tidak terkecuali institusi dan pemikiran keagamaan tidak luput dari
pengaruh arus globalisasi ini ( Abdullah, 1994: 169-170).
Sebagai
konsekuensi logis dari kehidupan yang selalu berubah tersebut adalah bahwa
idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar, falsafah hidup, keprihatinan,
pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku, dan mekanisme kerja, semuanya ikut
berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan manusia tentang realitas jagat raya
ini baik yang menyangkut dunia fisika, kosmologi juga berkembang pesat sesuai
dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan laboratorium ilmu pengetahuan
baik dalam bidang astronomi, biologi, bioteknologi dan lain-lainnya. Perubahan
tingkat pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang
bangsa tersebut terhadap realitas dunia ( Abdullah, 1994: 170).
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa, mustahil rasanya jika corak dan nuansa pemikiran
keagamaan dan keislaman tidak ikut berubah seiring dengan arus perubahan yang
terjadi. Agaknya tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan bahwa tantangan dan
peluang yang dihadapi kaum muslimin Indonesia sekarang, terutama dalam hal
wawasan pemikiran keagamaan adalah sama saja dengan masa-masa sebelumnya, atau
tidak mengalami perubahan, sehingga perlu diadakan peninjauan ulang, reorientasi,
modifikasi, penajaman atau pengurangan pada bagian-bagian tertentu (
Abdullah, 1994: 169-170).
Gambaran Pemikiran
Islam Indonesia
Dalam konteks dan sejarah intelektual Muslim Indonesia sejak
abad ke-19 yang meski dalam konteks kolonialisme, banyak individu Muslim
mendapatkan pendidikan secara baik. Hal ini melahirkan kesadaran mereka untuk
menciptakan ruang aktualisasi publik termasuk aktivitas politik. Selanjutnya,
pada abad 20 muncul inteligensia Muslim sehingga pergulatan mereka bergerak ke
arah pencarian pengakuan dan otoritas kekuasaan. Namun, meski mencapai
kredibilitas intelektual dan posisi kekuasaan politik yang baik, partai politik
Islam tak kunjung memperoleh suara mayoritas. Bahkan, banyak intelektual Muslim
yang kurang terobsesi dengan klaim-klaim Islam. Di sinilah salah satu letak
kompleksitas tersebut (Latif, 2005: 655-666).
Pembacaan atas
dinamika dan pluralitas pemikiran Islam di Indonesia mengungkapkan bahwa ada banyak pelajaran
sejarah yang bisa diperoleh dari drama kehidupan Hindia Belanda pada akhir abad
19 hingga 1920-an. Dalam gerak lambat, tokoh utama drama historis ini ialah inteligensia dan
intelektual Muslim. Pada 1910-an munculnya kaoem moeda Islam dan kaoem mardika
bertanggung jawab dalam perluasan aktivitas publik yang menjangkau konstituen
lebih luas dan diteruskan pada akhir 1920-an ketika intelektual organik Muslim
membentangkan peran mereka sebagai pendidik publik. Prolivalensi ruang publik
memberi kontribusi terhadap tumbuhnya kesadaran proto-nasionalis yang
tokoh-tokohnya menjadi generasi pertama inteligensia Muslim Indonesia seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim dan sebagainya ( Latif, 2005:655-666).
Selanjutnya pada
1930-an, inteligensia Muslim sadar politik mulai beralih dari politik kooperasi
menuju non-kooperasi yang puncaknya adalah penemuan istilah Indonesia. Ini
merupakan titik awal keluar dari bayang-bayang kolonial. Pada periode
pra-pendudukan Jepang terdapat 6 tradisi politik besar yakni: tradisi
reformis-modernis (Islam/I), tradisionalis (I), komunis (sekuler/S), nasionalis
(S), sosialis (S) dan tradisi Protestan dan Katolik (S). Tradisi lainnya muncul
pada 1940-an yakni militer (S). Persaingan inteligensia sekuler dan Islam
menghasilkan kelompok sekuler sebagai pemenangnya meski kelompok Islam sudah
menyadari posisi minoritasnya sejak 1920-an. Untuk mengatasinya mereka
mengembangkan proyek historis yakni Islamisasi kaum terpelajar yang menjelma
dalam Jong Islaminten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studieclub (SIS). Namun
saat kemerdekaan, inteligensia sekuler tetap lebih unggul sehingga inteligensia
Muslim tetap menjadi pihak luar dalam ranah politik Indonesia (Latif,
2005:655-666).
