Langsung ke konten utama

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia
antara Psikologi Kolonial dan Keharusan Historis    
     Oleh: Yusdani
Abstract
The following article tries to investigate the plurality and dinamicity of Islamic thought in twentieth century in Indonesia from the positive effect of muslim education in history. The  education in this sense, is modern education - university. The characteristics of university graduation is mastering the methodology. The mastering  methodology influences toward how to understand or intepret Islam in term of the reality of Indonesia. Because of this, there are several differences of islamic thought that emerge in Indonesia.The classification of Indonesian Islamic thought can be classified into exlusive Islamic thought, inclusive Islamic thought, pluralistic Islamic thought, humanist Islamic thought, etc. The positive impact of pluralities in Islamic thought that appearing in Indonesia is preparing many choices for muslim in Indonesia especially in term of how to response the challenging of life, either in the field of politics, economics, culture or that of other sphere of life.  

Keywords: Indonesia, pemikiran, Islam, pendidikan, dan metodologi    

Pendahuluan
Diskursus dan gagasan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia selalu menarik untuk dikaji dan menimbulkan kontroversi berkepanjangan dalam sejarah pemikiran dalam Islam.  Munculnya gagasan tentang perlunya pembaruan tersebut karena dilatarbelakangi oleh keinginan kaum muslimin untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan ajaran Islam ( Islam Kaafah) di satu pihak. Sedangkan di sisi lain juga didukung oleh sikap kaum muslimin untuk hidup sesuai dengan tuntutan zaman.
            Mengamati dan mencermati serangkaian tulisan polemik yang pernah dimuat dalam harian Republika, Desember 2006 sd Januari 2007 yang menyoroti pembaruan Islam di Indonesia, terutama reaktualisasi tentang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, menjadi penting untuk menjaga  continuity and change  diskursus dan dinamika pembaruan Islam di Indonesia. Serangkaian tulisan tersebut perlu diposisikan secara arif dan dapat diposisikan sebagai kritik, pengembangan, dan pengayaan baik teori, konsep, metodologi, data, maupun  ranah pembaruan dimaksud. Hal ini sangat diperlukan guna menciptakan iklim intelektual dialogis.
              Tulisan ini tidak bermaksud mengulas tulisan-tulisan tentang pembaruan Islam di Indonesia tersebut baik secara konseptual teoritis, epistemologis, empirik maupun diskursif ( Haryanto, 1990: 52). Akan tetapi tulisan ini untuk menjelaskan sisi lain dari pembaruan pemikiran Islam di Indonesia yang kebetulan belum disentuh oleh para penulis di atas, yaitu pembaruan Islam di Indonesia dengan perspektif faktor keberhasilan umat Islam dalam mengenyam pendidikan moderen.
Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam 
  Islam sebagai suatu ajaran tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak diperdebatkan lagi di kalangan kaum muslimin. Akan tetapi bagaimana Islam itu dipahami dan diterapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam konteks inilah, terletak persoalan yang sebenarnya. Karena Islam sebagai  ajaran itu satu (tunggal) tetapi polyinterpretable ( pemahaman terhadap Islam itu beragam ).
Munculnya interpretasi yang beragam terhadap Islam tersebut memang disebabkan oleh berbagai faktor. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk pemahaman kaum muslim terhadap Islam. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Arkoun (1988) sebagai estetika penerimaan (aesthetics of reception), sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman. Kecenderungan dan kemampuan intelektual yang berbeda-apakah motifnya untuk mengetahui makna doktrin yang sebenarnya, yang secara literer terekspresikan dalam teks, atau untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dari suatu doktrin, di luar ekspresi literer dan tekstualnya (Gibbons, 1987:1-31)-dalam upaya untuk memahami Islam dapat berujung pada pemahaman yang beragam mengenai suatu doktrin. Karenanya, kendatipun setiap Muslim menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam Islam, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.
Munculnya berbagai aliran (mazhab) dalam lapangan fiqh, teologi, filsafat, dan lain-lain dalam Islam, misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu, multiinterpretatif – banyak penafsiran (Hodgson, 1974). Watak multiinterpretatif ini telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Di samping itu, karakteristik ajaran yang multiinterpretatif ini juga mengisyaratkan keharusan pluralitas dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak dapat dan tidak seharusnya dilihat dan dipahami secara monolitik (Ayoob, 1981). Hal ini mengindikasikan Islam yang empirik dan aktual-karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik- akan berarti lain lagi bagi orang Islam lainnya ( Ayubi, 1991: 60-64).
            Kerangka pemahaman bahwa Islam sebagai doktrin Tuhan itu satu tetapi polyinterpretable  yang disebabkan berbagai faktor di atas, perlu disegarkan kembali untuk memahami dinamika dan pluralitas pemikiran Islam di Indonesia kontemporer sekarang ini ( Tim Penulis, 2007: 105-106). Hal ini urgen dilakukan agar kaum muslimin penuh kearifan dalam menyikapi fenomena perbedaan pemahaman dan keberagamaan  yang kadang-kadang menyeruak ke permukaan. 
Untuk memahami pluralitas pemikiran Islam secara umum dan terutama di Indonesia kontemporer  sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dari Islam sebagai agama yang hidup di tengah umat. Sebagai agama yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat Islam mengalami perubahan dan pergeseran di sana sini, karena perubahan dan perbedaan tantangan, peluang dan persoalan yang dihadapi. Dalam era globalisasi ilmu dan budaya, hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dahsyat, institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, bahkan tidak terkecuali institusi dan pemikiran keagamaan tidak luput dari pengaruh arus globalisasi ini ( Abdullah, 1994: 169-170).