Setelah
era generasi pertama Inteligensia Muslim seperti Agus Salim dan Tjokroaminoto,
generasi keduanya adalah seperti M. Natsir, M. Roem dan K. Singodimedjo pada
1950-an yang cenderung non-kooperatif. Kontribusi generasi kedua adalah
munculnya kader-kader yang dilatih menjadi pemimpin gerakan dakwah dan masjid
kampus. Selanjutnya, generasi Ketiga seperti Lafran Pane, A Tirtosudiro dan
Jusdi Ghazali pada 1960-an merupakan anak revolusi kemerdekaan sehingga
cenderung kooperatif. Generasi keempat seperti Nurcholish Majid, Imadudin
Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an terbelah menjadi dua: yakni gerakan
dakwah yang kritis terhadap ortodoksi negara dan gerakan pembaharu yang
mendukung.. Persamaan keduanya yakni kepentingan mereka dalam kebudayaan dan
civil society. Kontribusi gerakan dakwah adalah Islamisasi komunitas
akademis-sekuler sedangkan gerakan pembaharu pada fenomena Islamisasi dunia
birokrasi dan politik Indonesia. Muara keduanya adalah generasi kelima, yakni
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), pada awal 1990-an dengan Habibie sebagai
ikon sentralnya. Pengunduran diri Soeharto dan diganti Habibie pada 1998 lantas
membuka peluang tokoh ICMI untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh politik yang
besar ( Latif, 2005: 655-666).
Selanjutnya,
seiring surutnya generasi kelima (ICMI,) lahir generasi generasi keenam yang
sebagian anggotanya lahir pada 1970-an dan 1980-an seperti Ulil Abshar Abdalla,
Fachri Hamzah. Generasi ini, tidak homogen karena rivalitas para pengikutnya
terutama mengenai masalah manhaj (metode
penalaran), jaringan intelektual dan persaingan memperebutkan kepemimpinan.
Harakah yang paling berpengaruh, ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul
Muslimin, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai
politiknya, Partai Keadilan Sejahteran (PKS) ( Latif, 2005: 655-666).
Corak Pemikiran
Keislaman
Corak pemikiran keagamaan di
Indonesia sampai sekarang secara umum dapat dibagi tiga corak. Ketiga corak
perkembangan ini saling melengkapi dalam upaya pembaruan dan menyemarakkan
pengamalan agama. Ketiga corak pemikiran tersebut ialah (1) cita pembaruan yang bersifat dan terkait
erat dengan faham kemadzhaban atau pesantren, (2) pembaruan yang
bercorak majlisi, (3) pembaruan yang bercorak akademis ( Simuh, 1988 :
136).
Ciri
dari kehidupan akademis didominasi oleh orientasi pemikiran yang mandiri dan
liberal. Hal ini terbawa oleh watak pemikiran ilmiah atau akademis yang selalu
menanggapi setiap pendapat dan madzhab dengan sikap skeptis,
serta rindu bersikap mandiri, berusaha membina pendapat sendiri walaupun terpaksa
harus bertentangan dengan pendapat yang umum pada masa itu. Kegandrungan untuk
menemukan pendapat baru secara mandiri dengan penuh tanggungjawab merupakan
ciri khusus dari ulama kampus atau cendekiawan ( Simuh, 1988 : 136). Dengan corak pemikiran akademis ini, tidak
dapat dihindari munculnya pluralitas pemikiran Islam dalam berbagai aspeknya.
Realitas dan fenomena
kemajemukan, baik dalam paham keagamaan sejalan dengan kemajemukan masyarakat
Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, dan agama. Segmentasi
umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat kultural,
yaitu bahwa keragaman kelompok umat Islam mempunyai latar belakang budaya
keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, sejalan dengan
perbedaan latar belakang budaya – kemasyarakatan (sosio-kultural)
mereka.
Ormas-ormas Islam, terutama
yang lahir pada masa pra-kemerdekaan, memiliki hubungan yang erat dengan budaya
di mana ormas tersebut lahir dan berkembang. Bahkan, sebuah organisasi dapat menampilkan wajah
yang berbeda sesuai dengan lingkungan di mana organisasi tersebut hidup. Corak
paham keagamaan di kalangan ormas-ormas Islam ini tidaklah semata-mata
merupakan hasil pemahaman terhadap (sumber-sumber ) Islam, tetapi juga
merupakan hasil pengaruh dari lingkungan budaya lokal.
Pengaruh latar belakang budaya
lokal di atas dapat diamati, umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri
NU dan Muhammadiyah. KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang hidup di lingkungan
budaya santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap
Islamisasi yang dapat disebut santrinisasi santri. Sedangkan KH Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, yang hidup di lingkungan budaya priyayi di Kauman
Yogyakarta, menawarkan model pendekatan yang dapat disebut santrinisasi priyayi
atau priyayisasi santri ( Syamsuddin,1992:4).
Kedua pendekatan tersebut di
atas memiliki logika sendiri. Baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asy’ari, telah
memberikan yang terbaik bagi pengembangan Islam yang relevan dengan setting
kultural yang mereka hadapi. Kedua organisasi yang mereka lahirkan merupakan
dua sayap penting bagi perkembangan paham keislaman di Indonesia (
Syamsuddin,1992:4).
Potret pemikiran Islam yang
bercorak majlisi di atas didominasi oleh organisasi sosial keagamaan di
Indonesia. Dua organisasi besar yang cukup terkenal dalam konteks ini adalah
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ( NU). Corak pemikiran keislaman seperti ini
berkembang sejak tahun 1912 sampai dengan 1970 an. Pasca tahun 1970 an,
pemikiran keislaman di Indonesia lebih banyak dikembangkan oleh individu
pemikir muslim.