Sebagai konsekuensi logis dari kehidupan yang selalu berubah tersebut adalah bahwa idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar, falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku, dan mekanisme kerja, semuanya ikut berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan manusia tentang realitas jagat raya ini baik yang menyangkut dunia fisika, kosmologi juga berkembang pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan laboratorium ilmu pengetahuan baik dalam bidang astronomi, biologi, bioteknologi dan lain-lainnya. Perubahan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang bangsa tersebut terhadap realitas dunia ( Abdullah, 1994: 170).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, mustahil rasanya jika corak dan nuansa pemikiran keagamaan dan keislaman tidak ikut berubah seiring dengan arus perubahan yang terjadi. Agaknya tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan bahwa tantangan dan peluang yang dihadapi kaum muslimin Indonesia sekarang, terutama dalam hal wawasan pemikiran keagamaan adalah sama saja dengan masa-masa sebelumnya, atau tidak mengalami perubahan, sehingga perlu diadakan peninjauan ulang, reorientasi, modifikasi, penajaman atau pengurangan pada bagian-bagian tertentu ( Abdullah, 1994: 169-170).
Gambaran Pemikiran Islam Indonesia
Dalam konteks dan sejarah intelektual Muslim Indonesia sejak abad ke-19 yang meski dalam konteks kolonialisme, banyak individu Muslim mendapatkan pendidikan secara baik. Hal ini melahirkan kesadaran mereka untuk menciptakan ruang aktualisasi publik termasuk aktivitas politik. Selanjutnya, pada abad 20 muncul inteligensia Muslim sehingga pergulatan mereka bergerak ke arah pencarian pengakuan dan otoritas kekuasaan. Namun, meski mencapai kredibilitas intelektual dan posisi kekuasaan politik yang baik, partai politik Islam tak kunjung memperoleh suara mayoritas. Bahkan, banyak intelektual Muslim yang kurang terobsesi dengan klaim-klaim Islam. Di sinilah salah satu letak kompleksitas tersebut (Latif, 2005: 655-666).
Pembacaan atas dinamika dan pluralitas pemikiran Islam di Indonesia mengungkapkan bahwa ada banyak pelajaran sejarah yang bisa diperoleh dari drama kehidupan Hindia Belanda pada akhir abad 19 hingga 1920-an. Dalam gerak lambat, tokoh utama drama historis ini ialah inteligensia dan intelektual Muslim. Pada 1910-an munculnya kaoem moeda Islam dan kaoem mardika bertanggung jawab dalam perluasan aktivitas publik yang menjangkau konstituen lebih luas dan diteruskan pada akhir 1920-an ketika intelektual organik Muslim membentangkan peran mereka sebagai pendidik publik. Prolivalensi ruang publik memberi kontribusi terhadap tumbuhnya kesadaran proto-nasionalis yang tokoh-tokohnya menjadi generasi pertama inteligensia Muslim Indonesia seperti Tjokroaminoto, Agus Salim dan sebagainya ( Latif, 2005:655-666).
Selanjutnya pada 1930-an, inteligensia Muslim sadar politik mulai beralih dari politik kooperasi menuju non-kooperasi yang puncaknya adalah penemuan istilah Indonesia. Ini merupakan titik awal keluar dari bayang-bayang kolonial. Pada periode pra-pendudukan Jepang terdapat 6 tradisi politik besar yakni: tradisi reformis-modernis (Islam/I), tradisionalis (I), komunis (sekuler/S), nasionalis (S), sosialis (S) dan tradisi Protestan dan Katolik (S). Tradisi lainnya muncul pada 1940-an yakni militer (S). Persaingan inteligensia sekuler dan Islam menghasilkan kelompok sekuler sebagai pemenangnya meski kelompok Islam sudah menyadari posisi minoritasnya sejak 1920-an. Untuk mengatasinya mereka mengembangkan proyek historis yakni Islamisasi kaum terpelajar yang menjelma dalam Jong Islaminten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studieclub (SIS). Namun saat kemerdekaan, inteligensia sekuler tetap lebih unggul sehingga inteligensia Muslim tetap menjadi pihak luar dalam ranah politik Indonesia (Latif, 2005:655-666).
Setelah era generasi pertama Inteligensia Muslim seperti Agus Salim dan Tjokroaminoto, generasi keduanya adalah seperti M. Natsir, M. Roem dan K. Singodimedjo pada 1950-an yang cenderung non-kooperatif. Kontribusi generasi kedua adalah munculnya kader-kader yang dilatih menjadi pemimpin gerakan dakwah dan masjid kampus. Selanjutnya, generasi Ketiga seperti Lafran Pane, A Tirtosudiro dan Jusdi Ghazali pada 1960-an merupakan anak revolusi kemerdekaan sehingga cenderung kooperatif. Generasi keempat seperti Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an terbelah menjadi dua: yakni gerakan dakwah yang kritis terhadap ortodoksi negara dan gerakan pembaharu yang mendukung.. Persamaan keduanya yakni kepentingan mereka dalam kebudayaan dan civil society. Kontribusi gerakan dakwah adalah Islamisasi komunitas akademis-sekuler sedangkan gerakan pembaharu pada fenomena Islamisasi dunia birokrasi dan politik Indonesia. Muara keduanya adalah generasi kelima, yakni Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), pada awal 1990-an dengan Habibie sebagai ikon sentralnya. Pengunduran diri Soeharto dan diganti Habibie pada 1998 lantas membuka peluang tokoh ICMI untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh politik yang besar ( Latif, 2005: 655-666).
Selanjutnya, seiring surutnya generasi kelima (ICMI,) lahir generasi generasi keenam yang sebagian anggotanya lahir pada 1970-an dan 1980-an seperti Ulil Abshar Abdalla, Fachri Hamzah. Generasi ini, tidak homogen karena rivalitas para pengikutnya terutama mengenai masalah manhaj (metode penalaran), jaringan intelektual dan persaingan memperebutkan kepemimpinan. Harakah yang paling berpengaruh, ialah harakah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin, yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan partai politiknya, Partai Keadilan Sejahteran (PKS) ( Latif, 2005: 655-666).
Corak Pemikiran Keislaman
            Corak pemikiran keagamaan di Indonesia sampai sekarang secara umum dapat dibagi tiga corak. Ketiga corak perkembangan ini saling melengkapi dalam upaya pembaruan dan menyemarakkan pengamalan agama. Ketiga corak pemikiran tersebut ialah  (1) cita pembaruan yang bersifat dan terkait erat dengan faham kemadzhaban atau pesantren, (2) pembaruan yang bercorak majlisi, (3) pembaruan yang bercorak akademis ( Simuh, 1988 : 136).
            Ciri dari kehidupan akademis didominasi oleh orientasi pemikiran yang mandiri dan liberal. Hal ini terbawa oleh watak pemikiran ilmiah atau akademis yang selalu menanggapi setiap pendapat dan madzhab dengan sikap skeptis, serta rindu bersikap mandiri, berusaha membina pendapat sendiri walaupun terpaksa harus bertentangan dengan pendapat yang umum pada masa itu. Kegandrungan untuk menemukan pendapat baru secara mandiri dengan penuh tanggungjawab merupakan ciri khusus dari ulama kampus atau cendekiawan ( Simuh, 1988 : 136). Dengan corak pemikiran akademis ini, tidak dapat dihindari munculnya pluralitas pemikiran Islam dalam berbagai aspeknya.
Realitas dan fenomena kemajemukan, baik dalam paham keagamaan sejalan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, dan agama. Segmentasi umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat kultural, yaitu bahwa keragaman kelompok umat Islam mempunyai latar belakang budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, sejalan dengan perbedaan latar belakang budaya – kemasyarakatan (sosio-kultural) mereka.
Ormas-ormas Islam, terutama yang lahir pada masa pra-kemerdekaan, memiliki hubungan yang erat dengan budaya di mana ormas tersebut lahir dan berkembang. Bahkan, sebuah organisasi dapat menampilkan wajah yang berbeda sesuai dengan lingkungan di mana organisasi tersebut hidup. Corak paham keagamaan di kalangan ormas-ormas Islam ini tidaklah semata-mata merupakan hasil pemahaman terhadap (sumber-sumber ) Islam, tetapi juga merupakan hasil pengaruh dari lingkungan budaya lokal.
Pengaruh latar belakang budaya lokal di atas dapat diamati, umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri NU dan Muhammadiyah. KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang hidup di lingkungan budaya santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap Islamisasi yang dapat disebut santrinisasi santri. Sedangkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang hidup di lingkungan budaya priyayi di Kauman Yogyakarta, menawarkan model pendekatan yang dapat disebut santrinisasi priyayi atau priyayisasi santri ( Syamsuddin,1992:4).
Kedua pendekatan tersebut di atas memiliki logika sendiri. Baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asy’ari, telah memberikan yang terbaik bagi pengembangan Islam yang relevan dengan setting kultural yang mereka hadapi. Kedua organisasi yang mereka lahirkan merupakan dua sayap penting bagi perkembangan paham keislaman di Indonesia ( Syamsuddin,1992:4).
Potret pemikiran Islam yang bercorak majlisi di atas didominasi oleh organisasi sosial keagamaan di Indonesia. Dua organisasi besar yang cukup terkenal dalam konteks ini adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ( NU). Corak pemikiran keislaman seperti ini berkembang sejak tahun 1912 sampai dengan 1970 an. Pasca tahun 1970 an, pemikiran keislaman di Indonesia lebih banyak dikembangkan oleh individu pemikir muslim.   
Dinamika Pemikiran Pasca Muhammadiyah dan NU  
Pembahasan tentang pemikiran sosial keagamaan yang dikembangkan oleh  individu pasca Muhammadiyah dan NU belum begitu banyak dipetakan.  Oleh karena itu, penting dideskripsikan tentang pemikiran Islam individu dan bagaimana wujud pemikiran itu telah dituangkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk memudahkan memasuki pembicaraan ini barangkali penggambaran di bawah ini dapat membantu.
Perkembangan dan dinamika pemikiran Islam individu pasca Muhammadiyah dan NU di atas telah melahirkan paling tidak tiga generasi pemikir, yaitu generasi pertama adalah generasi Harun, A.Mukti Ali, dan M. Rasjidi. Generasi kedua adalah antara lain Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Hidayat Nataatmaja, A. Syafii Maarif, Djohan Effendy, M. Amien Rais, Imaduddin Abdulrahim, Muslim Abdurahman, Munawir Sjadzali, Adi Sasono, Jalaluddin Rahmat, M. Quraisy Shihab, dan lain-lain.  Generasi ketiga antara lain adalah Fachry Ali, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Alwi Shihab, Masdar Farid Mas’ud, Ulil Abshar Abdallah, Mansur Faqih, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Effendy, Munir Mulkhan dan lain- lain ( Tim Penulis, 2007: 107).
Kategori pemikiran yang dikembangkan oleh masing-masing pemikir di atas dapat kelompokkan menjadi Islam Rasonal, Islam Saintifik, Islam Kritis, Islam Desakralisasi, Islam Pribumisasi, Islam Kultural, Islam Reaktualisasi, Islam transformatif, Islam Integralis, Islam Substantif, Islam Dialogis, Islam Inklusif Pluralis, Islam liberal, Islam Eksklusif, Islam ekonomi, Islam Humanis ( Tim Penulis, 2007: 107).