Dinamika Pemikiran Pasca Muhammadiyah dan NU
Pembahasan tentang pemikiran
sosial keagamaan yang dikembangkan oleh
individu pasca Muhammadiyah dan NU belum begitu banyak dipetakan. Oleh karena itu, penting dideskripsikan
tentang pemikiran Islam individu dan bagaimana wujud pemikiran itu telah
dituangkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk memudahkan memasuki pembicaraan ini
barangkali penggambaran di bawah ini dapat membantu.
Perkembangan dan dinamika pemikiran Islam
individu pasca Muhammadiyah dan NU di atas telah melahirkan paling tidak tiga
generasi pemikir, yaitu generasi pertama adalah generasi Harun, A.Mukti
Ali, dan M. Rasjidi. Generasi kedua adalah antara lain Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Hidayat Nataatmaja,
A. Syafii Maarif, Djohan Effendy, M. Amien Rais, Imaduddin Abdulrahim, Muslim
Abdurahman, Munawir Sjadzali, Adi Sasono, Jalaluddin Rahmat, M. Quraisy Shihab,
dan lain-lain. Generasi ketiga
antara lain adalah Fachry Ali, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Alwi Shihab,
Masdar Farid Mas’ud, Ulil Abshar Abdallah, Mansur Faqih, Komaruddin Hidayat,
Bahtiar Effendy, Munir Mulkhan dan lain- lain ( Tim Penulis, 2007: 107).
Kategori pemikiran yang dikembangkan oleh
masing-masing pemikir di atas dapat kelompokkan menjadi Islam Rasonal, Islam
Saintifik, Islam Kritis, Islam Desakralisasi, Islam Pribumisasi, Islam
Kultural, Islam Reaktualisasi, Islam transformatif, Islam Integralis, Islam
Substantif, Islam Dialogis, Islam Inklusif Pluralis, Islam liberal, Islam
Eksklusif, Islam ekonomi, Islam Humanis ( Tim Penulis, 2007: 107).
Pemetaan pluralitas pemikiran ke-Islaman individu di atas dilakukan
berdasarkan indikasi, ide sentral dan kecenderungan tokoh pemikirnya. Dari
penggambaran tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa corak pemikiran Islam di
Indonesia mencerminkan hasil hubungan yang dialektis dengan persoalan; Islam
dan modernisasi atau kemoderenan; perjumpaan Islam dengan kebangsaan dan
kekuatan negara; dan perjumpaan Islam dengan kekuatan budaya lokal di Indonesia. Dengan kata lain pluralitas
pemikiran sosial keagamaan Islam kontemporer di Indonesia pasca Muhammadiyah
dan NU di atas sesuai dengan subject matter yang menjadi perhatian utama
pemikirnya. Walaupun begitu ada satu mainstream yang menjadi obsesi,
yaitu membangun suatu sistem apa yang disebut ( Tim Penulis,2007:
147)“keislaman, keindonesiaan dan kemodernan”.
Diskursus Psikologi Kolonial
Salah satu sisi kontroversi seputar
perbincangan pembaruan pemikiran Islam tersebut adalah mengenai tuduhan
terhadap kaum pembawa obor pembaruan sebagai kelompok westernized
(terbaratkan), agen Yahudi, aliran sesat dan lain sebagainya. Untuk itu,
tragedi sejarah pertemuan Islam dengan Barat (modernitas) patut diketengahkan.
Menengok jauh ke masa lalu, hampir 300
tahun dunia Islam, termasuk di Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar
di dunia, mengalami kolonisasi Barat. Kolonisasi ini tidak saja menimbulkan
penderitaan fisik namun juga menorehkan luka psikologis terhadap entitas-entitas
modern yang berkembang di Barat (Yusdani, 2007).
Dalam kehidupan beragama, kolonialisasi
tersebut di atas telah menaburkan bumbu pedas yang meradangkan sentimen agama
dan menyulut konflik antara umat Islam dan Kristen. Trauma psikologis ini tidak
serta merta hilang bersamaan dengan berakhirnya kolonialisasi Barat terhadap
Negara-negara Muslim di kawasan Asia. Trauma tersebut muncul sebagai penolakan
terhadap modernitas secara berlebihan, termasuk kemajuan di bidang keilmuan dan
teknologi, yang memang lebih dahulu dikembangkan oleh dunia Barat.
Adanya ambivalensi di kalangan umat Islam
dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan modern di atas, dapat dipahami
dalam perspektif psikologi kolonial tersebut. Dalam bidang ilmu-ilmu sain dan
teknologi umat Islam dapat menerima dan menggunakan tanpa hambatan psikologis
yang berarti. Namun tidak demikian halnya terhadap ilmu-ilmu sosial. Ada banyak
reaksi yang muncul ketika metode-metode ilmu sosial digunakan dalam kajian
masyarakat Muslim.