            Pemetaan pluralitas pemikiran ke-Islaman individu di atas dilakukan berdasarkan indikasi, ide sentral dan kecenderungan tokoh pemikirnya. Dari penggambaran tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa corak pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan hasil hubungan yang dialektis dengan persoalan; Islam dan modernisasi atau kemoderenan; perjumpaan Islam dengan kebangsaan dan kekuatan negara; dan perjumpaan Islam dengan kekuatan budaya lokal  di Indonesia. Dengan kata lain pluralitas pemikiran sosial keagamaan Islam kontemporer di Indonesia pasca Muhammadiyah dan NU di atas sesuai dengan subject matter yang menjadi perhatian utama pemikirnya. Walaupun begitu ada satu mainstream yang menjadi obsesi, yaitu membangun suatu sistem apa yang disebut ( Tim Penulis,2007: 147)“keislaman, keindonesiaan dan kemodernan”.
Diskursus Psikologi Kolonial
Salah satu sisi kontroversi seputar perbincangan pembaruan pemikiran Islam tersebut adalah mengenai tuduhan terhadap kaum pembawa obor pembaruan sebagai kelompok westernized (terbaratkan), agen Yahudi, aliran sesat dan lain sebagainya. Untuk itu, tragedi sejarah pertemuan Islam dengan Barat (modernitas) patut diketengahkan.
Menengok jauh ke masa lalu, hampir 300 tahun dunia Islam, termasuk di Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, mengalami kolonisasi Barat. Kolonisasi ini tidak saja menimbulkan penderitaan fisik namun juga menorehkan luka psikologis terhadap entitas-entitas modern yang berkembang di Barat (Yusdani, 2007).
Dalam kehidupan beragama, kolonialisasi tersebut di atas telah menaburkan bumbu pedas yang meradangkan sentimen agama dan menyulut konflik antara umat Islam dan Kristen. Trauma psikologis ini tidak serta merta hilang bersamaan dengan berakhirnya kolonialisasi Barat terhadap Negara-negara Muslim di kawasan Asia. Trauma tersebut muncul sebagai penolakan terhadap modernitas secara berlebihan, termasuk kemajuan di bidang keilmuan dan teknologi, yang memang lebih dahulu dikembangkan oleh dunia Barat.
Adanya ambivalensi di kalangan umat Islam dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan modern di atas, dapat dipahami dalam perspektif psikologi kolonial tersebut. Dalam bidang ilmu-ilmu sain dan teknologi umat Islam dapat menerima dan menggunakan tanpa hambatan psikologis yang berarti. Namun tidak demikian halnya terhadap ilmu-ilmu sosial. Ada banyak reaksi yang muncul ketika metode-metode ilmu sosial digunakan dalam kajian masyarakat Muslim.
Seperti dicatat oleh Kuntowijoyo (1999), bahwa pernah diselenggarakan suatu seminar internasional untuk membahas Islamisasi Pengetahuan. Seminar ini bertujuan agar umat Islam tidak begitu saja meniru dan menerapkan metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan tersebut pada pusatnya, yaitu tauhid. Lebih lanjut Kuntowijoyo menegaskan bahwa islamisasi pengetahuan yang bermuara pada tauhid dimaksudkan agar ada koherensi agar pengetahuan tidak terlepas dari iman.
Memasuki era post-kolonial sekarang ini, yang menjadi persoalan dalam mengembangkan pemikiran Islam adalah masih relevankah kaum muslimin mempertahankan sikap ambivalensi terhadap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan yang sementara ini berada di tangan barat? Adakah sikap lain yang mungkin  dapat menjadi solusi alternatif dan kreatif dalam persoalan ini?  
Diskursus Post-Kolonial 
            Era post-kolonial sekarang ditandai adanya hibridasi dalam lingkup budaya, agama, ekonomi, sosial dan politik. Pada dasarnya, umat Islam sebagai bangsa yang pernah dijajah, perlu membuktikan diri bahwa umat Islam bisa menyejajarkan diri dengan bangsa yang pernah menjajah itu. Atau dengan nada yang lebih optimis dan positif, umat Islam perlu menunjukkan diri  dalam pergaulan internasional sebagai bangsa yang bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan dunia.
Wacana post-kolonial, walaupun dapat menimbulkan bayangan antagonisme yaitu antara bekas bangsa penjajah dan bekas bangsa yang dijajahnya, tetapi tidak dimaksudkan demikian. Namun demikian juga bukan berarti wacana ini sama sekali tidak menghiraukan kolonialisme dengan segala akibat buruknnya. Kolonialisme malah dimengerti tidak sebatas fenomena fisik saja. Jika penjajahan secara fisik sudah lewat, bukan berarti kolonialisme sudah lewat juga. Post-kolonialisme tidak hanya merespon kolonialisme fisik di zaman prakemerdekaan dulu tetapi juga dan terutama merespon gejala kolonialisme di zaman sekarang ini (Yusdani, 2007).
Post-kolonialisme ingin merespon kolonialisme dengan cara mengajak mereka yang dijajah untuk bangkit dan menunjukkan kualitas bangsa terjajah yang tidak kalah dari kualitas penjajah. Namun menunjukkan kualitas bangsa terjajah tidak perlu membuat isolasi diri dari apa saja yang sudah kita kenal dari penjajah itu. Katakanlah misalnya kita bangsa Indonesia tidak perlu membuat program deBelandanisasi. Sebab, di samping sulit, itu juga mustahil. Disini pembicaraan soal budaya (Yusdani, 2007).
Dalam hal budaya, yang maksimal bisa kita bayangkan adalah terjadinya hibridasi. Dalam konteks ini, kita perlu memperlihatkan sumbangan yang datang dari kekayaan khazanah kita sendiri. Sebab hibridasi jelas menolak adanya dominasi sementara pihak. Hibridasi berbicara soal percampuran berbagai unsur namun dalam kondisi kesetaraan dan kreatif.