Seperti dicatat oleh Kuntowijoyo (1999),
bahwa pernah diselenggarakan suatu seminar internasional untuk membahas
Islamisasi Pengetahuan. Seminar ini bertujuan agar umat Islam tidak begitu saja
meniru dan menerapkan metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan
tersebut pada pusatnya, yaitu tauhid. Lebih lanjut Kuntowijoyo menegaskan bahwa
islamisasi pengetahuan yang bermuara pada tauhid dimaksudkan agar ada koherensi
agar pengetahuan tidak terlepas dari iman.
Memasuki era post-kolonial sekarang ini,
yang menjadi persoalan dalam mengembangkan pemikiran Islam adalah masih
relevankah kaum muslimin mempertahankan sikap ambivalensi terhadap kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan yang sementara ini berada di tangan barat? Adakah
sikap lain yang mungkin dapat menjadi
solusi alternatif dan kreatif dalam persoalan ini?
Diskursus Post-Kolonial
Era
post-kolonial sekarang ditandai adanya hibridasi dalam lingkup budaya, agama,
ekonomi, sosial dan politik. Pada dasarnya, umat Islam sebagai bangsa yang
pernah dijajah, perlu membuktikan diri bahwa umat Islam bisa menyejajarkan diri
dengan bangsa yang pernah menjajah itu. Atau dengan nada yang lebih optimis dan
positif, umat Islam perlu menunjukkan diri
dalam pergaulan internasional sebagai bangsa yang bisa memberikan
kontribusi yang berarti bagi kemajuan dunia.
Wacana post-kolonial, walaupun dapat
menimbulkan bayangan antagonisme yaitu antara bekas bangsa penjajah dan
bekas bangsa yang dijajahnya, tetapi tidak dimaksudkan demikian. Namun demikian
juga bukan berarti wacana ini sama sekali tidak menghiraukan kolonialisme
dengan segala akibat buruknnya. Kolonialisme malah dimengerti tidak sebatas
fenomena fisik saja. Jika penjajahan secara fisik sudah lewat, bukan berarti
kolonialisme sudah lewat juga. Post-kolonialisme tidak hanya merespon
kolonialisme fisik di zaman prakemerdekaan dulu tetapi juga dan terutama
merespon gejala kolonialisme di zaman sekarang ini (Yusdani, 2007).
Post-kolonialisme ingin merespon
kolonialisme dengan cara mengajak mereka yang dijajah untuk bangkit dan
menunjukkan kualitas bangsa terjajah yang tidak kalah dari kualitas penjajah.
Namun menunjukkan kualitas bangsa terjajah tidak perlu membuat isolasi diri
dari apa saja yang sudah kita kenal dari penjajah itu. Katakanlah misalnya kita
bangsa Indonesia tidak perlu membuat program deBelandanisasi. Sebab, di
samping sulit, itu juga mustahil. Disini pembicaraan soal budaya (Yusdani, 2007).
Dalam hal budaya, yang maksimal bisa kita
bayangkan adalah terjadinya hibridasi. Dalam konteks ini, kita perlu
memperlihatkan sumbangan yang datang dari kekayaan khazanah kita sendiri. Sebab
hibridasi jelas menolak adanya dominasi sementara pihak. Hibridasi berbicara
soal percampuran berbagai unsur namun dalam kondisi kesetaraan dan kreatif.
Globalisasi sekarang adalah tidak lain
dari hibridasi. Hibridasi yang ditimbulkan oleh perjumpaan antarbudaya,
antarfilsafat, antarideologi, antaretnis, antar omunitas, antarilmu juga antaragama.
Mentalitas yang
perlu ada di sini adalah mentalitas orang
yang optimis (percaya diri). Sedang mentalitas orang yang pesimis
(kurang percaya diri) justru menjadi ciri khas dari zaman kolonialisme. Banyak
bangsa yang dijajah akhirnya memilih dan terjebak pada 2 sikap yang ekstrim. Pertama,
ikut saja budaya sang tuan. Kedua, melawan apa saja yang dianggap datang
dari sang tuan. Kedua sikap ini datang dari rasa pesimis (Yusdani, 2007).
Menunjukkan kualitas diri
sendiri tidak harus berarti melawan apa saja yang datang dari luar diri
sendiri. Sebaliknya, mengambil alih apa-apa yang datang dari luar diri sendiri
tidak harus datang dari perasaan rendah diri. Adalah heran, mengapa kita ini di
satu pihak sering menunjukkan sikap sinis terhadap Belanda, di pihak lain
hormat kita kepada Londo jauh lebih tinggi daripada hormat kita terhadap
bangsa sendiri (Yusdani,
2007).