Globalisasi sekarang adalah tidak lain dari hibridasi. Hibridasi yang ditimbulkan oleh perjumpaan antarbudaya, antarfilsafat, antarideologi, antaretnis, antar omunitas, antarilmu juga antaragama. Mentalitas yang perlu ada di sini adalah mentalitas orang  yang optimis (percaya diri). Sedang mentalitas orang yang pesimis (kurang percaya diri) justru menjadi ciri khas dari zaman kolonialisme. Banyak bangsa yang dijajah akhirnya memilih dan terjebak pada 2 sikap yang ekstrim. Pertama, ikut saja budaya sang tuan. Kedua, melawan apa saja yang dianggap datang dari sang tuan. Kedua sikap ini datang dari rasa pesimis (Yusdani, 2007).
Menunjukkan kualitas diri sendiri tidak harus berarti melawan apa saja yang datang dari luar diri sendiri. Sebaliknya, mengambil alih apa-apa yang datang dari luar diri sendiri tidak harus datang dari perasaan rendah diri. Adalah heran, mengapa kita ini di satu pihak sering menunjukkan sikap sinis terhadap Belanda, di pihak lain hormat kita kepada Londo jauh lebih tinggi daripada hormat kita terhadap bangsa sendiri (Yusdani, 2007).
Selain itu, yang tak kalah mengherankan lagi adalah orang Belanda yang menjajah kita itu justru menyimpan berbagai dokumen penting tentang budaya kita, mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bahkan bisa mengajari kita tentang budaya kita sendiri. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Apakah ini bukan bukti bahwa kita memang kurang percaya diri. Jika memang demikian, bukankah lebih baik jika kita coba mengatasinya sendiri dan tidak justru malah meneruskan rasa tidak senang terhadap Londo ( entah Londo Belanda, Londo Inggris, Londo Amerika, pokoknya semua Londo alias orang Barat), apalagi membangun sebuah harapan bahwa kita bisa membuat suatu dunia yang bersih dari unsur-unsur Barat (Yusdani,2007).
Perdebatan antara Islam dan Barat yang lakukan selama ini kiranya jangan sampai bergeser pada sikap-sikap isolasi diri yang sulit untuk dipraktekkan, kecuali jika kita mampu memformat ulang dunia kita sekarang ini. Namun bagaimanapun, tetap memilih untuk menerima dunia kita ini dengan segala kebaikan dan keburukannya, terlibat secara aktif di dalamnya, semata-mata untuk menjadikannya lebih baik lagi di masa depan ( Yusdani,2007).
Jika masa depan yang lebih baik itu yang menjadi acuan kita dalam melakukan sinergi, perjumpaan, integrasi atau apapun namanya antara Islam dan Barat tidak menjadi masalah, masalahnya hanyalah kesepakatan apa yang bisa kita buat demi masa depan bersama yang lebih baik itu.

Faktor Dukungan Pendidikan           

         Dari penjelasan tentang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia di atas sebagaimana dijelaskan di muka, salah satu faktor yang belum banyak memperoleh perhatian dalam konteks pembaruan ini adalah faktor dan dampak positif keberhasilan umat Islam Indonesia mengenyam pendidikan moderen.
           Untuk memperoleh gambaran lebih jelas dalam rangka menjelaskan faktor dukungan pendidikan bagi pemikiran Islam sekarang. Jika digambarkan atau dipersonipikasikan seolah-olah pemikir Islam itu adalah sebagai sosok seorang pribadi. Pada tahun 1945 termasuk mereka yang aktif sekali dalam kehidupan kemiliteran, pendidikan umat Islam relatif rendah. Jelasnya adalah bahwa orang Islam sebenarnya baru masuk sekolah setelah kemerdekaan. Bahkan bukan segera setelah proklamasi, namun setelah penyerahan kedaulatan. Oleh karena itu, gampangnya, umat Islam itu baru mulai ikut serta ambil bagian dalam pendidikan moderen pada tahun 1950. Jadi umat Islam sebelum tahun 1950 itu rata-rata adalah buta huruf (Latin), sudah tentu yang dimaksud umat Islam yaitu umat Islam dalam arti antropologis ( Madjid, 1988:69-70).
              Karena itu, jangan dibandingkan dengan orang-orang Masyumi seperti  Muhammad Roem Cs. Mereka bukanlah dari kalangan santri. Mereka adalah dari kalangan priyayi. Indikasinya adalah dalam hal nama mereka. Bila mereka orang Jawa, maka nama-namanya umumnya adalah nama Sanskerta, misalnya, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, Sukiman Wirosandjojo, Yusuf Wibisono dan lainnya. Bahwa mereka menjadi pemimpin Islam itu karena faktor yang agak istimewa, yaitu faktor  Haji Agus Salim melalui Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Sedangkan yang tumbuh dari kalangan santri, dari segi pendidikan barulah dimulai tahun 1950 itu yang justru  di masa sekarang lebih menentukan untuk keseluruhan umat Islam di Indonesia (Madjid, 1988: 70).
 Artinya kalau tahun 1950 para santri itu baru masuk Sekolah Dasar (SD), maka pada tahun 1956 mereka baru tamat SD, tahun 1959 tamat SMP, tahun 1962 tamat SMA, setelah itu baru masuk perguruan tinggi. Tahun 1965-1966, ketika meletus G-30 –S PKI, dan dilanjutkan munculnya pemerintah Orde Baru, sebetulnya pendidikan umat Islam yang paling tinggi adalah Sarjana Muda (BA) atau SI ( Madjid, 1988: 70).