Selain itu, yang tak kalah
mengherankan lagi adalah orang Belanda yang menjajah kita itu justru menyimpan
berbagai dokumen penting tentang budaya kita, mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh dan bahkan bisa mengajari kita tentang budaya kita sendiri. Apa
sebenarnya yang telah terjadi? Apakah ini bukan bukti bahwa kita memang kurang
percaya diri. Jika memang demikian, bukankah lebih baik jika kita coba
mengatasinya sendiri dan tidak justru malah meneruskan rasa tidak senang
terhadap Londo ( entah Londo Belanda, Londo Inggris, Londo
Amerika, pokoknya semua Londo alias orang Barat), apalagi membangun
sebuah harapan bahwa kita bisa membuat suatu dunia yang bersih dari unsur-unsur
Barat (Yusdani,2007).
Perdebatan antara Islam dan
Barat yang lakukan selama ini kiranya jangan sampai bergeser pada sikap-sikap
isolasi diri yang sulit untuk dipraktekkan, kecuali jika kita mampu memformat
ulang dunia kita sekarang ini. Namun bagaimanapun, tetap memilih untuk menerima
dunia kita ini dengan segala kebaikan dan keburukannya, terlibat secara aktif
di dalamnya, semata-mata untuk menjadikannya lebih baik lagi di masa depan ( Yusdani,2007).
Jika masa depan yang lebih baik
itu yang menjadi acuan kita dalam melakukan sinergi, perjumpaan, integrasi atau
apapun namanya antara Islam dan Barat tidak menjadi masalah, masalahnya
hanyalah kesepakatan apa yang bisa kita buat demi masa depan bersama yang lebih
baik itu.
Faktor
Dukungan Pendidikan
Dari penjelasan tentang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia di atas
sebagaimana dijelaskan di muka, salah satu faktor yang belum banyak memperoleh
perhatian dalam konteks pembaruan ini adalah faktor dan dampak positif
keberhasilan umat Islam Indonesia mengenyam pendidikan moderen.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas dalam rangka menjelaskan faktor
dukungan pendidikan bagi pemikiran Islam sekarang. Jika digambarkan atau
dipersonipikasikan seolah-olah pemikir Islam itu adalah sebagai sosok seorang
pribadi. Pada tahun 1945 termasuk mereka yang aktif sekali dalam kehidupan
kemiliteran, pendidikan umat Islam relatif rendah. Jelasnya adalah bahwa orang
Islam sebenarnya baru masuk sekolah setelah kemerdekaan. Bahkan bukan segera
setelah proklamasi, namun setelah penyerahan kedaulatan. Oleh karena itu,
gampangnya, umat Islam itu baru mulai ikut serta ambil bagian dalam pendidikan
moderen pada tahun 1950. Jadi umat Islam sebelum tahun 1950 itu rata-rata
adalah buta huruf (Latin), sudah tentu yang dimaksud umat Islam yaitu umat
Islam dalam arti antropologis ( Madjid, 1988:69-70).
Karena itu, jangan dibandingkan
dengan orang-orang Masyumi seperti
Muhammad Roem Cs. Mereka bukanlah dari kalangan santri. Mereka adalah
dari kalangan priyayi. Indikasinya adalah dalam hal nama mereka. Bila mereka orang
Jawa, maka nama-namanya umumnya adalah nama Sanskerta, misalnya, Prawoto
Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, Sukiman Wirosandjojo, Yusuf Wibisono dan
lainnya. Bahwa mereka menjadi pemimpin Islam itu karena faktor yang agak
istimewa, yaitu faktor Haji Agus Salim
melalui Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Sedangkan yang tumbuh dari
kalangan santri, dari segi pendidikan barulah dimulai tahun 1950 itu yang
justru di masa sekarang lebih menentukan
untuk keseluruhan umat Islam di Indonesia (Madjid, 1988: 70).
Artinya kalau tahun 1950 para santri
itu baru masuk Sekolah Dasar (SD), maka pada tahun 1956 mereka baru tamat SD,
tahun 1959 tamat SMP, tahun 1962 tamat SMA, setelah itu baru masuk perguruan
tinggi. Tahun 1965-1966, ketika meletus G-30 –S PKI, dan dilanjutkan munculnya
pemerintah Orde Baru, sebetulnya pendidikan umat Islam yang paling tinggi
adalah Sarjana Muda (BA) atau SI ( Madjid, 1988: 70).
Jadi,
di tahun 1970-an, rata-rata umat Islam baru punya anak yang pendidikannya lulus
perguruan tinggi, seperti insinyur, dokter, sarjana hukum, dan sebagainya.
Seperti biasanya, apalagi untuk Indonesia yang masih dalam tahap perkembangan,
faktor mencari kerja adalah faktor yang dominan untuk para lulusan perguruan
tinggi. Maka mereka ini pun mencari kerja. Oleh karena itu pada tahun 1970-an
agak sepi, dalam arti memang banyak lulusan universitas –sarjana-sarjana-tapi
dampak sosialnya belum begitu terasa. Hal itu karena mereka langsung masuk
dalam pasaran kerja dan orientasi mereka adalah domestik, dalam arti mengurus
rumah tangga sendiri (Madjid,
1988:70).
Kemudian
tahun 1980-an mereka itu sudah banyak yang selesai dengan urusan domestiknya,
lalu mulai keluar, oleh karena itu dampak sosialnya sudah mulai terasa
dimana-mana termasuk mulai menunjukkan concern mereka terhadap
masalah-masalah politik, sosial ekonomi dan sebagainya. Dampak itu antara lain
terefleksikan dalam kegairahan pada
agama di universitas-universitas. Fakta ini secara dramatis dapat digambarkan
misalnya gejala mengenai “jilbab” secara
sosiologis merupakan kelanjutan langsung dan wajar dari gejala tersebut (Madjid, 1988: 70).
Tahun
1990-an merupakan suatu periode yang lebih berkembang dan matang bagi umat.
Umat Islam boleh dikatakan seakan-akan puber. Ekspresi keagamaannya juga penuh
dengan pubertas, sebagaimana halnya proses pubertas pada pribadi perseorangan (Madjid, 1988: 70).
Pada
dasawarsa 1990-an umat Islam menjadi lebih berkembang dan matang, sehingga juga
lebih substantif dalam memahami agama dan tidak mandeg pada
manifestasi-manifestasi simbolik belaka. Dan kedewasaan ini merupakan pangkal
harapan yang lebih besar untuk proses demokratisasi, proses kesadaran tentang
pluralisme dan sebagainya (
Madjid, 1988: 70).
Bila bicara pada tahun 2000-an, tahun tersebut berarti sudah dua generasi
dari sejak 1950 tahun. Dalam proses dua generasi itu, suasana yang
diciptakannya itu, justru lebih
bermakna. Kita tahu bahwa banyak sekali orang penting dari kalangan santri pada
saat itu yang merupakan orang pertama dalam keluarganya yang punya pendidikan.
Dan tahun 2000 itu, maka orang-orang seperti itu merupakan generasi kedua,
karena merupakan anak dari generasi 1980-an. Ini akan mempunyai makna yang
besar dan strategis yang besar. Jadi, orang Islam optimis bahwa mempunyai masa
depan politik yang baik
(Madjid, 1988: 70).
Islam Substantif dan Kaya Perspektif
Pendidikan
tinggi itu baik strata 1 (S1), strata 2 (S2) maupun strata 3 (S3) kenyataannnya melahirkan insinyur, dokter, psikolog,
doktorandus, master, doktor dan
seterusnya. Di antara mereka adalah intelektualitas, yaitu mempunyai kemampuan
berpikir menurut metodologi yang lebih baik. Jadi, bagi orang-orang Islam yang
berpendidikan tinggi ini, soal-soal kecil khilafiyah menjadi tidak relevan. Hal
yang relevan justru elemen-elemen yang paling universal dari ajaran agama
Islam. Misalnya; cita-cita mengenai keadilan, mengenai persamaan, demokrasi dan
lain sebagainya. Jadi cross-cutting
dihasilkan oleh suatu orientasi keagamaan yang tidak lagi semata-mata terbatas
pada simbol-simbol, tetapi sudah meningkat pada orientasi substantif dan fungsional (Madjid, 1988: 71).
Sekarang
ini, Indonesia masuk dalam negara dengan kesadaran demokrasi yang tinggi;
santri makin mempunyai peranan disebabkan oleh pendidikan yang menyebar dan
tinggi; dengan kesadaran yang lebih tinggi dari segi keagamaan tetapi bergeser
dari praktik-praktik yang formal simbolik kepada yang lebih fungsional dan
substantif, yang dalam hal ini antara lain tercakup dukungan terhadap kesadaran
hukum, persamaan, cinta keadilan, dan sebagainya; dan juga kesadaran akan
pluralisme (Madjid, 1988: 71).
Sekarang ini santri di Indonesia boleh dikatakan seakan-akan puber.
Ekspresi keagamaannya juga penuh dengan pubertas. Ini adalah suatu pertumbuhan
yang wajar, sebagaimana halnya dengan proses pubertas pada diri seseorang. Pada
dasawarsa sekarang ini, kita menemukan santri yang sudah lebih berkembang dan
matang, sehingga juga lebih substantif dalam memahami agama dan tidak mandek
hanya pada manifestasi-manifestasi simbolik belaka. Santri berperan besar dalam
proses demokratisasi karena Islam memang
memiliki ajaran yang menekankan faktor egalitarian, paham persamaan atau
kesamaan umat manusia
(Madjid, 1988: 71-72).
Transformasi inteligensia Muslim di Indoneia
sekarang sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak bisa lagi dibaca dengan studi-studi yang ada mengenai elite
Indonesia modern dan politiknya, seperti Clifford Geetz (1960), Robert van Niel (1970), R. William Liddle (1973),
Donald K. Emmerson (1976), atau Ruth McVey (1989). Dengan demikian, untuk
memahami dinamik adan pluralitas pemikiran tersebut dibutuhkan kerangka dan pendekatan yang holistik dan metodologi yang memadai, menelaah genealogi inteligensia Muslim
dalam hubungannya dengan ke-Indonesiaan abad ke-20. Untuk upaya ini, pendekatan dengan kerangka waktu
jangka panjang (longue duree)
dikombinasikan dengan metode interaktif,
interdisipliner, dan intertekstual untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yang
menghadirkan kesinambungan (continuity)
dan perubahan-perubahan (changes)
dalam perkembangan inteligensia Muslim dalam relasinya dengan dinamika
masyarakat Indonesia (Latif, 2005: 655-666).