            Jadi, di tahun 1970-an, rata-rata umat Islam baru punya anak yang pendidikannya lulus perguruan tinggi, seperti insinyur, dokter, sarjana hukum, dan sebagainya. Seperti biasanya, apalagi untuk Indonesia yang masih dalam tahap perkembangan, faktor mencari kerja adalah faktor yang dominan untuk para lulusan perguruan tinggi. Maka mereka ini pun mencari kerja. Oleh karena itu pada tahun 1970-an agak sepi, dalam arti memang banyak lulusan universitas –sarjana-sarjana-tapi dampak sosialnya belum begitu terasa. Hal itu karena mereka langsung masuk dalam pasaran kerja dan orientasi mereka adalah domestik, dalam arti mengurus rumah tangga sendiri (Madjid, 1988:70).
            Kemudian tahun 1980-an mereka itu sudah banyak yang selesai dengan urusan domestiknya, lalu mulai keluar, oleh karena itu dampak sosialnya sudah mulai terasa dimana-mana termasuk mulai menunjukkan concern mereka terhadap masalah-masalah politik, sosial ekonomi dan sebagainya. Dampak itu antara lain terefleksikan  dalam kegairahan pada agama di universitas-universitas. Fakta ini secara dramatis dapat digambarkan misalnya  gejala mengenai “jilbab” secara sosiologis merupakan kelanjutan langsung dan wajar dari gejala tersebut (Madjid, 1988: 70).
            Tahun 1990-an merupakan suatu periode yang lebih berkembang dan matang bagi umat. Umat Islam boleh dikatakan seakan-akan puber. Ekspresi keagamaannya juga penuh dengan pubertas, sebagaimana halnya proses pubertas pada pribadi perseorangan (Madjid, 1988: 70).
            Pada dasawarsa 1990-an umat Islam menjadi lebih berkembang dan matang, sehingga juga lebih substantif dalam memahami agama dan tidak mandeg pada manifestasi-manifestasi simbolik belaka. Dan kedewasaan ini merupakan pangkal harapan yang lebih besar untuk proses demokratisasi, proses kesadaran tentang pluralisme dan sebagainya ( Madjid, 1988: 70).
Bila bicara pada tahun 2000-an, tahun tersebut berarti sudah dua generasi dari sejak 1950 tahun. Dalam proses dua generasi itu, suasana yang diciptakannya itu, justru  lebih bermakna. Kita tahu bahwa banyak sekali orang penting dari kalangan santri pada saat itu yang merupakan orang pertama dalam keluarganya yang punya pendidikan. Dan tahun 2000 itu, maka orang-orang seperti itu merupakan generasi kedua, karena merupakan anak dari generasi 1980-an. Ini akan mempunyai makna yang besar dan strategis yang besar. Jadi, orang Islam optimis bahwa mempunyai masa depan politik yang baik (Madjid, 1988: 70).
 Islam Substantif dan Kaya Perspektif
            Pendidikan tinggi itu baik strata 1 (S1), strata 2 (S2) maupun strata 3 (S3) kenyataannnya  melahirkan insinyur, dokter, psikolog, doktorandus,  master, doktor dan seterusnya. Di antara mereka adalah intelektualitas, yaitu mempunyai kemampuan berpikir menurut metodologi yang lebih baik. Jadi, bagi orang-orang Islam yang berpendidikan tinggi ini, soal-soal kecil khilafiyah menjadi tidak relevan. Hal yang relevan justru elemen-elemen yang paling universal dari ajaran agama Islam. Misalnya; cita-cita mengenai keadilan, mengenai persamaan, demokrasi dan lain sebagainya. Jadi cross-cutting dihasilkan oleh suatu orientasi keagamaan yang tidak lagi semata-mata terbatas pada simbol-simbol, tetapi sudah meningkat pada orientasi substantif dan fungsional (Madjid, 1988: 71).
            Sekarang ini, Indonesia masuk dalam negara dengan kesadaran demokrasi yang tinggi; santri makin mempunyai peranan disebabkan oleh pendidikan yang menyebar dan tinggi; dengan kesadaran yang lebih tinggi dari segi keagamaan tetapi bergeser dari praktik-praktik yang formal simbolik kepada yang lebih fungsional dan substantif, yang dalam hal ini antara lain tercakup dukungan terhadap kesadaran hukum, persamaan, cinta keadilan, dan sebagainya; dan juga kesadaran akan pluralisme (Madjid, 1988: 71).    
Sekarang ini santri di Indonesia boleh dikatakan seakan-akan puber. Ekspresi keagamaannya juga penuh dengan pubertas. Ini adalah suatu pertumbuhan yang wajar, sebagaimana halnya dengan proses pubertas pada diri seseorang. Pada dasawarsa sekarang ini, kita menemukan santri yang sudah lebih berkembang dan matang, sehingga juga lebih substantif dalam memahami agama dan tidak mandek hanya pada manifestasi-manifestasi simbolik belaka. Santri berperan besar dalam proses demokratisasi karena  Islam memang memiliki ajaran yang menekankan faktor egalitarian, paham persamaan atau kesamaan umat manusia (Madjid, 1988: 71-72).
Transformasi inteligensia Muslim di Indoneia sekarang sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak bisa lagi dibaca dengan studi-studi yang ada mengenai elite Indonesia modern dan politiknya, seperti Clifford Geetz (1960), Robert van Niel (1970), R. William Liddle (1973), Donald K. Emmerson (1976), atau Ruth McVey (1989). Dengan demikian, untuk memahami dinamik adan pluralitas pemikiran tersebut dibutuhkan kerangka  dan pendekatan yang holistik dan metodologi yang memadai, menelaah genealogi inteligensia Muslim dalam hubungannya dengan ke-Indonesiaan abad ke-20. Untuk upaya ini, pendekatan dengan kerangka waktu jangka panjang (longue duree) dikombinasikan dengan metode interaktif, interdisipliner, dan intertekstual untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yang menghadirkan kesinambungan (continuity) dan perubahan-perubahan (changes) dalam perkembangan inteligensia Muslim dalam relasinya dengan dinamika masyarakat Indonesia (Latif, 2005: 655-666).