Dampak
positif dari munculnya pluralitas pemikiran keagamaan baik secara organisasi maupun individual
dalam berbagai bentuknya tersebut adalah bahwa khazanah pemikiran keislaman di
Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan dan ini secara tidak langsung
mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran individual,
maka pluralitas pemikiran tersebut terasa lebih semarak. Paling tidak, kondisi
ini memberi alternatif ventilasi-ventilasi pemikiran yang kaya ( Abdullah,
1995: 70-71). Secara lebh
reflektif, semarak pembaruan, dinamika dan pluralitas pemikiran Islam di
Indonesia sampai sekarang ini merupakan suatu refleksi moral yang pada satu
pihak disinari kesadaran historis masa kini, dan sanggup memberi pegangan yang
relevan untuk pilihan-pilihan yang dihadapi manusia.
Penutup
Sebagai
penutup dari keseluruhan uraian terdahulu tulisan ini dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan
sebagaia berikut:
1. Bahwa semaraknya pemikiran Islam di
Indonesia sekarang ini yang seolah-olah dapat diibaratkan sebagai sosok
individu yang puber dan matang, tidak dapat dilepaskan dari faktor keberhasilan
kaum muslimin Indonesia dalam mengenyam pendidikan (tinggi-universitas) modern.
Dampak positif dari keberhasilan pendidikan tersebut adalah dikuasainya
berbagai perspektif dan metodologi yang logis dan baik dalam memahami dan menerjemahkan
ajaran Islam dalam realitas keindonesiaan.
2.Bahwa untuk memahami pluralitas pemikiran Islam di
Indonesia kontemporer sekarang ini,
tidak dapat dilepaskan dari Islam sebagai agama yang hidup di tengah umat. Sebagai
agama yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat
Islam mengalami perubahan dan pergeseran di sana sini, karena perubahan dan
perbedaan tantangan, peluang dan persoalan yang dihadapi. Dalam era globalisasi
ilmu dan budaya, hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami
perubahan yang amat dahsyat, institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan,
keluarga, bahkan tidak terkecuali institusi dan pemikiran keagamaan tidak luput
dari pengaruh arus globalisasi ini.
3.Bahwa sebagai konsekuensi logis dari kehidupan yang
selalu berubah tersebut adalah bahwa idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar,
falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku, dan
mekanisme kerja, semuanya ikut berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan
manusia tentang realitas jagat raya ini baik yang menyangkut dunia fisika, kosmologi
juga berkembang pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan
laboratorium ilmu pengetahuan baik dalam bidang astronomi, biologi,
bioteknologi dan lain-lainnya. Perubahan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu
bangsa juga ikut merubah cara pandang bangsa tersebut terhadap realitas dunia.
4.Dari berbagai penjelasan tentang pemikiran Islam di Indonesia di atas menunjukkan bahwa, mustahil rasanya jika corak dan nuansa pemikiran
keagamaan dan keislaman tidak ikut berubah seiring dengan arus perubahan yang
terjadi. Agaknya tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan bahwa tantangan dan
peluang yang dihadapi kaum muslimin Indonesia sekarang, terutama dalam hal
wawasan pemikiran keagamaan adalah sama saja dengan masa-masa sebelumnya, atau
tidak mengalami perubahan, sehingga perlu diadakan peninjauan ulang, reorientasi,
modifikasi, penajaman atau pengurangan pada bagian-bagian tertentu.
5. Bahwa dampak positif dari munculnya pluralitas
pemikiran keagamaanl dalam berbagai bentuknya tersebut adalah bahwa khazanah
pemikiran keislaman di Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan dan secara
tidak langsung mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran keislaman di Indoneia, maka pluralitas pemikiran tersebut terasa lebih
semarak dan kondisi ini memberi ventilasi-ventilasi
pemikiran alternatif yang kaya
nuansa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla,
Ulil Abshar, Catatan Menyoal
Pembaruan Islam’ diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280233&kat_id=16
Kamis, 25 Januari 2007
Abdullah,M.Amin
(1994), “ Muhammadiyah danNahdlatul Ulama: Reorientasi Wawasan Pemikiran
Keislaman,” dalam Yunahar Ilyas, dkk (eds.).(1994),Muhammadiyah dan NU Reorientasi wawasan Keislaman. Yogyakarta:
Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin
Al Makin, “Perspektif
Lain Soal Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279484&kat_id=16
Jumat, 19 Januari 2007
Alatas, Ismail
F ., “Menyoal Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277768&kat_id=16 Jumat, 05 Januari 2007
Arif,
Syamsuddin, “ Menghindari Kejumudan Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=281158&kat_id=16
Jumat, 02 Februari 2007
Ayoob,Muhammed
( ed.). (1981). The Politics of Islamc
Reassertion. London: Croom Helm
Ayubi,Nazih
(1991). Political Islam: Religion and
Politics in the Arab World. London and New York: Routledge
Gibbons, Michael
T. ( 1987), Interpreting Politics.
New York: New York University Press
Haryanto, Ariel ( 1990). “ Kelas Menengah Indonesia Tinjauan Kepustakaan”,
dalam Prisma No.4, Tahun 1990, Jakarta: LP3ES, hlm.52-70.