            Dampak positif dari munculnya pluralitas pemikiran keagamaan  baik secara organisasi maupun individual dalam berbagai bentuknya tersebut adalah bahwa khazanah pemikiran keislaman di Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan dan ini secara tidak langsung mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran individual, maka pluralitas pemikiran tersebut terasa lebih semarak. Paling tidak, kondisi ini memberi alternatif ventilasi-ventilasi pemikiran yang kaya ( Abdullah, 1995: 70-71). Secara lebh reflektif, semarak pembaruan, dinamika dan pluralitas pemikiran Islam di Indonesia sampai sekarang ini merupakan suatu refleksi moral yang pada satu pihak disinari kesadaran historis masa kini, dan sanggup memberi pegangan yang relevan untuk pilihan-pilihan yang dihadapi manusia.     
Penutup
            Sebagai penutup dari keseluruhan uraian terdahulu tulisan ini dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagaia berikut:
1. Bahwa semaraknya pemikiran Islam di Indonesia sekarang ini yang seolah-olah dapat diibaratkan sebagai sosok individu yang puber dan matang, tidak dapat dilepaskan dari faktor keberhasilan kaum muslimin Indonesia dalam mengenyam pendidikan (tinggi-universitas) modern. Dampak positif dari keberhasilan pendidikan tersebut adalah dikuasainya berbagai perspektif dan metodologi yang logis dan baik dalam memahami dan menerjemahkan ajaran Islam dalam realitas keindonesiaan.   
2.Bahwa untuk memahami pluralitas pemikiran Islam di Indonesia kontemporer  sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dari Islam sebagai agama yang hidup di tengah umat. Sebagai agama yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat Islam mengalami perubahan dan pergeseran di sana sini, karena perubahan dan perbedaan tantangan, peluang dan persoalan yang dihadapi. Dalam era globalisasi ilmu dan budaya, hampir semua sendi-sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dahsyat, institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, bahkan tidak terkecuali institusi dan pemikiran keagamaan tidak luput dari pengaruh arus globalisasi ini.
3.Bahwa sebagai konsekuensi logis dari kehidupan yang selalu berubah tersebut adalah bahwa idiom, kosakata, pertanyaan yang mendasar, falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku, dan mekanisme kerja, semuanya ikut berubah. Pada saat yang sama, pengetahuan manusia tentang realitas jagat raya ini baik yang menyangkut dunia fisika, kosmologi juga berkembang pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan laboratorium ilmu pengetahuan baik dalam bidang astronomi, biologi, bioteknologi dan lain-lainnya. Perubahan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang bangsa tersebut terhadap realitas dunia.
4.Dari berbagai penjelasan tentang pemikiran Islam di Indonesia di atas menunjukkan bahwa, mustahil rasanya jika corak dan nuansa pemikiran keagamaan dan keislaman tidak ikut berubah seiring dengan arus perubahan yang terjadi. Agaknya tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan bahwa tantangan dan peluang yang dihadapi kaum muslimin Indonesia sekarang, terutama dalam hal wawasan pemikiran keagamaan adalah sama saja dengan masa-masa sebelumnya, atau tidak mengalami perubahan, sehingga perlu diadakan peninjauan ulang, reorientasi, modifikasi, penajaman atau pengurangan pada bagian-bagian tertentu.
5. Bahwa dampak positif dari munculnya pluralitas pemikiran keagamaanl dalam berbagai bentuknya tersebut adalah bahwa khazanah pemikiran keislaman di Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan dan secara tidak langsung mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran keislaman di Indoneia, maka pluralitas pemikiran tersebut terasa lebih semarak dan kondisi ini memberi ventilasi-ventilasi pemikiran alternatif yang kaya nuansa.
  

DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar,  Catatan Menyoal Pembaruan Islam’ diunduh dari  http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280233&kat_id=16 Kamis, 25 Januari 2007
Abdullah,M.Amin (1994), “ Muhammadiyah danNahdlatul Ulama: Reorientasi Wawasan Pemikiran Keislaman,” dalam Yunahar Ilyas, dkk (eds.).(1994),Muhammadiyah dan NU  Reorientasi wawasan Keislaman. Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin  
Al Makin, “Perspektif Lain Soal Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279484&kat_id=16 Jumat, 19 Januari 2007
Alatas, Ismail F ., “Menyoal Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277768&kat_id=16  Jumat, 05 Januari 2007
Arif, Syamsuddin, “ Menghindari Kejumudan Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=281158&kat_id=16 Jumat, 02 Februari 2007
Ayoob,Muhammed ( ed.). (1981). The Politics of Islamc Reassertion. London: Croom Helm
Ayubi,Nazih (1991). Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London and New York: Routledge   
Gibbons, Michael T. ( 1987), Interpreting Politics. New York: New York University Press
Haryanto, Ariel ( 1990). “ Kelas Menengah Indonesia Tinjauan Kepustakaan”, dalam Prisma No.4, Tahun 1990, Jakarta: LP3ES, hlm.52-70.
Husaini, Adian, ” 37 Tahun Pembaruan Islam di Indonesia”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280235&kat_id=16 Jumat, 26 Januari 2007
Karim, M. Abdul ( 2007). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:  Pustaka Book Publisher
Karim, M. Abdul (2007). Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Latif, Yudi (2006), Inteligensia Muslim dan Kuasa Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke- 20. Bandung: Mizan
Madjid, Nurcholish ( 1988). “ Indonesia Masa Mendatang, Ibarat Sosok Santri yang Canggih”, dalam Prisma No. 5, Tahun 1988, Jakarta: LP3ES, hlm.64-72.