Husaini, Adian, ” 37 Tahun Pembaruan Islam di Indonesia”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280235&kat_id=16
Jumat, 26 Januari 2007
Karim, M. Abdul ( 2007). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Karim, M. Abdul (2007). Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher
Latif, Yudi (2006), Inteligensia Muslim dan Kuasa Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke- 20. Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish ( 1988). “ Indonesia Masa Mendatang, Ibarat Sosok Santri
yang Canggih”, dalam Prisma No. 5, Tahun 1988, Jakarta: LP3ES,
hlm.64-72.
“Pembaharuan
Pemikiran Islam’ Sebuah Catatan Pribadi Prof. M. Dawam Raharjo diunduh dari http://www.freedom-institute.org/index.php?page=artikel&id=121
”Pembaharu
Pemikiran Islam Dinanti”, diunduh dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0701/19/jogja/1032894.htm Jumat, 19 Januari 2007
Qodir, Zuly
(2006). Pembaharuan Pemikiran Islam Wacana dan Aksi Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahardjo, M Dawam, “Pembaruan KH Abdurrahman Wahid“, diunduh
dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0701/19/opini/3250523.htm
Jumat, 19 Januari 2007
Riswanto, Arif
Munandar , “Rambu Pembaruan Islam” , diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=281157&kat_id=16
Jumat, 02 Februari 2007
Sa’id, Bustami Muhammad (1983), Mafhum Tajdid al-Din. Kuwait: Dar al-Da’wah
Sahidah, Ahmad,
“ Adil terhadap Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278608&kat_id=16
Jumat, 12 Januari 2007
Simuh ( 1988).” Tanggapan atas Makalah Abdullah Fadjar”, dalam Musa
Asy’arie, dkk (Editor), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era
Industrialisasi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, hlm.133-143.
Sullivan, John Edward (Tanpa Tahun). Prophets of the West: An
Introduction to the Philosophy of History. New York: Holt Rinehart and
Winston Inc, hlm.33.
Syamsuddin, M. Din (1992). Tanggapan terhadap H. Abdurrahman Wahid: Masalah
Kepemimpinan Umat, “ dalam Jawa Pos,
26 Agustus 1992
Tim Penyusun (2007). Pemikiran dan
Peradaban Islam. Yogyakarta: PSI UII dan Safiria Insania Press
Toynbee, Arnold J. ( 1955). A Study of History, Vol. 1. London:
Oxford University Press, hlm.2,23 dan 271
Yusdani (2007), “Menuju Muslim yang Optimis”, (opini) dalam Harian Jurnal Nasional Jakarta, Sabtu, 3
Februari 2007
Zarkasyi, Hamid
Fahmy , “Menyoal ‘Pembaruan Islam” , diunduh
dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276934&kat_id=16
Kamis, 28 Desember 2006
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, “Keadilan Sebuah Pemikiran”, diunduh
dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280233&kat_id=16
Jumat, 26 Januari 2007
Keterangan:
Artikel ini
dimuat dalam Jurnal UNISIA UII edisi 66.
Imam Agus Faizal 14421091
BalasHapusSaya setuju dengan tulisan di atas, Islam adalah agama yang bersifat universal, tidak lekang oleh waktu dan interpretable. Di dalam Al-Quran pun sudah lengkap akanapa saja yang bisa diajadikan solusi dari segala permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia, namun tidak mungkin berisi sesuatu yang detail seperti pembahasan mengenai nuklir, pesawat terbang dan lain sebagainya, untuk itulah hanya berisi basis dari segala permasalahan yang kemudian dapat "ditarik" kemana saja yang tergantung pada dinamika kebutuhan umat. Kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, sangat terpengaruh oleh faktor historis dan sosiologis seperti praktik Imperisalisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa asing yang telah mencederai bangsa Indonesia dari segi apapun mulai fisik hingga psikis, hal tersebut berimplikasi pada proses pemikiran Islam oleh bangsa Indonesia. Pemikiran mengenai Islam perlu untuk selalu diperbarui agar dapat digunakan untuk memahami pluralitas dan dinamika zaman, banyak faktor yang memengaruhi perubahan pemikiran Islam tersebut misalnya faktor sosiologis, historis, budaya, geografis dan lain sebagainya. Sehingga buah dari lahirnya pluralitas adalah beragamnya opsi yang dapat digunakan umat untuk menjawab permasalahan zaman.