“Pembaharuan Pemikiran Islam’ Sebuah Catatan Pribadi Prof. M. Dawam Raharjo diunduh dari http://www.freedom-institute.org/index.php?page=artikel&id=121
”Pembaharu Pemikiran Islam Dinanti”, diunduh dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0701/19/jogja/1032894.htm Jumat, 19 Januari 2007
Qodir, Zuly (2006). Pembaharuan Pemikiran Islam Wacana dan Aksi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahardjo, M Dawam,  “Pembaruan KH Abdurrahman Wahid“, diunduh dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0701/19/opini/3250523.htm Jumat, 19 Januari 2007
Riswanto, Arif Munandar , “Rambu Pembaruan Islam” , diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=281157&kat_id=16 Jumat, 02 Februari 2007
Sa’id, Bustami Muhammad (1983), Mafhum Tajdid al-Din. Kuwait: Dar al-Da’wah
Sahidah, Ahmad, “ Adil terhadap Pembaruan Islam”, diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=278608&kat_id=16 Jumat, 12 Januari 2007
Simuh ( 1988).” Tanggapan atas Makalah Abdullah Fadjar”, dalam Musa Asy’arie, dkk (Editor), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era Industrialisasi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, hlm.133-143. 
Sullivan, John Edward (Tanpa Tahun). Prophets of the West: An Introduction to the Philosophy of History. New York: Holt Rinehart and Winston Inc, hlm.33.
Syamsuddin, M. Din (1992). Tanggapan terhadap H. Abdurrahman Wahid: Masalah Kepemimpinan Umat, “ dalam Jawa Pos, 26 Agustus 1992
Tim Penyusun (2007). Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: PSI UII dan Safiria Insania Press
Toynbee, Arnold J. ( 1955). A Study of History, Vol. 1. London: Oxford University Press, hlm.2,23 dan 271
Yusdani (2007), “Menuju Muslim yang Optimis”, (opini) dalam Harian Jurnal Nasional Jakarta, Sabtu, 3 Februari 2007
Zarkasyi, Hamid Fahmy , “Menyoal ‘Pembaruan Islam” ,  diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=276934&kat_id=16 Kamis, 28 Desember 2006
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Keadilan Sebuah Pemikiran”,  diunduh dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=280233&kat_id=16 Jumat, 26 Januari 2007


Keterangan:

Artikel ini dimuat dalam Jurnal UNISIA UII edisi 66.

Komentar

  1. Imam Agus Faizal 14421091
    Saya setuju dengan tulisan di atas, Islam adalah agama yang bersifat universal, tidak lekang oleh waktu dan interpretable. Di dalam Al-Quran pun sudah lengkap akanapa saja yang bisa diajadikan solusi dari segala permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia, namun tidak mungkin berisi sesuatu yang detail seperti pembahasan mengenai nuklir, pesawat terbang dan lain sebagainya, untuk itulah hanya berisi basis dari segala permasalahan yang kemudian dapat "ditarik" kemana saja yang tergantung pada dinamika kebutuhan umat. Kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, sangat terpengaruh oleh faktor historis dan sosiologis seperti praktik Imperisalisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa asing yang telah mencederai bangsa Indonesia dari segi apapun mulai fisik hingga psikis, hal tersebut berimplikasi pada proses pemikiran Islam oleh bangsa Indonesia. Pemikiran mengenai Islam perlu untuk selalu diperbarui agar dapat digunakan untuk memahami pluralitas dan dinamika zaman, banyak faktor yang memengaruhi perubahan pemikiran Islam tersebut misalnya faktor sosiologis, historis, budaya, geografis dan lain sebagainya. Sehingga buah dari lahirnya pluralitas adalah beragamnya opsi yang dapat digunakan umat untuk menjawab permasalahan zaman.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBATALAN AKTA IKRAR WAKAF

Pembatalan Akta Ikrar Wakaf Studi Kasus P utusan Nomor 3862/ Pdt. G/ 2010/ PA. Sby Pendekatan Usuliyah Oleh: Yusdani Staf Hukum Islam FIAI UII, Sekretaris PPS FIAI UII dan Peneliti PSI UII Abstract The following article denotes an annotation and analysis of Islamic law against the Court's decision on the dispute Religion Surabaya regarding endowment that has implications for the cancellation of the Deed of Pledge Wakaf Number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 and the Pledge of Wakaf dated March 17, 2009 and the Letter of Endorsement of Nadir number: BA.03.1 / 99 / III / 2009 dated March 17, 2009 created the Office of Religious Affairs Tambaksari District. The decision can be justified in the perspective of Islamic law even in its legal considerations, the judges less attention to general procedural law applicable and applied over the years. However, although such a decision on waqf land dispute with the cancellation of the Deed of Pledge Waqf Religi

USUL FIQH SEBAGAI METODE

          Usul  Fiqh Sebagai  Metode                                                    Yusdani Pengantar Secara umum usul al-fiqh merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang. Namun dalam pengertian khusus usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum, usul al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum syariah. Sebagai metode penemuan hukum, usul fiqh merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu studi hukum Islam deskriptif dan studi  hukum Islam preskriptif ( Anwar, 2005: 2). Studi Hukum Islam Deskriptif Studi hukum Islam deskriptif meneropong hukum Islam sebagai fenomena sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dalam kaitan ini hukum Islam dapat dilihat baik sebagai variabel independen (bebas) yang mempengaruhi masyarakat maupun sebagai variabel depende